Alkisah, pada tahun 1988 saya berkenalan dengan seorang ustadz, namanya H. Syafruddin Zakaria Labay, Lc. (Alumni King Saud University Riyad-Arab Saudi), Sekretaris Umum Ikatan Masjid Indonesia (IKMI) Wilayah Bengkulu. Perkenalan diawali dari ba'da shalat jumat di Masjid Raya Muhammadiyah Bengkulu. Dari sekian banyak para khotib yang saya dengarkan di berbagai masjid di Kota Bengkulu dan Kota Palembang (saat masih SMA), baru satu khotib ini yang membuat saya cukup terkesan. Baik gaya khutbahnya maupun materi yang disampaikan. Akhirnya saya memberanikan diri untuk berkenalan dengan beliau. Karena saat itu saya aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) Wilayah Bengkulu (terakhir saya sebagai Sekretaris Umum PII Wilayah Bengkulu) dan beliau ternyata sebagai "KB" istilah teman-teman PII, yaitu sebagai keluarga besar, karena beliau adalah mantan ketua PII Bengkulu. Bahkan dari PII itulah beliau mendapat rekomendasi dari Bapak Mohammad Natsir, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonseia (DDII) Pusat (mantan Ketua Umum Masyumi/Perdana Menteri RI zaman RIS) untuk mendapat beasiswa kuliah ke Arab Saudi. Singkat cerita, akhirnya saya banyak belajar tentang Islam dengan beliau. Bahkan terinspirasi dari beliau pula saya berlangganan majalah "Media Da'wah" terbitan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang beralamat di Jalan Kramat Raya 45 Jakarta. Majalah tersebut banyak mengupas tentang dakwah dan perjuangan politik Islam Masyumi serta kiprah pak Natsir dalam dunia dakwah (Islam) dan politik di Indonesia. Bahkan seringkali saya tertidur di rumah beliau setelah mengikuti pengajiannya hingga larut malam.
Ustadz H. Syafruddin yang biasa saya panggil pak Syaf, juga memiliki lembaga pendidikan yang merupakan warisan dari ayah beliau H. Zakaria Labay (tokoh Islam di Bengkulu). Lembaga pendidikan itu bernama Pendidikan Thawalib Bengkulu. Pendidikan Thawalib memiliki SD dan SMP Thawalib, dan dari sinilah saya mulai belajar bekerja dengan menjadi guru tidak tetap SMP Thawalib. Awalnya saya hanya membantu pak Syaf sebagai tanda terima kasih saya yang telah banyak belajar dengan beliau tentang Islam, saya waktu itu betul-betul ikhlas hanya membantu dan dalam hati saya tidak perlu saya dibayar. Tapi kemudian oleh pengelola yang lain saya betul-betul dijadikan sebagai pengajar dan diberikan honor mengajar untuk mata pelajaran biologi. Dari sinilah pertama kali saya "bekerja" sebagai guru. Seiring dengan kesibukan saya dalam kuliah dan organisasi, maka saya izin kepada pengelola untuk tidak mengajar lagi di SMP Thawalib dengan alasan agar lebih konsentrasi dalam kuliah.
Pada Juni 1991 saya selesai kuliah, dan merupakan alumni terbaik pada angkatan wisuda Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu dengan IP Kumulatif =3, 19. Oleh karenanya pihak universitas menunjuk saya untuk mewakili para wisudawan-wisudawati menyampakan pidato ucapan terima kasih para wisudawan kepada Universitas Bengkulu. Selesai kuliah saya ditawari oleh beberapa orang teman untuk bekerja di Pemda Bengkulu, namun sama sekali tidak ada terbersit dalam hati saya untuk bekerja di Pemda, saya justru sangat berharap bisa mengabdi pada almamater saya di Fisipol UNIB sebagai dosen, dalam pikiran saya profesi sebagai dosen lebih sesuai dengan hati dan jiwa saya. Setelah ijazah dan transkrip nilai saya dapatkan, maka segera saja saya menghubungi ibu dekan Fisipol UNIB yang waktu itu dijabat oleh Dra. Samsinah Ansori, yang kebetulan baru saja menjabat sebagai dekan menggantikan bapak Drs. H. Hasnul Basri dengan maksud saya ingin kembali mengabdi pada Fisipol sebagai tenaga pengajar. Namun betapa kecewanya saya, jawaban yang saya terima dari ibu dekan tersebut, karena tidak ada formasi untuk jurusan saya, dan beliau menyarankan agar mencari pekerjaan di tempat lain saja. Andaikan saat itu dekan Fisipol masih bapak H. Hasnul Basri, maka menurut Kabag. Tata Usaha Fisipol UNIB, saya akan dapat menjadi tenaga pengajar, karena pengalaman yang sudah-sudah setiap alumni dengan nilai yang bagus akan diutamakan menjadi dosen di Fisipol UNIB.
Akhirnya saya mencoba melamar menjadi dosen di Universitas Prof. Dr. Hazairin, S.H. (UNIHAZ) Bengkulu, namun seiring dengan itu, karena tempat kontrakan bedeng sudah habis, sementara biaya untuk memperpajang kontarakan tidak ada lagi, maka saya kembali ke Palembang dan ada panggilan untuk wawancara di Unihaz tidak saya ikuti lagi, selamat tinggal Kota Bengkulu yang penuh kenangan, selamat tinggal teman-teman, ikhwah, murobbi, dan masjid Darul Ulum Kampus UNIB, yang telah membentuk karakter, jati diri dan tonggak sejarah perjuangan berikutnya.
Di Palembang, saya kembali menumpang di rumah kakak saya (tahun 1984-1986 saya juga tinggal di rumah kakak saya, saat SMA). Tahun 1992 saya mencoba melamar jadi dosen di STISIPOL Candradimuka Palembang, alhamdulillah saya diterima. Tapi sayang, antara kampus tempat mengajar dengan rumah kakak saya cukup jauh. Ongkos kesana lumayan mahal dan susahnya lagi ternyata honor yang diberikan tidak lancar serta nilainya juga tidak seberapa. Saya berusaha untuk tetap sabar, karena belum ada pilihan lain, dan sekalian saya cari teman, cari relasi dan memperluas pergaulan. Saya memasuki masa-masa yang sulit, pekerjaan sebagai dosen honor tidak menjanjikan, uang tidak ada, kadangkala dengan memberanikan diri minta uang dengan kakak, kadangkala saya tidur di tempat teman saya yang sedang menyelesaikan skripsi di Unsri atau tidur di masjid komplek SMA Negeri 1 Palembang, tempat saya sekolah dulu. Untunglah saya dapat segera kembali bergabung dalam pengajian pekanan di Palembang.
Pada suatu hari, lupa tanggalnya, tahun 1992 saya membaca koran Sriwijaya Pos (Sripo), dalam koran tersebut mata saya tertuju pada sebuah iklan penerimaan PNS yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Dalam formasi tersebut, di antaranya ada jurusan (bidang ilmu) saya. Semula saya tidak begitu antusias untuk melamar, karena sudah biasa saya mendengar bahwa untuk dapat diterima bekerja, apalagi di Pemda, harus menyediakan uang yang tidak sedikit untuk menyogok. Namun, didorong oleh kebutuhan untuk mencari pekerjaan yang tetap, karena sangat tidak mengenakkan kalau hanya jadi dosen honor dan sangat sering minta uang dengan kakak, maka dengan bismillah sayapun melengkapi persyaratan untuk ikut seleksi. Semua berkas saya kumpulkan, dan menurut ketentuan, semua pelamar harus memasukkan berkasnya melalui Pemda Kabupaten atau Pemda Kota. Sayapun memilih Pemda Lahat untuk tempat seleksi. Dalam hati saya, saya bicara bahwa saya sekali-kali tidak akan menyogok, di samping memang tidak sesuai dengan prinsip hidup saya, uang untuk menyogokpun tidak ada. Jangankan untuk menyogok, untuk biaya kuliah saja selama ini juga sangat sulit. Pokoknya saya akan berusaha dengan hanya mengandalkan prestasi saya selama kuliah.
Singkat cerita, setelah selesai tes, dan kebetulan masuk bulan Ramadhan, maka sepanjang bulan Ramadhan saya selalu berdoa kepada Allah, bunyi doa saya tersebut "Ya Allah kalau memang pekerjaan ini baik untukku, baik untuk kedua orang tuaku, baik untuk keluargaku, baik untuk hidup dan matiku nanti, maka ya Allah berikanlah kemudahan dan bantulah saya agar diterima dalam pekerjaan ini, tetapi kalau sebaliknya ya Allah, biarlah saya tidak diterima dan hamba mohon berikan pekerjaan lain yang lebih baik". Setelah sekian lama menunggu, Alhamdulillah, pada saat pengumuman kelulusan, saya dinyatakan diterima (sesuai dengan pengumuman di koran) dan untuk jurusan saya hanya 2 orang yang lulus, nomor 1 namanya Dra. Amnes Kadarwasti (Alumni Fisipol UGM) dan nomor 2 saya sendiri. Membaca pengumuman kelulusan tersebut, saya sangat gembira, ingin rasanya saya sujud syukur saat itu. Ini adalah kegembiraan yang luar biasa yang pernah saya rasakan setelah pada tahun 1986 saya dinyatakan lulus Sipenmaru yang diumumkan di koran di Palembang.
Setelah melalui proses panjang, barulah pada tahun 1993 saya beserta teman-teman yang lulus PNS Pemprov. Sumsel diikutkan pada Latihan Dasar Kemiliteran (Latsarmil) selama sebulan di Palembang. Setelah itu, kami ditempatkan pada masing-masing daerah. Saya beserta teman lainnya ditempatkan di Kab. Lahat, tepatnya di Dinas Sosial Kab. Lahat. Bulan pertama saya di Lahat, suasananya sangat berbeda, pembicaraan sebagian besar memang berkutat masalah pekerjaan dan "proyek", sangat kontradiktif dengan suasana kampus. Rasanya saya tidak betah, berhari-hari suasana kerja membosankan, membosankan, dan membosankan. Tapi saya masih berkeyakinan dengan doa saya dulu sebelum diterima sebagai PNS. Saya tetap bertahan dengan dinamika dan kenyataan tersebut.
Tahun 1994 saya diangkat penuh sebagai PNS (100%). Langsung saya diberikan jabatan eselon V.b. sebagai Kepala Sub Seksi. Interaksi dengan berbagai kantor dan teman-teman sesama PNS sudah semakin normal, tetapi tetap saja belum begitu betah. Pada bulan Oktober 1994 saya pun menemukan jodoh, dan menikah (setelah diterima di PTN, lalu lulus tes PNS, saya merasakan kegembiraan yang luar biasa, maka saat lamaran saya diterima untuk menikah, merupakan kegembiraan yang sama hebatnya).
Tahun 1996 saya dipindahkan ke kantor BP-7 Kab. Lahat sebagai Kepala Seksi Pendidikan yang bertugas melaksanakan kegiatan penataran P4. Karena saya pernah ikut Penataran P4 Pola 144 Jam/Calon Penatar di Jakarta, dan memiliki SK sebagai Penatar dari BP-7 Pusat, maka sayapun disamping sebagai pejabat eselon V.a, saya juga bertugas sebagai penatar P4. Hari-hari saya lalui dalam jabatan di BP-7 lumayan berkesan, hampir di seluruh kecamatan dalam wilayah Kabupaten Lahat pernah saya masuki dan pernah memberikan penataran. Apalagi pada waktu kepala BP-7-nya bapak Kalamuddin, S.H. (sekarang Bupati Muara Enim) sangat mengapresiasi saya untuk selalu menjadi penatar di berbagi kesempatan pelaksanaan penataran, baik di desa-desa, maupun penataran pada kalangan PNS. Saya sangat terhibur berkarir di BP-7 (walaupun materi P4 tidak begitu berkenan dihati saya, namun saya bisa mengemas materi P4 tersebut dengan nilai-nilai Islam). Tidak lama kemudian, kepala BP-7 diganti dengan pejabat yang baru (berasal dari Kab. Musi Banyuasin). Dengan kepala BP-7 yang baru ini pun, saya diberikan apresiasi, hampir disetiap kegiatan penataran saya dipercayakan untuk memberikan materi (menatar), bahkan saya diusulkan untuk menjabat eselon IV.a sebagai kepala Bidang Pengkajian dan Pengembangan. Sesuai dengan instruksi presiden, semua PNS harus mengikuti penataran dan semua biaya dibebankan pada APBD masing-masing daerah. Lalu, saya pun atas perintah kepala BP-7 membuat usulan proyek penataran P-4 bagi PNS eselon IV di Lingkungan Pemda Lahat. Singkat cerita, usulan pun disetujui dan saya pun diusulkan untuk menjadi Pimpro Pentaran P-4 bagi PNS Eselon IV di lingkungan Pemda Lahat. Selanjutnya, saya menyusun pembagian/alokasi dana penataran sebelum proyek dilaksanakan. Dari anggaran dana yang ada, saya pun membagi berbagai kebutuhan, mulai untuk belanja alat dan bahan, upah, konsumsi, perjalan dinas dan lain-lain, semuanya sudah saya atur dengan baik. Harapan saya agar pembagian alokasi dana tersebut dapat berjalan dengan baik, maka dana yang ada betul-betul saya atur sedemikian rupa, dan jangan lagi dana tersebut diotak-atik untuk hal-hal yang tidak jelas. Proyek penataran tersebut dianggarkan untuk empat angkatan, dan untuk tahun berikutnya akan diusulkan kembali. Pada saat angkatan pertama dilaksanakan, mulailah kepala BP-7 macam-macam, beberapa dana yang sudah saya alokasikan dan telah disetujui oleh bupati, hendak dimanfaatkan oleh kepala BP-7, padahal alokasi dana untuk kepala BP-7 sebagai atasan pimpro sudah diatur dan lumayan besar. Tetapi tetap saja dia ingin mengambil yang bukan haknya. Informasi itu disampaikan oleh bendahara proyek kepada saya selaku pimpro. Saya pusing mengatur dana penataran tersebut dan akhirnya saya bilang dengan bendahara proyek, kalau kepala BP-7 tetap ngotot ingin mengambil dana proyek tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah dialokasikan, silakan saja dan semua kegiatan penataran tersebut silakan saja ambil alih oleh kepala BP-7. Singkat cerita, akhirnya secara tertulis saya mengundurkan diri sebagai pimpro, dan Alhamdulillah disetujui, saya pun selamat dari kegiatan proyek yang seperti itu. Tahun 1998, tuntutan reformasi yang disuarakan mahasiswa dan para tokoh berhasil dengan tumbangnya kekuasaan regim Orde Baru melalui lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan sebagai presiden selama 32 tahun. Seiring dengan itu, lembaga BP-7 yang bertugas memasyarakatkan nilai-nilai P4 (yang dianggap sebagai alat propaganda penguasa) ikut juga dibubarkan. Lalu, sayapun dipindahkan ke Dinas Sosial, tempat pertama kali saya bertugas. Namun sebulan kemudian, hasil musyawarah cabang (Muscab) Korpri Kab. Lahat memutuskan saya terpilih sebagai Sekretaris DPC Korpri Kab. Lahat mendampingi Ketua Korpri terpilih bapak Drs. H.M. Imron Marus yang juga selaku Sekda Kab Lahat. Karena jabatan itu pula (Sekretaris Korpri), saya pindah kantor lagi, yaitu di Sekretariat Korpri Kab. Lahat. Namun, pada saat masih berkantor di BP-7, saya sempat ditugaskan oleh Bupati Lahat untuk ikut seleksi penerimaan S2 UGM, dan Alhamdulillah beberapa waktu kemudian, saya dinyatakan diterima. Tapi sayang, biaya kuliah S2 tersebut belum dianggarkan dan menurut ketentuan dari UGM, bahwa masa berlaku hasil tes tersebut selama 2 tahun. Harapan saya, saya dapat kuliah pada tahun berikutnya, dan atas saran kawan di Bagian Kepegawaian, saya lalu menyampaikan surat permohonan kepada Bupati agar saya ditugaskan untuk mengikuti kuliah S2 di UGM. Alhamdulillah Bupati menyetujui permohonan saya. Singkat cerita, sayapun menghubungi pihak PPs UGM dan sayapun disetujui untuk kuliah Angkatan XXI. Sayapun segera mengajukan permintaan biaya kepada Bupati, Alhamdulillah kembali disetujui. Pada saat persetujuan tersebut saya bawa ke Bagian Keuangan, ternyata kas Pemda masih kosong, sayapun tidak kehilangan jalan. Karena saya Sekretaris Korpri, dan saya tahu keadaan keuangan Korpri, maka sayapun mengajukan pinjaman uang sebesar sepuluh juta rupiah kepada Korpri dan setelah dana dari Pemda cair maka akan segera dibayarkan ke Korpri kembali.
Lalu sayapun berangkat kuliah, sekitar 2 tahun saya di Jogja, anak dan istri saya boyong semua ke Jogja. Alhamdulillah, dalam waktu kurang sedikit 2 tahun, saya selesai kuliah dan kembali ke Lahat. Singkat cerita, saya ditempatkan sebagai staf pada Badan Kepagawaian Daerah (BKD) Kab. Lahat. Teman saya yang juga sebagai Kepala Bappeda Kab. Lahat menawarkan kepada saya agar saya sekantor dengannya, sayapun sangat setuju. Beliau kemudian menghubungi Kepala BKD dengan maksud agar saya ditempatkan di Bappeda, tapi sayang Kepala BKD mengatakan bahwa harus melalui proses rapat Baperjakat (Badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan) terlebih dahulu. Karena saat itu golongan saya baru III/c, dan jabatan yang cocok untuk golongan III/c adalah eselon III.b dan eselon III.b hanya jabatan camat, maka oleh Kepala BKD kalau saya berminat jadi camat, maka harus jadi Sekcam lebih dulu. Saya katakan; Sekcam dimana? beliau menjawab jadi Sekcam di Kecamatan Pajarbulan, lalu saya katakan, bagaimana kalau jadi Sekcam di Kota Lahat atau di Kec. Merapi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal saya. Beliau (Kepala BKD) mengatakan; "kalau Sekcam Lahat itu jatah bapak Bupati, dan sekcam Merapi ada juga pejabat yang pegang. (dalam hati saya, kalau jabatan Sekcam saja sudah dikapling oleh para pejabat, bagaimana dengan jabatan yang lebih tinggi dari Sekcam). Mulailah pikiran saya berkecamuk, antara idealisme yang saya peroleh selama kuliah S2 di UGM dengan situasi yang saya hadapi. Hati kecil saya mengatakan; sulit bagi saya berkarir di Pemda kalau suasananya seperti itu. Akhirnya saya minta waktu untuk berunding dulu dengan istri saya sebelum meng-iya-kan tawaran sebagai sekcam Pajarbulan. Singkat cerita, saya putuskan untuk tidak menerima tawaran sebagai sekcam dan biarlah saya tidak menjadi camat. Belum satu pekan, sayapun kembali ingin melaporkan tentang penolakan saya atas tawaran untuk menjadi sekcam. Tapi sayang ternyata usulan sebagai sekcam sudah diproses untuk di SK-kan oleh Bupati. Akhirnya mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, jabatan sebagai sekcam itupun saya terima.
Sayapun kemudian pindah ke Pagaralam (kadang di rumah orang tua, kadang di rumah mertua). Bulan pertama saya bertugas betul-betul merasakan situasi yang tidak nyaman. Saya kembali kesuasana yang lebih parah dari Dinas Sosial, situasi tersebut betul-betul membuat saya tidak bisa bertahan. Kemudian saya berunding lagi dengan istri; hasilnya bahwa saya pindah kerja saja menjadi dosen Kopertis (bisa di Palembang atau di Lampung). Tapi, timbul pertanyaan; apakah saya diizinkan oleh bapak Bupati Lahat? Saya belum lama pulang dari tugas belajar. Saat itu (sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 masih berlaku), kepala daerah bertanggungjawab kepada DPRD. Apa saja yang diinginkan oleh DPRD, biasanya bupati meng-iya-kan saja.
Kebetulan salah seorang anggota DPRD Lahat ada kakak kelas saya waktu kuliah di Fisipol Univ. Bengkulu, beralamat di desa Rambaikaca Kec. Jarai. Untuk menindaklanjuti rencana saya pindah menjadi dosen, tengah malam sayapun silaturrahim ke rumahnya. Singkat cerita, saya ceritakan keinginan saya itu, dan sebenarnya diapun tidak setuju. Tapi, karena saya sangat berkeinginan untuk segera pindah, maka saya bilang; "Besok tolong temani saya untuk menghadap bapak Bupati untuk meminta persetujuan pindah". Sebab kalau tidak langsung kepada bupati, dikhawatirkan akan sulit. Katakanlah proses usul pindah itu saya mulai dari BKD, dan mereka paham bahwa saya baru pulang, tentu asumsi saya, BKD tidak akan merekomendasikan usul saya tersebut. Akhirnya, tidak sampai 10 menit pertemuan dengan bupati, saya sampaikan maksud dan tujuan saya, dan Alhamdulillah usul tersebut disetujui. Mau rasanya saat itu saya sujud syukur di ruang kerja bupati, tapi tidak saya lakukan. Namun perasaan senang tersebut tidak dapat saya lukiskan dengan kata-kata.
Kemudian, menindaklanjuti persetujuan bupati tersebut, agar proses surat menyurat menjadi lebih lancar, maka seluruh surat usul tersebut saya sendiri yang membuatkan, karena saya juga pernah di BKD dan dengan semua pegawai BKD saya kenal. Setelah itu, saya minta paraf dengan pejabat BKD dan saya juga yang mengantarkan kembali kepada bupati untuk ditandatangani. Tidak lama kemudian, surat turun dan terus saya urus hingga ke Depdiknas di Jakarta. Sambil menunggu SK mutasi, sayapun dimutasikan ke Bappeda Lahat. Sayapun bertemu kembali dengan Ketua Bappeda (H. Eduar Kohar), dan lalu saya dkk dilantik sebagai pejabat Eselon IV.a (Kasubbid. Evaluasi dan Formulasi Rencana Strategis Bappeda Kab. Lahat. Kepala Bappeda sangat apresiasi dengan kehadiran saya, bahkan saya ditugaskan khusus untuk menyusun Renstra Bappeda Kab. Lahat. Beberapa tawaran untuk diklat di Jakarta-pun saya diikutkan. Kelihatannya saya akan betah di Bappeda, namun apa hendak dikata, saya sudah berazzam untuk alih profesi sebagai dosen. Setelah hampir lima bulan proses pindah saya di Depdiknas, maka dapat informasi dari pak Hapidin (Biro Kepegawaian Depdiknas), bahwa SK mutasi saya sudah turun dan tinggal diambil saja ke Jakarta. Alhamdulillah saat itu saya ditugaskan untuk mengikuti diklat Anggaran Berbasis Kinerja di Depkeu di Jakarta dan bak kata pepatah "sambil menyelam minum air", maka SK mutasipun saya ambil. Karena saat itu saya diberikan uang perjalanan dinas, maka sebagian dari uang tersebut saya gunakan untuk memberi hadiah dan tanda terima kasih saya atas bantuan pak Hapidin mengurus SK mutasi tersebut hingga berhasil. Singkat cerita, pada tahun 2003 (lupa bulan berapa, sekitar pertengahan tahun) sayapun mengurus mutasi ke Kopertis Wil. II Palembang, dan melapor kepada Rektor Univ. Bina Darma serta sekalian memindahkan gaji saya dari Pemkab. Lahat ke Kopertis, setelah itu sayapun pamit dengan Ketua Bappeda Lahat.
Tahun 2003, sebagai babak baru bagi pekerjaan/profesi saya. Banyak dinamika yang saya temui di tempat yang baru ini. Golongan saya yang baru III/c belum bisa diusulkan ke III/d karena jabatan akademik saya baru Asisten Ahli. Maka sayapun berusaha agar saya bisa mendapatkan jenjang akademik lektor (mulailah segala SK, piagam saya kumpulkan, sayapun membuat tulisan di jurnal) setelah saya hitung dan cukup, maka saya usulkan jenjang akademik saya ke lektor. Namun sayang, lektor yang saya peroleh hanya kum 200 dan masih belum bisa diusulkan untuk mendapatkan gol. III/d. Akhirnya sayapun kembali berusaha, segala SK mengajar, membimbing skripsi, tugas akhir, tesis, SK kepanitiaan, piagam-piagam, dll berkaitan dengan hal tersebut saya kumpulkan. Dua artikel saya Alhamdulillah diterbitkan pada Jurnal Ilmiah Terakreditasi terbitan Pascasarjana Univ. Riau, dan beberapa tulisan pada Jurnal MBiA Univ. Bina Darma. Setelah saya hitung dan sudah cukup untuk ke jenjang lektor kepala, maka saya usulkan ke Kopertis dan selanjutnya diteruskan ke Dikti Depdiknas. dan lebih kurang satu tahun kemudian, SK Penetapan angka kredit dengan jenjang jabatan akademik turun dengan jabatan Lektor Kepala (kum 400) dan dapat diusulkan naik ke gol. III/d hingga IV/a.
(bersambung...)