13 Februari 2008

Mengenang Buya Hamka

Rabu, 13 Februari 2008

Dalam lintasan sejarah pemikiran Islam di Indonesia, Buya Hamka tercatat sebagai salah seorang pemikir Islam modern yang sangat produktif. Ini ditunjukkan dengan begitu banyak karyanya dalam bidang keislaman.
Yang paling fenomenal dari sejumlah karyanya itu adalah Tafsir Al-Azhar. Kemampuan Hamka sungguh mengagumkan mengingat beliau bukanlah seorang sarjana dengan pendidikan formal yang tinggi. Hamka hanya otodidak.
Beliau merepresentasikan peralihan transmisi (pewarisan ilmu-ilmu keislaman) dari corak tradisional atau meminjam istilah Azyumardi Azra dari isnad dan silsilah (mata rantai pewarisan) tradisional menjadi isnad dan silsilah modern (Azra, 2005). Corak tradisional menunjukkan adanya transmisi melalui pertemuan langsung antara murid dan guru.
Otoritas guru dan sanad yang menyertainya memiliki nilai yang tinggi dalam pewarisan keilmuan. Pada gilirannya cenderung menimbulkan kesamaan mazhab dan aliran teologi pada garis sanad dan silsilah yang ada. Transmisi tradisional meniscayakan mata rantai isnad dan silsilah yang homogen. Pada transmisi modern, pewarisan itu tidak mengharuskan pertemuan murid dan guru. Karena itu, isnad dan silsilah keilmuannya terbentuk dari beberapa sumber berbeda.
Dengan demikian, Buya Hamka adalah salah satu intelektual Islam yang merepresentasikan pola transmisi modern. Dalam pandangan Nurcolish Madjid, kelebihan lainnya adalah kesanggupan Buya menyatakan pikiran dalam ungkapan-ungkapan modern dan kontemporer.
Karena itu, Buya berhasil menjalin komunikasi intelektual dengan kalangan terpelajar tanpa canggung dan hambatan. Pikiran-pikirannya diterima di kalangan luas, khususnya umat Islam Indonesia yang sering diidentifikasi sebagai modernis atau pembaharu (1997: 123-124). Upaya memperingati kelahiran Buya Hamka yang lahir 17 Februari 1908 bukanlah suatu pengkultusan terhadapnya, melainkan upaya untuk melihat dan mengkaji kembali kontribusi dan relevansi pemikirannya dalam kehidupan masyarakat modern.
Problem masyarakat modernMenurut Erich Fromm, karakter masyarakat modern diwarnai oleh orientasi pasar, di mana keberhasilan seseorang bergantung pada sejauh mana 'nilai jualnya' di pasar (1999). Masyarakat (manusia) modern mengalami dirinya sebagai penjual sekaligus sebagai komoditas untuk dijual di pasar.
Maka, penghargaan atas dirinya ditentukan oleh nilai-nilai yang diakui oleh pasar. Akhirnya, setiap orang didorong berjuang keras menjadi pekerja sukses dan kaya demi penegasan akan keberhasilannya itu.
Kemakmuran melambangkan nilai jualnya yang tinggi dan dihargai di pasar. Kemiskinan dimaknai sebagai sebaliknya. Kebaikan, kejujuran, kesetiaan pada kebenaran dan keadilan dipandang tidak bernilai jika tidak memberikan manfaat bagi kesuksesan dan kemakmuran. Sejauh kondisi ekonominya tidak makmur, dia dinilai belum sukses.
Kondisi ini menandakan masyarakat modern mengalami alienasi (keterasingan). Mereka menilai manusia tidak lagi berpijak pada kualitas kemanusiaan, melainkan oleh keberhasilannya dalam mencapai kekayaan materil (Fromm, 1999).
Keadaan ini memalingkan kesadaran manusia sebagai makhluk termulia. Keutamaan dan kemuliaannya menyatu dengan kekuatan kepribadiannya, bukan bergantung pada sesuatu di luar dirinya. Karena itu, masyarakat modern mengalami depersonalisasi, kehampaan, dan ketidakbermaknaan hidup.
Eksistensinya bergantung pada pemilikan dan penguasaan pada simbol kekayaan. Hasrat mendapatkan harta yang berlimpah melampaui komitmennya terhadap solidaritas sosial. Ini didorong pandangan bahwa orang banyak harta merupakan manusia unggul. Di tengah alienasi semacam ini pemikiran Hamka dalam beberapa bukunya, terutama Tasawuf Modern dan Tafsir Al-Azhar, memberikan suatu pencerahan bagi masyarakat modern.
Tasawuf dan modernitasPada dasarnya sejak awal perkembangan Islam, gerakan tasawuf mendapat sambutan luas di kalangan umat Islam. Bahkan penyebaran Islam di Indonesia lebih mudah berkat dakwah menggunakan pendekatan tasawuf. Penekanan pada sisi esoterik agama (hal-hal yang bersifat batiniah dari agama) lebih mengundang daya tarik ketimbang eksoteriknya (formalitas ritual agama).
Salah satunya disebabkan oleh adanya persinggungan antara sisi esoterik dengan pergulatan eksistensi manusia. Kecenderungan animisme dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda yang mengandung keramat dan ruh-ruh leluhur yang bisa menjadi perantara kepada Tuhan), misalnya, menyiratkan ketertarikan yang besar terhadap sisi esoterik itu. Faktor seperti inilah yang mendorong Hamka meneliti tasawuf, sebagaimana dia jelaskan dalam bukunya: ''Tidaklah dapat diragui lagi bahwasanya tasawuf adalah salah satu pusaka keagamaan terpenting yang memengaruhi perasaan dan pikiran kaum Muslimin'' (1981: 20).
Luasnya pengaruh tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban Islam menandakan tasawuf relevan dengan kebutuhan umat Islam. Menurut Hamka, tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan merupakan jantung dari keislaman.
Dalam masyarakat modern, fenomena ketertarikan terhadap pengajian bernuansa tasawuf mencerminkan adanya kebutuhan untuk mengatasi problem alienasi yang diakibatkan modernitas. Modernitas memberikan kemudahan hidup, tetapi tidak selalu memberikan kebahagiaan.
Mengenai hal ini, Buya Hamka mengatakan: ''Setelah manusia menurutkan jalan kecepatan pengaruh hidup benda itu (materialisme), timbullah pada mereka satu perasaan yang ganjil sekali. Di mana-mana telah timbul perasaan tidak puas dengan kemajuan hidup kebendaan ini. Kapal terbang, radar, piring terbang, bom atom, bom hidrogen yang lebih dahsyat, radio, televisi, dan beratus macam alat pendapatan baru untuk kemewahan dan kesenangan hidup, semuanya sudah dapat dikuasai, tetapi diri masih terasa kurang. Hidup menurutkan perintah kebendaan belaka, sendirinya telah menimbulkan jemu. Siang hari kerja keras mencari keuntungan dan kekayaan dengan semboyan time is money (tempo itu adalah uang). Tetapi, ternyata manusia sesamanya telah memperebutkan tempo untuk sebanyak-banyaknya uang bagi diri sendiri, biarpun merugikan orang lain. Siapa yang tidak sigap mengejar tempo, tersingkirlah dia ke tepi dan habislah umurnya untuk itu. Semata-mata hidup kebendaan ternyata hanya menimbulkan rasa kebencian dan kedengkian sesama manusia. Baik dengan orang seorang, apatah lagi di antara bangsa yang lebih banyak mendapat benda dengan bangsa yang mendapat sedikit'' (1981: 14).
Dalam refleksinya, Hamka sering memperkenalkan konsep neo-zuhud, yaitu ajaran yang menyatakan kecintaan terhadap dunia yang tidak proporsional merupakan kenistaan. Pendekatan tasawuf semacam ini sangat relevan dalam mengatasi krisis eksistensi masyarakat modern,agar dapat menormalkan cara pandangnya tentang relasi dirinya (manusia) dengan sesamanya, pekerjaannya, dan eksistensinya. Tidak heran buku beliau yang berjudul Tasawuf Modern begitu laris di pasaran.
Hal itu menunjukkan bahwa kontribusi pemikiran keagamaan Hamka sangat signifikan dalam perkembangan masyarakat modern. Mudah-mudahan peringatan 100 tahun Hamka dapat menegaskan kembali peran dan tanggung jawab agama terhadap perubahan sosial.

12 Februari 2008

Panduan Memilih Perguruan Tinggi

Dari 1465+ perguruan tinggi swasta di Indonesia, tentu saja tidak semuanya memenuhi kriteria minat, biaya dan prospek yang sudah anda tentukan. Coret PTS yang tidak memiliki program studi sesuai minat anda. Singkirkan PTS-PTS yang biaya kuliahnya terlalu mahal bagi anda, atau terlalu jauh dari tempat tinggal anda sehingga biaya untuk kuliah di sana akan terlalu tinggi. Dengan demikian daftar yang anda miliki akan semakin pendek. Tetapi itupun mungkin masih cukup panjang sehingga memerlukan pendalaman lebih jauh. Faktor apa lagi yang perlu dilihat dari suatu perguruan tinggi untuk menentukan pilihan akhir anda?
Reputasi
Kalau saya harus memilih salah satu PTS tanpa melihat faktor-faktor internal lainnya, pertimbangan utama yang paling gampang saya gunakan adalah reputasi PTS tersebut. Reputasi di sini berarti PTS yang bersangkutan secara umum dikenal sebagai PTS yang baik, memiliki sarana belajar mengajar yang baik dengan fasilitas yang memadai. Lulusannya pun tidak kesulitan dalam mencari pekerjaan. Bahkan ada lulusan PTS yang menjadi rebutan perusahaan-perusahaan pemakainya.
Apakah tidak mungkin salah jika memilih PTS ini? Harus kita ingat, reputasi tidak datang dalam sekejap. Reputasi ini biasanya dibangun dengan kerja keras dan melalui proses yang panjang. Bisa saya katakan bahwa anda berada on the safe side jika memilih salah satu dari PTS-PTS ini. Bukan berarti lalu anda berhenti di sini saja. Masih ada hal-hal lain yang harus anda cermati.
Status Akreditasi
Status akreditasi ini adalah salah satu faktor yang paling sering digunakan oleh PTS untuk mengiklankan dirinya. Tidak terlalu salah memang, karena hal itu menunjukkan mutu/kemampuan PTS dalam menyelenggarakan suatu program studi. Status ini didapat setelah diadakan penilaian tentang semua unsur yang diperlukan untuk itu, termasuk fasilitas pendidikan, nisbah dosen tetap dan mahasiswa, kurikulum pendidikan, dan banyak hal lainnya. Masalahnya, tidak semua orang memahami dengan jelas tentang status ini, dan tampaknya banyak PTS yang menyadari dan memanfaatkan ketidaktahuan tersebut.
Yang terutama adalah: status akreditasi diberikan kepada program studi di suatu PTS dan bukan kepada PTS yang bersangkutan. Jadi sebetulnya tidak ada istilah PTS yang disamakan. Yang benar adalah (satu atau lebih) program studi di PTS tersebut statusnya disamakan. Mungkin saja PTS tadi memiliki 3 program studi (misalnya A, B, dan C), masing-masing dengan jenjang S1 dan D3. Kalau program studi A jenjang D3 saja (satu dari enam) yang memperoleh status disamakan, apakah tepat kalau PTS tersebut mengatakan statusnya disamakan?
Yang perlu anda ketahui juga, status akreditasi ini menentukan kemandirian suatu program studi dalam melaksanakan proses belajar mengajar, misalnya ujian negara atau penerbitan ijazah. Suatu program studi (sekali lagi bukan PTS) yang sudah dinyatakan terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) berhak untuk menyelenggarakan sendiri semua kegiatannya. Artinya anda tidak lagi harus mengikuti ujian negara yang dilaksanakan oleh Kopertis, dan ijazah yang anda terima cukup disahkan oleh PTS tempat anda kuliah.
Sekali lagi, tanyakan dengan jelas status akreditasi program studi yang anda pilih. Jangan percaya begitu saja dengan klaim yang dikeluarkan oleh suatu PTS tentang statusnya. (Uraian yang lebih rinci tentang hal ini dapat anda lihat pada topik Akreditasi).
Jalur dan Jenjang Pendidikan
Berapa lama anda mau menghabiskan waktu di bangku kuliah? Secepatnya? Berapa cepat? Selain ditentukan oleh kemampuan anda, hal ini juga tergantung dari jalur/jenjang pendidikan yang anda ambil. Pendidikan tinggi di Indonesia mengenal dua jalur pendidikan, yaitu jalur akademik (jenjang sarjana) dan jalur profesional (jenjang diploma). Jalur akademik menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan, sedangkan jalur profesional menekankan pada penerapan keahlian tertentu. (Untuk lebih lengkapnya silakan lihat Struktur Pendidikan Tinggi).
Dalam kaitannya dengan waktu, jenjang sarjana membutuhkan waktu lebih lama (minimal 8 semester) dibandingkan dengan jenjang diploma (2 semester untuk D1 - 6 semester untuk D3). Hal ini tentu sangat berpengaruh pada biaya yang harus anda sediakan. Banyak orang, yang karena keterbatasannya, lebih memilih jenjang diploma dengan harapan cepat lulus dan mendapat pekerjaan.
Perlu anda ketahui, jenjang diploma dirancang sebagai jenjang terminal. Artinya, lulusannya dipersiapkan untuk langsung memasuki dunia kerja, bukan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi (walaupun sekarang ada yang disebut program lintas jalur, dari diploma ke sarjana). Ini berbeda dengan jenjang sarjana, yang membuka kesempatan lulusannya untuk terus mengembangkan ilmunya.
Hal lain yang harus anda perhatikan adalah tingkat persaingan di pasar kerja. Kalau banyak tenaga sarjana yang tersedia, perusahaan akan lebih memprioritaskannya dibandingkan lulusan diploma.
Gelar dan Sebutan
Sesudah anda lulus, anda akan mendapat ijazah dan salah satu dari ini: gelar akademis atau sebutan profesional. Yang pertama anda tentu tahu, Sarjana Ekonomi (SE), Sarjana Hukum (SH), dan gelar lainnya. Gelar akademis ini diberikan kepada mereka yang menyelesaikan pendidikan melalui jalur akademik (jenjang sarjana).
Lalu bagaimana kalau kita menyelesaikan pendidikan jalur profesional (jenjang diploma)? Bukan gelar akademis (Sarjana Muda, misalnya) yang kita dapatkan, melainkan sebutan profesional seperti Ahli Madya Komputer (AMd Komp). Sebutan ini mungkin belum terlalu memasyarakat, dan kadang-kadang dianggap kurang bergengsi. Banyak yang masih menggunakan (dan lebih menyukai) istilah D3-Komputer. Anda yang menentukan, gelar atau sebutan yang ingin anda tambahkan di belakang nama anda.
Fasilitas Pendidikan
Gedung megah dan ber-AC saja tidak cukup untuk menjamin berlangsungnya proses belajar mengajar yang baik. Bukan (hanya) itu yang dimaksud dengan fasilitas pendidikan. Fasilitas seperti laboratorium (komputer, akuntansi, bahasa, dan lain-lain), bengkel, studio dan perpustakaan sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan mahasiswa. Mereka tidak hanya dituntut untuk menguasai wawasan keilmuannya saja, tetapi juga bagaimana menerapkannya di lapangan. Apalagi untuk jalur pendidikan profesional yang lebih bersifat aplikatif dan menekankan pada ketrampilan.
Sekali lagi, jangan hanya tampilan fisik yang anda perhatikan. Boleh saja PTS memasang foto-foto gedungnya yang megah, laboratorium komputernya yang canggih. Tidak ada salahnya anda coba menanyakan, kapan mahasiswa berkesempatan untuk menggunakan fasilitas-fasilitas tersebut. Jangan-jangan hanya satu-dua kali per semester, atau hanya untuk mahasiswa tingkat akhir saja. Perhitungkan juga jumlah mahasiswa yang harus menggunakan fasilitas tersebut.
Kualitas dan Kuantitas Dosen
Perkembangan suatu PTS paling gampang dilihat dari jumlah mahasiswanya yang (selalu) bertambah. Ini sangat penting bagi PTS, karena mahasiswa adalah sumber utama (seringkali satu-satunya) pendapatan PTS. Dari merekalah PTS mencukupi kebutuhannya untuk membiayai operasional pendidikan, membangun gedung, menambah fasilitas pendidikan, termasuk membayar gaji dosen dan karyawannya. Oleh karena itulah ada kecenderungan PTS untuk menggali sebanyak mungkin potensi ini, baik secara kualitas (memperbesar uang gedung dan uang kuliah) maupun kuantitas (menerima sebanyak mungkin mahasiswa).
Pada sisi lain, bertambahnya mahasiswa menuntut ditambahnya jumlah dosen. Bukan hal yang mudah mendapatkan dosen dengan jumlah yang memadai, apalagi yang memenuhi kualitas yang dibutuhkan. Padahal Undang-Undang Pendidikan Tinggi mensyaratkan tercapainya nisbah (rasio) antara dosen tetap dan mahasiswa sebesar 1:30 untuk bidang studi IPS dan 1:25 untuk bidang studi IPA. Mungkin faktor dosen ini merupakan salah satu faktor paling sulit bagi suatu PTS, dan karenanya sering diabaikan atau direkayasa.
Pengabaian secara kuantitatif dilakukan dengan membebani dosen yang terbatas jumlahnya dengan beban mengajar yang besar, sehingga waktu dan tenaga dosen-dosen tersebut betul-betul tersita untuk itu. Seringkali hal ini dilakukan dengan mengabaikan aspek kualitas pengajarannya. Hampir tidak tersisa lagi waktu untuk melakukan penelitian atau pengabdian masyarakat yang merupakan pilar-pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Bisa juga suatu PTS memenuhi aspek kuantitas dosen tetap ini, tetapi dengan mengkompromikan kualitasnya. Misalnya dosen yang mengajar tidak sesuai dengan bidang ilmunya, tidak terpenuhinya kepangkatan akademik dalam pengajaran atau bimbingan tugas akhir, dan lain sebagainya.
Perekayasaan positif terjadi dengan penggunaan dosen-dosen tidak tetap. Biasanya dosen tidak tetap ini memenuhi persyaratan kelayakan mengajar, seperti latar belakang pendidikan, gelar dan kepangkatan akademis dan profesionalismenya. Masalahnya, dosen-dosen ini hanya menyediakan waktu yang terbatas kepada mahasiswa sesuai dengan status tidak tetapnya. Bagi PTS, mereka tidak bisa disertakan dalam penghitungan nisbah dosen tetap dan mahasiswa sehingga tidak berpengaruh dalam penentuan status akreditasi.
Yang paling memprihatinkan adalah jika terjadi perekayasaan negatif. Dalam hal ini PTS berusaha dengan segala macam cara untuk memenuhi nisbah tersebut. Misalnya PTS masih mencantumkan nama dosen yang sudah tidak lagi menjadi dosen tetap di sana, atau nama seseorang tercantum sebagai dosen tetap di lebih dari satu PTS. Contoh lain adalah dengan cara meminjam nama. Seseorang yang memenuhi kualifikasi akademis "diangkat" sebagai dosen tetap dengan mendaftarkannya secara resmi ke instansi yang berwenang. Artinya, secara administratif seluruh persyaratan sudah dipenuhi dan "dosen" tersebut juga menerima gaji dari PTS. Tetapi, keterlibatannya dalam kegiatan akademik hampir atau memang tidak ada sama sekali.
Sebelum anda mendaftar, cobalah untuk mencari tahu jumlah dosen tetap di PTS tersebut. Berapa orang yang bergelar S2, S3, dan mungkin ada yang sudah bergelar profesor. Kualitas keilmuan anda sangat banyak ditentukan oleh mereka.


Hak Cipta ©1998-2007 PTS Online

Tiga Dimensi Kesempurnaan Islam

Sebagian besar ulama sepakat bahwa ayat yang terakhir kali turun adalah ayat 3 dalam surat al-Maidah, yang artinya : “Pada hari ini telah kusempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan Aku rela Islam menjadi agamamu”. Ayat ini diturunkan pada waktu Rasulullah melaksanakan ibadah haji wada’ (haji perpisahan atau haji yang terakhir kali dilakukan oleh Rasulullah). Tidak lama setelah Rasulullah menerima ayat ini, kondisi fisik Rasulullah makin menurun dan kemudian Beliau wafat. Ayat ini menyatakan bahwa agama Islam adalah agama yang sempurna, tentu saja sempurna dalam segala hal dan dalam segala dimensinya. Paling tidak ada tiga dimensi untuk melihat kesempurnaan Islam.
Pertama, dimensi kesempurnaan sistem/mencakup keseluruhan (syumuliyatul minhaj). Tidak ada satu perkarapun dalam hidup ini yang terlepas dari perhatian agama Islam, dari hal yang paling kecil sampai kepada perkara-perkara besar sudah diatur sedemikian rupa dalam aturan, etika dan adab-adab dalam Islam. Dari bangun tidur hingga tidur kembali, ada aturan mainnya. Apa yang membedakan antara orang Islam dengan orang di luar Islam? Apa beda antara tidurnya orang Islam dengan orang di luar Islam? Sekilas tidak ada bedanya. Tetapi apabila dikembalikan kepada etika dan adab dalam Islam, maka akan ditemukan banyak sekali perbedaannya. Kata Rasulullah, apabila engkau hendak tidur maka bacalah do’a dan miringkan badanmu kesebelah kanan, jangan membelakangi kiblat dan sebaiknya berwudhulah terlebih dahulu. Beliau juga mengatakan, apabila engkau masuk WC, maka berdoalah dan dahulukan kakimu sebelah kiri terlebih dahulu dan keluar WC dengan mendahulukan kaki kanan. Janganlah engkau membuang air kecil di lobang-lobang tanah dan di pohon-pohon kayu. Baru sekedar etika dan adab dalam buang air kecil saja, sudah dapat menjadi rahmat bagi lingkungan sekitar. Mengapa Rasul melarang buang air kecil di lobang tanah? Karena di lobang tanah ada kehidupan lain, ada semut ada cacing yang juga ingin hidup dan apabila disiram dengan air seni dapat menyakitinya atau bahkan dapat membunuhnya. Pohon kayu juga bisa mati dengan air seni, bahkan kawat berduri pun bisa berkarat dengan air seni. Dan dengan buang air kecil yang tidak beradab itu pula dapat menimbulkan bau yang tidak sedap. Dengan adab buang air kecil ini kita telah dapat menjadi rahmat bagi makhluk lain, apalagi dengan melakukan adab dan etika yang lain yang lebih besar. Artinya, apabila hal-hal kecil seperti tidur, masuk WC, makan, minum, berpakaian, buang air kecil dan lain-lain saja sudah diatur sedemikian rupa dalam Islam, tentu hal-hal yang besar seperti sistem ekonomi, politik, militer, pendidikan, kenegaraan dan lain-lain juga ada aturannya dalam Islam. Bahkan telah sangat banyak para cendekiawan membahas panjang lebar tentang berbagai sistem dalam Islam, baik berkaitan dengan masalah ekonomi, politik, pendidikan, hukum, militer, dan sebagainya. Hasil dari pembahasan tersebut, berbagai mutiara-mutiara adab dan etika dari setiap sistem tersebut bermunculan. Sebut saja tentang sistem kemiliteran dalam Islam. Dalam banyak peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah dan peperangan yang dipimpin oleh para khalifah setelah Rasulullah, sebagian besar dapat dimenangkan oleh Islam. Dalam waktu singkat, semua Jazirah Arab telah diislamkan. Bahkan Islam sempat menguasai dan mewarnai daratan Eropa selama lebih kurang tujuh abad dengan pusat kedudukannya di Andalusia atau Spanyol sekarang ini. Semananjung Balkan-pun dapat pula diislamkan, Asia Timur, Asia Selatan, bahkan sampai ke Asia Tenggara, Islampun berkembang dengan pesat. Kalau dilihat dalam peta dunia, wilayah Islam ini membentang dari Maroko (Afrika Utara) hingga ke Merauke (Indonesia Timur), dari Afrika Selatan hingga ke Semenanjung Balkan (Eropa Timur). Yang menjadi pertanyaan adalah, strategi apa dan bagaimana taktik serta adab yang dilakukan oleh para tentara-tentara Islam tersebut dalam memperluas wilayahnya? Mengapa wilayah-wilayah yang ditundukkan Islam tersebut kemudian dapat menerima ajaran Islam yang dibawa oleh para mujahid tersebut? Dalam satu kesempatan, Khalifah Umar bin Khattab pada saat mempersiapkan dan melepas keberangkatan pasukan Muslim yang akan berangkat ke medan pertempuran melawan tentara Romawi berpesan. “Wahai saudara-saudaraku, ada beberapa adab yang harus dipegang dalam peperangan nanti, jangan kalian menebang pohon yang sedang berbuah, mengeruh (membuat kotor/keruh) mata air yang sedang mengalir, membunuh anak-anak dan perempuan.” Bayangkan, dalam situasi perangpun Islam tetap mengedapankan nilai-nilai moral dan etika. Bandingkan dengan peperangan yang dilakukan oleh pihak-pihak di luar Islam. Atau kita bandingkan saja bagaimana peristiwa sepuluh tahun Aceh dalam status Daerah Operasi Militer (DOM). Bagaimana kelakuan dari militer kita? Banyak sekali peristiwa biadab yang dilakukan oleh oknum tentara dan polisi kita. Penulis pernah membaca buku yang berjudul “Aceh Bersimbah Darah (Kasus Aceh selama DOM)” yang ditulis oleh Al-Chaedar. Kalau teringat buku itu, saya jadi merinding. Sebab banyak sekali kasus-kasus yang menyedihkan diluar batas-batas perikemanusiaan. Bayangkan, banyak sekali anak-anak yatim dan janda selama operasi militer. Ayahnya (karena anggota GAM) disiksa dan kemudian dibunuh, istrinya diperkosa di depan anaknya sendiri. Kejadian seperti itu jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika. Padahal dalam banyak peristiwa peperangan dalam Islam yang telah dicatat dalam tinta emas sejarah, apabila pasukan Muslim menawan tentara musuh, maka mereka diperlakukan dengan sangat manusiawi. Sebagai hukuman, bagi tawanan yang memiliki kepandaian membaca dan menulis, maka tawanan tersebut diperintahkan untuk mengajari anak-anak yang belum bisa tulis baca dan lain-lain. Demikian juga dengan sistem yang lain, sistem pendidikan misalnya. Jauh-jauh hari Rasulullah mengatakan bahwa “menuntut ilmu itu wajib”, “tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat” yang kata orang Barat “long life education” bahkan kata Beliau, “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”. Dalam masa kejayaan Islam, telah banyak lahir cendekiawan Muslim dalam segala disiplin ilmu, sebut saja ahli kedokteran, Ibnu Sina yang menjadi peletak dasar ilmu kedokteran, Ibnu Chaldun dalam bidang ilmu sosial, matematika, filsafat. Bahkan istilah-istilah dalam kimia, aljabar, angka-angka berkembang pesat dalam masa kejayaan Islam. Sangat repot sekali apabila kita berhitung dengan angka Romawi, tetapi dengan angka Arab perhitungan angka-angka menjadi lebih ringkas dan mudah. Al-Quran menjadi sumber dari segala ilmu pengetahuan. Jauh sebelum Copernicus mengatakan bahwa pusat tata surya adalah matahari, al-Quran telah lebih dahulu menyebutkan hal tersebut. Artinya, sebelum teknologi teropong bintang dibuat orang, Rasul sudah mengetahui bahwa pusat tata surya adalah matahari, dari siapa? Tentu saja dari Allah melalui Al-Quran. Sistem ekonomi telah diatur dengan sangat detail dalam Islam. Setidaknya ada enam etika jual beli (bisnis) dalam Islam yang diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, antara lain adalah (1) Bahwa bisnis (jual beli) dilakukan atas dasar suka sama suka; (2) Bahwa ada hak untuk melakukan khiyar (pilihan untuk meneruskan atau membatalkan transaksi); (3) Menyempurnakan takaran dan timbangan; (4) Perjanjian (perikatan) dilakukan secara tertulis atau dengan dua orang saksi; (5) Larangan jual beli ijon; dan (6) Larangan menimbun. Dimensi kedua kesempurnaan Islam adalah bahwa Islam (sistem, etika, adab, ajaran, aturan dan lain-lain) berlaku sepanjang zaman (syumuliyatuzzaman). Agama Islam berlaku untuk masa yang lalu, kini, dan masa yang akan datang. Bahkan agama Islam adalah agama dunia-akhirat, agama langit dan bumi, agama jasmani dan rohani. Tidak ada sama sekali pernyataan bahwa agama Islam ini hanya berlaku pada zaman Nabi Muhammad saja, dan setelah itu tidak berlaku lagi. Islam tidak pernah ketinggalan zaman, karena agama ini berasal dari Allah yang menciptakan zaman itu sendiri. Agama ini sudah disiapkan oleh Allah untuk menjadi agama akhir zaman. Tidak ada agama lagi yang diturunkan oleh Allah sesudah agama Islam (lihat Q.S. Al-Maidah ayat 3). Islam menyempurnakan agama-agama yang telah diturunkan Allah sebelumnya. Agama yang dibawa Nabi Isa AS masih belum sempurna, maka Islam hadir untuk menyempurakannya. Mengapa dikatakan demikian? Karena Nabi Isa AS pada saat mengajarkan kitab Injil masih “bujangan” (misalnya), maka tentu saja adab dan etika berumah tangga (hubungan suami istri, hubungan anak dengan orang tua, dan lain-lain) belum begitu dirinci dengan jelas. Demikian juga bagaimana etika mendidik anak, etika menikah, talak, rujuk, dan lain-lain belum dijelaskan secara detail. Untuk itu Islam hadir dalam rangka menyempurnakannya. Mengapa kemudian agama Islam “seolah-olah” ketinggalan zaman? Bahkan banyak penganutnya yang lebih suka dikatakan modern seperti orang Barat daripada dikatakan sebagai orang Islam yang soleh? Bahkan untuk mengejar predikat modern itupun ia berusaha “mempreteli” identitas kemuslimannya. Misalnya dalam mode pakaian. Dalam Islam mode pakaian apa saja yang dipakai tidak menjadi masalah, asalkan menutup aurat. Namun kenyataan yang kita lihat, banyak sekali orang Islam yang memiliki mode pakaian seperti orang Barat yang menampakkan “aurat”. Mereka beralasan bahwa mode pakaian Barat lebih modern, sementara pakaian secara Islam dianggap ketinggalan zaman. Maka kemudian banyak sekali “muslimah” (terutama mahasiswi) yang mengenakan baju-baju ketat (yang lebih cocok untuk anak-anak SD atau SMP) yang kalau dipakai menampakkan lekuk-lekuk tubuh, pusar, dan (maaf) celana dalamnya, agar dikatakan modern/maju. Kalau indikator modern-tidaknya seseorang diukur dari mode pakaian yang membuka aurat (you can see my kelek), maka tentu saja tidak perlu jauh-jauh kita mencontoh, kita kenakan saja pakaian seperti saudara kita orang-orang Kubu (pedalaman Jambi dan suku-suku pedalaman di Papua). Islam telah menawarkan pakaian yang modern dengan menutup aurat. Kalau ini kita laksanakan, maka tidak perlu UU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Karena ini perintah Allah, maka kita yakin Allah tidak akan menzalimi hambanya. Dimensi ketiga (yang terakhir) tentang kesempurnaan Islam adalah bahwa Islam berlaku disemua tempat (syumuliyatul makaan). Walaupun Islam lahir di Kota Mekah, negeri Arab, namun Islam bukan hanya untuk orang Mekah atau orang Arab. Tidak ada satupun ayat yang ditujukan khusus untuk orang Arab saja. Misalnya ada kata-kata “ya ayyuhannas” (hai manusia), tidak ada kata-kata “hai orang-orang Arab”. Hal ini menunjukkan bahwa memang agama Islam ditujukan bukan hanya untuk orang Arab tetapi untuk seluruh umat manusia, dari suku bangsa manapun dan di tempat manapun dia berada. Allah berfirman : “Kami tiada mengutus engkau ya Muhammad melainkan kepada sekalian umat manusia, untuk memberi kabar gembira dengan surga dan memberi peringatan dengan neraka, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti…” (Q.S. 34:28). Islam tidak dibatasi oleh batas-batas geografi, tidak pula dibatasi oleh pulau dan negara atau oleh benua. Islam berlaku di semua tempat dan dalam situasi apapun. Sebagai contoh, ucapan salam “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” ditujukan kepada orang dalam kondisi apapun dan dimanapun. Tidak melihat kondisi apakah di pagi hari, sore hari atau malam hari. Ucapan tersebut cocok untuk digunakan dalam waktu apapun. Lain halnya dengan ucapan “selamat pagi, selamat sore, atau selamat malam”, ucapan tersebut hanya digunakan sesuai kondisinya. Yang menjadi masalah adalah apabila kita tidak tahu kondisi/situasi apakah waktu masih pagi atau sudah sore, karena cuaca mendung jam tidak punya misalnya, maka akhirnya kita mengucapkan “selamat mendung?”. Kalau pabrik motor honda memproduksi motor honda, maka pihak pabrik tahu persis kondisi motor honda tersebut, kelebihannya dan kekurangannya. Seiring dengan itu, lazimnya pabrik motor honda mengeluarkan buku panduan agar pemanfaatan motor honda tadi lebih efisien, lebih baik dan lebih awet. Bagaimana jadinya bila motor honda tersebut memakai buku panduan yang dikeluarkan oleh pabrik motor suzuki? Tentu saja bukan menjadi lebih awet, malah akan semakin cepat hancur berantakan. Demikian pula halnya dengan kita, kita diciptakan oleh Allah, oleh karenanya Allah tahu persis siapa kita, kelemahan kita, kekurangan, kelebihan kita dan lain-lain. Allah sangat sayang (rahman dan rahim) akan ciptaan-Nya, oleh karenanya agar manusia dapat mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat, maka Allah turunkan panduan hidup berupa agama yang terakhir, yaitu Islam. Rasul bersabda “aku wariskan kepadamu dua perkara, apabila engkau memegangnya (menjadikannya sebagai panduan/pedoman) maka engkau tidak akan sesat selama-lamanya, panduan tersebut adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits (Sunnah). Berdasarkan uraian singkat di atas, maka jelaslah bahwa Islam adalah agama yang syumul (lengkap) karena mencakup seluruh segi kehidupan alam semesta ini. Islam adalah sistem menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Imam Syahid Hassan al-Banna mengungkapkan bahwa Islam adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih. Prinsip ini tidak dibutuhkan oleh umat Islam generasi awal, karena mereka telah meyakini dan memahami bahwa Islam mencakup segala aspek kehidupan dengan tabiat dan fitrah mereka yang jernih, hingga Abu Bakar r.a., khalifah pertama berkata, “Sekiranya tali untaku hilang niscaya aku mendapatkan (jawaban/hukumnya) dalam Kitabullah”. Mereka bersungguh-sungguh menerapkan Islam secara keseluruhan (kafah), tanpa terkecuali atau memilih-milih. Mereka sangat takut jika termasuk orang-orang yang Allah katakan, “Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat (Al-Baqarah:85). Dengan prinsip ini, runtuhlah pemahaman-pemahaman yang keliru yang dituduhkan kepada Islam oleh orang-orang Islam yang tidak mengerti Islam, baik tidak sengaja maupun disengaja dengan maksud berkompromi dengan musuh Islam atau orang-orang yang menyatakan permusuhannya terhadap Islam, berusaha menebarkan keraguan tentangnya, menjauhkan manusia darinya, dan memerangi pemikiran, realitas, dan eksistensinya. Pemahaman-pemahaman yang salah dan parsial seputar cakupan Islam terhadap seluruh aspek-aspek kehidupan, membatasi hanya pada aspek spiritual, ritual secara zalim, dan penuh permusuhan telah tersebar di tengah umat Islam. Padahal hal ini sangat bertentangan dengan ajaran yang dikumandangkan dan disyariatkannya. Pemahaman-pemahaman itu dikemas dengan untaian kata-kata manis yang memperdayakan sehingga terpesonalah sebagian Muslim lugu dan tidak berilmu, lalu menirukannya seperti burung beo yang menirukan perkataan secara tidak sadar. Dengan demikian umat islam sangat memerlukan upaya untuk menyingkap berbagai syubhat dan kesesatan tersebut, serta menjelaskan hakikat Islam berikut berbagai prinsip dan aturan tentang seluruh aspek kehidupan yang dicakupinya. Imam Syahid Hassan al-Banna mengungkapkan semua itu dalam pernyataan, “Supaya menjadi dasar untuk memahami kesempurnaan”. Wallahu a’lam bishowab.
Drs. Hardiyansyah, M. Si.