13 Maret 2010

Lagu “Bingkai Kehidupan”

Lagu “Bingkai Kehidupan”
Artis “Shoutul Harokah”

Mengarungi Samudra Kehidupan
Kita Ibarat Pada Pengembara
Hidup ini Adalah Perjuangan
Tiada Masa Tuk Berpangku Tangan

Setiap Tetes Peluh dan Darah
Tak Akan Sirna Ditelan Masa
Segores Luka Dijalan Allah
Kan Menjadi Saksi Pengorbanan

Allah Ghayatuna
Ar-rasul Qudwatuna
Al-quran Dusturuna
Al-jihadu Sablluna
Al-mautu fi Sabilillah Asma Amanina

Allah Adalah Tujuan Kami
Al-quran Pedoman Hidup Kami
Jihad Adalah Jalan Juang Kami
Mati Di Jalan Allah Adalah
Cita-cita Kami Tertinggi

Ketika Turis Asing Kepincut Besemah

Ketika Turis Asing Kepincut Besemah
Kamis, 8 Oktober 2009 | 17:05 WIB

PAGAR ALAM, KOMPAS.com — Indonesia adalah negara kaya. Tidak hanya kaya akan sumber daya alam, tetapi juga kaya terhadap aneka budaya dan panorama alamnya. Namun, banyak keindahan alam dan keunikan tradisi Indonesia yang belum terpublikasikan secara luas ke dunia internasional. Meski begitu, toh ada juga wisatawan-wisatawan mancanegara yang memiliki "penglihatan" tajam dan kepincut dengan Indonesia.

Bradley J McDonell, seorang warga negara Amerika Serikat, jatuh cinta pada Pagar Alam. Ia sengaja datang ke Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan (Sumsel), untuk mempelajari bahasa Besemah yang digunakan masyarakat setempat.

"Memang bukan hanya dari segi bahasa yang menarik untuk dipelajari melainkan juga seni budaya Besemah," kata Bradley J McDonell, di Pagar Alam, Rabu (7/10).

Ia mengatakan, memang cukup jauh perbedaan antara adat istiadat warga Indonesia, terutama suku Besemah, dengan kehidupan di Negeri Paman Sam, terutama terkait hubungan kekerabatan.

"Namun kalau di lingkup Suku Besemah, semua jalinan keluarga, meskipun hubungan darahnya sudah jauh, masih tetap terjalin dengan baik. Hal ini terbukti dari setiap ada acara syukuran yang lebih banyak dilakukan karena hubungan kekerabatan," kata dia.

Menurut dia, daerah Besemah memiliki kekayaan yang cukup banyak, bukan hanya dari sektor pariwisata alam, melainkan juga budaya, sejarah, dan seni. "Meski demikian, hal ini masih perlu digali dan dilestarikan. Kalau tidak, akan semakin tergilas dengan budaya modern," ungkap dia lagi.

Menurut dia, sekarang ini sudah sulit untuk bisa menemukan orang yang paham dan mengetahui betul tata bahasa Besemah, termasuk seni budaya yang banyak dilakukan pada zaman dahulu.

"Di daerah Besemah banyak dikenal seni tutur, guritan, berejong, dan gitar tunggal, tapi saat ini sudah mulai tergilas dengan musik modern seperti organ tunggal dan kesenian lainnya," ungkap dia yang dalam beberapa hari berada di Pagar Alam sudah fasih berbicara bahasa Besemah.

Dalam memahami budaya Besemah, yang paling penting adalah mengetahui bahasa dan mampu memahami tata bahasa yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Sementara itu, menurut budayawan Besemah, Satarudin, memang banyak seni budaya dan adat asli Besemah yang sudah hilang atau ditinggalkan. Menurut dia, selain kalah bersaing dengan budaya modern, orangtua yang mengajarkan budaya dan adat istiadat kepada anak-anaknya juga sudah jarang sekali ditemui.

Sejarah Singkat Etnis Besemah

1.1 Tradisi Megalitik dalam Lintasan Prasejarah

Timbulnya kebudayaan bersama-sama dengan adanya manusia pertama yang menggunakan akalnya. Sejarah kebudayaan meliputi waktu yang sama penjangnya dengan sejarah umat manusia, dari manusia yang pertama hingga waktu sekarang. Waktu yang panjang itu dalam sejarah manusia dibagi atas tiga zaman, yaitu zaman prasejarah, zaman protosejarah, dan zaman sejarah (Kherti, 1953:2).

Perkembangan budaya manusia pada masa prasejarah secara umum digambarkan berupa tahapan-tahapan yang memiliki-ciri tertentu. Budaya masyarakat prasejarah Indonesia dibagi menjadi tiga tingkatan penghidupan, yaitu pertama, masa berburu dan mengumpulkan makanan; masa bercocok tanam; dan tiga, masa kemahiran teknik (perundagian). Adanya tahapan perkembanganbudaya dengan cirri-ciri tertentu, kadangkala tidak ditemukan di semua wilayah. Beberapa wilayah di antaranya tidak memiliki temuan dari periode yang paling tua, tetapi memiliki tinggalan budaya yang lebih muda, seperti di Tanah Besemah kebudayaan prasejarah yang dilaluinya dalam bentuk kebudayaan Batu Besar (Megalitikum).

Para ahli memperkirakan budaya megalitik yang masuk .ke Indonesia melalui dua gelombang besar. Gelombang pertama, yang disebut megalitik tua, diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi, ditandai oleh pendirian monument-monumen batu seperti menhir, Undak batu, dan patung-patung simbolis-monumental. Gelombang kedua disebut sebagai megalitik muda yang direkirakan masuk ke Indonesia sekitar awal abad pertama sebelim Masehi hingga abad-abad pertama Masehi (Sartono, 1987:224). Monumen-monumen yang mewakili kelompok tinggalan Megalitik muda antra lain berupa monument peti kubur batu, dolmen dan sarkofagus.

Bangunan megalitikum tersebut hamper diseluruh kepulauan Indonesia. Bentuk banggunan kuno ini bermacam-macam dan meskipun sebuah bentuk berdiri sendiri ataupun beberapa merupakan satu kelompok. Maksud utama dari pendirian bangunan tersebut tidak luput dari latar belakang pemujaan nenek-moyang, dan pengharapan kesejahteraan bagi yang hidup, serta kesempurnaan bagi si mati (Poesponegoro, 1982:189). Banguan yang paling tua dengan bentuk tersebut dapat diduga umurnya secara nisbi (relaif). Bentuk-bentu tempat penguburan dapat berupa dolmen, peti kubur batu, bilik batu, dan lain-lain. Di tempat kuburan-kuburan semacam itu bisanya terdapat berbagai batu besar lainya sebagai pelengkap pemujaan nenek-moyang, seperti menhir, patung nenek-moyang, batu saji, batu lumping, batu lesung, batu batu damon, tenbok batu atau jaln yang berlapis batu.

Beberapa bentuk megalitik tadi mempunyai fungsi lain, misalnya dolmen, yang memiliki variasi bentuk yang tidak berfungsi sebagai kuburan, tetapi bentuk-bentuk yang menyerupai dolmen, dibuat untuk pelinggih roh atau persajian. Dolmen berfungsi sebagai pelinggih dikalangan masyarakat megalitik yang telah maju serta digunakan sebagai tempat duduk oleh kepala suku atau raja-raja, dan dipandang sebagai tempat keramat dalam melakukan pertemuan-pertemuan maupun upacara-upacara yang berhubungan dengan pemujaan arwah leluhur. Hal ini jelas sekali memperlihatkan suatu kepercayaan bahwa yang masih hidup dapat memperoleh berkah dari hubungan magis dengan nenek moyang memalui bagunan megalitik tersebut sebagai medium (Poesponegoro, 1982:196). Sebagai contoh, limping batu (lesung batu) dan batu dakon, sering didapatkan di lading atau sawah dan di pinggir-pinggir dusun, yang penempatannya mungkin bertujuan untuk mendapatkan kekuatan magis.

1.2 Megalik Besemah

Di Sumatera, bangunan megalitik terdapat di bagian selatan pulau tersebut, yang di dataran tinggi Tanah Besemah. Daerah ini terleak di antara Buki tBarisan dan Pegunungan Gumay, di lereng Gunung Dempo (3173 m). Peninggalan situs megalitik di daerah ini pernah dilaporkan oleh Ullman tahun 1850, Tombrink tahun 1870,Engelhard tahun 1891, Krom tahun 1918, Westernenk tahun 1922, dan Hoven tahun 1927, yang hamper semuanya beranggapan bahwa bangunan-bangunan tersebut merupakan peninggalan Hindu. Pada tahun 1929, van Eerde mengunjungi tempat tersebut, ia berbeda pendapat dengan angggapan-anggapan terdahulu. Van Eerde menyatakan, bahwa peninggalan megalitik di Besemah tidak pernah dipengaruhi oleh budaya Hindu, tetapi masih termasuk dalam jangkauan masa prasejarah. Bentuk megalitik tampak nyata pada peninggalan tersebut seperti pada menhir, dolmen, dan lain-lain. Kemudian van der Hoop melakukan penelitian yang lebih mendalam selama kurang lebih 7 bulan di Tanah Besemah, ia menghasilkan Publikasi lengkap tentang megalit di daerah tersebut. Publikasi ini sampai kini masaih sangat berharga bagi penelitian situs-situs megalit di Tanah Besemah. Van Heerkeren telah membuat ikhtisar tentang penemuan-penemuan megalitik di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan, sedangkan Peacock mencoba membahas megalit Besemah ini dari sudut pandang sejarah dan fungsinya dalam usaha penelahan kehdupan social masa lampau.

Namun yang pasti, di Tanah Besemah, Sumatera Selatan, pernah ada budaya yang hidup dan berkembang dalam lintasan prasejarah.Hal ini terbukti dengan banyaknya peninggalan budaya megalitik yang tersebar, misalnya di dusun Tegurwangi (batu beghibu dan lain-lain), gunungmigang (batu rang, batu kitap dan lain-lain), Gunung kaye (batu bupean / kubus dan batu pidaran/dakon), simpang pelajaran (batu pidaran, dan lain-lain), situs Muarapayang (batu perahu, peti kubur batu dan lain-lain), Tanjung-aghe (batu jeme dililit ulagh, peti kubur batu dan lain-lain), Talangtinggi Gunung Dempo (peti kubur batu), Keban-agung (batu jelapang), Belumay (batu nik kuanci dan peti kubur batu), Tebingtinggi, Lubukbuntak (batu jeme) Nanding (batu gung), Geramat Mulak Ulu (batu bercoret), Semende (batu tapak puyang awak), Pagaralam-Pagargunung (batu ghuse, batu bekatak, dan lain-lain), Kuteghayewe (batu gajah, peti kubur batu, batu kursi dan lain-lain), Pulaupanggung, Impit Bukit (batu jeme ngilik anak) Pajarbulan, Tanjungsakti (batu tiang/menhir), Genungkerte, Tanjungsakti (batu kawah), Baturancing (batu kebau tanduk runcing) dan lain-lain.
Peninggalan megalitik yang terdapat di Besemah terutama berupa menhir, dolmen, peti kubur batu, lesung serta patung-patung batu yang bergaya statis dan dinamis (Kherti, 1953:30). Menhir adalah sebuah batu tegak, yang sudah atau belum dikerjakan dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati orang yang telah mati. Benda tersebut dianggap sebagai medium penghormatan, menampung kedatangan roh sekaligus menjadi symbol dari orang-orang yang diperingati. Di Besemah ditemukan menhir berdiri tunggal atau berkelompok, membentuk formasi temugelang, persegi atau bujursangkar dan sering bersama-sama dengan bangunan lainnya, seperti dolmen, peti kubur batu atau lainnya. Di Karangdalam ditemukan menhir polos setinggi 1,6 meter, berdiri di atas undak batu. Di atas undak batu ini terdapat pula sebuah batu berlubang seperti batu lumping. Di dusun Tegurwangi, banyak ditemukan menhir polos dengan tinggi maksimal 1,5 meter di dekat dolmen, patung-patung dan peti kubur batu. Menhir yang lebih kecil setinggi 0,4 meter yang berdekatan dengan undak batu ditemukan di dusun Mingkik.

Menurut pengamatan van der Hoop, dolmen yang paling baik terdapat di Batucawang. Papan batunya berukuran 3 x 3 m dengan tebal 7 cm, terletak di atas 4 buah batu penunjang. Salah satu dolmen yang digalinya di Tegurwangi, diduga berisi tulang-tulang manusia, tetapi tulang dan benda-benda lain yang dianggap sebagai bekal kubur tidak ditemukan. Selain dolmen-dolmen, di daerah Besemah banyak ditemukan patung batu yang diduga merupakan patung manusia. Di antara dolmen-dolmen, terdapat juga dolmen yang papan batunya ditunjang oleh 6 buah batu tegak. Tradisi setempat menyatakan bahwa tempat ini merupakan pusat aktivitas upacara ritual pemujaan nenk moyang. Di daerah ini ditemukan juga dolmen bersama-sama menhir. Temuan-temuan lainnya terdapat di Pematang dan Pulaupanggung (Sekendal). Di dua tempat ini ditemukan palung batu. Daerah temuan lain adalah dusun Nanding, Tanjung-aghe, Pajarbulan (tempat ditemukannya dolmen dan menhir bersama dengan lesung batu, Gunungmigang, Tanjungsakti dan Pagardiwe (Kherti, 1953;30).

Kubur berundak adalah kuburan yang dibuat di atas sebuah bangunan berundak yang biasanya terdiri dari satu atau lebih undak-undak tanah, dengan tebing-tebing yang diperkuat dengan batu kali. Di dusun Mingkik ditemukan sebuah bangunan berundah dua, dengan tebing-tebing yang diprukuat dengan batu kali. Tinggi undak bawah 1,5 m dengan luas dataran berukuran 4 x 3,5 m. di dataran kedua didapatkan 2 buah batu tegak dengan sebuah batu kali berbentuk segi-empat. Di Karangdalam ditemukan bangunan batu berundak yang tiap datarannya dilapisi dengan papan batu dan banyak diantaranya belubang-lubang kecil. Di atas susunan batu berundak ini berdiri sebuah menhir setinggi 1,6 meter. Temuan di dusun Keban-agung yang mungkin berasal dari zaman yang lebih muda berupa sebuah kubur batu berundak dengan empat buah nisan yang diukir dengan pola daun (arabesk) dan pola burung. Nisan lainnya berbentuk manusia yang dipahat secar sederhana.

Peti kubur batu adalah kubur berupa sebuah peti yang dibentuk dari enam keping papan batu; terdiri dari dua sisi panjang, dua sisi lebar, sebuah lantai dan sebuah penutup peti. Papan-papan batu tersebut disusun secara langsung dalam lubang yang telah disiapkan terlebih dahulu. Peti kubur batu sebagian besar membujur dengan arah timur-barat. Temuan peti kubur batu yang paling penting terdapat di dusun Tegurwangi, sebuah daerah yang memang kaya dengan situs megalit seperti dolmen, menhir dan patung-patung.
Selain Van der Hoop, penelitain tentang peti kubur batu ini dilakukan juga oleh peneliti C.C. Batenberg dan C.W.p. de Bie. Van der hoop, sendiri telah meggali salah satu peti yang berada di Teguwangi, yang diagap peling besar di antara-antara peti kubur batu lainnya. Ia berhasil menemukan benda-benda yang penting yang diagaap sebagai bukti peninggal dari pendukung tradisi peti kubur batu. Pemukaan atas tutup peti kubur batu berada 25cm dibawah permukaan tanah, dan tutup peti kubur batu ini terdiri dari beberapa papan batu. Sela – sela antara batu – batu penutup dan antara penutup dengan peti tersebut disi dengan batu – batu kecil. Diantara papan – papan penutup, yang paling besar berukuran panjang 2,5m. lantai peti yang agak melambai dengan arah timur barat, terdiri dari 3 papan batu. Sisa – sisa tidak terdapat dalam peti – peti yang penuh dengan tanah dan pasir itu. Lapisan tanah selebar 20 cm dari atas peti, berisi temuan – temuan, sseperti 4 butir manik – manik merah berbentuk selindik, sebuah manik berwarna hijau transparan berbentuk heksagonal tangkup, sebuah paku emas berkepala bulat dan ujung yang tumpul, sebuah manik berwarna kuning keabu – abuan dua buah mekanik berwarna biru serta sebuah fragment perunggu selain itu masih ditemukan manik – manik dalam berbagai bentuk sebanyak 63 buah. Didalam peti kubur batu yang lainnya yang pernah dibuat oleh Batenburg, ditemukan beberapa buah manik – manik berwarna kuning dan sebuah mata tombak dari besi yang telah sangat berkarat.

Didalam peti kubur batu yang ditemukan oleh de Bie, terdapat sebuah lempengan perunggu berbentuk segiempatyang mengembung di bagian tengah. Selanjutnya de Bie menemukan peti kubur batu rangkap di tanjung-aghe yang terdiri dari dua ruang sejajar berdampingan, dipisahkan oleh dindingyang di lukis dengan warna-warna hitam, putih, merah, kuning, dan kelabu.lukisan ini menggambarkan manusia dan binatang yang distilir. Antra lain tampak gambar tangan dengan tiga jari, kepala kerbau dengan tanduknya, dan mata kerbau yang di gambarkan dengan lambang-lambangnya, mempunyai hubungan dengan konsepsi pemujaan nenek-moyang.

Temuan-temuan megalitik yang paling menarik di Tanah Besemah adalah arca-arca batu yang dinyatakan oleh von Heine Geldern bergaya “dinamis”. Arca-arca ini juga menggambarkan bentuk-bentuk binatang, seperti gajah, harimau, dan moyet. Kelihatan bentuk-bentuk arca yang membulat. Dapat ditfsirkan bahwapendukung budaya megalitik mekanikdi sini memilih bahannya sesuai dengan bentuk arca yang akan dipahat; kemudian pemahatan arca itu disesuaikan lagi dengan bentuk asli batunya. Plastisitas seni arca yang menonjol menandakan keahlian si pemahat. Sebagian besar arca-arca tersebut mewujudkan seorang lelaki bertutup kepala berbentuk topi baju, bermata bulat yang menonjol dengan dahi yang menjorong, yang semuanya memperlihatkan cirri ras Negrito. Arca-arca ini selanjutnya memakai gelang tangan dan karung, sedangkan pedang pendek yang lurus dan runcing tergantung di pinggang. Bagian kaki, dari betis sampai pergelangan kaki, tertutup oleh lilitan pembalut kaki. Kadang-kadang dipundak tampak “ponco”, yaitu selembar kaki penutup punggung, seperti yang bias dipakai oleh orang Amerika Latin.
Arca-arca ini tersebar di Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam, seperti Karangindah, Tinggiari Gumai, Tanjungsirih, Padang Gumay, Pagaralam, Tebatsementur (Tanjungtebat), Tanjunng Menang-Tengahpadang, Tanjungtebat, Pematang, Ayik Dingin, Tanjungberingin, Geramat Mulak Ulu, tebingtinggi-Lubukbuntak, Nanding, Batugajah (Kutaghaye Lame), Pulaupanggung (Sekendal),Gunungmigang, Tegurwangi, Airpur. Penemuan yang paling menarik adalah megalitik yang dinamakan “Batugajah”, yakni sebongka batu berbentuk bulat telur, berukuran panjang 2,17 m dan dipahat pada seluruh permukaannya. Bentuk batunya yang asli hamper tidak diubah, sedangkan pemahatan objek yang dimaksud disesuaikan dengan bentuk batunya. Namun, plastisitas pahatannya tampak indah sekali. Batu dipahat dalam wujud seekor gajah yang sedang melahirkan seekor binatang antara gajah dan babi-rusa, sedangkan pada ke dua bela sisinya dipahatkan dua orang laki-laki. Laki-laki sisi kiri gajah berjongkok sambil memegang telinga gajah, kepalanya dipalingkan ke belakang dan bertopi. Perhiasan berbentuk kalung besar yang melingkar pada lehernya,begitu pula pada betis tampak tujuh gelanng. Pada ikat pinggang yang lebar tampak pedang berhulu panjang, sedangkan sebuah nekara tergantung pada bahunya. Pada sisi lain (sisi kakan gajah)dipahatkan seorang laki-laki juga, hanya tidak memakai pedang. Pada pergelangan tangan kanan, terdapat gelang yang tebal, pada betis tampak 10 gelang kaki.

Temuan batu gajah dapat membatu usaha penentuan umur secara relative dengan gambar nekara itu sebagai petunjuk yang kuat, selain petunjuk-petunjuk lain seperti pedang yang mirip dengan belati Dong Son (Kherti, 1953:30), serta benda-benda hasil penggalian yang berupa perunggu (Besemah, gangse) dan manik-manik. Dari petunjuk-petunjuki diatas, para ahli berkesimpulan bahwa budaya megalitik di Sumatera Selatan, Khususnya di Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam, berlangsung pada masa perundagian; pada masa ini teknik pembuatan benda logam mulai berkembang. Sebuah nekara juga dipahatkan pada arca dari Airpuar. Arca ini melukiskan dua orang prajurit yang berhadp-hadapan, seorang memegang tali yang diikatkan pada hidung kerbau, dan orang yang satunya memegang tanduknya. Kepala serigala (anjing), tampak di bawah nekara perunggu tersebut.

Selain temuan-temuan di atas terdapat pula benda-benda migalitik berupa batu palung dan batu lesung. Batu palung adalah jambangan batu yang berbentuk panjang dengan sudut-sudut membulat. Jambangan ini fungsinya dipergunakan untuk menyimpan tulang-tulang manusia, seperti yang dilakukan di Nias. Batu-batu palung antara lain terdapat di Pajarbulan (Impit Bukit ), Gunungmigang, Tebatgunung, dusun Pagaralam, dan Pulaupanggung (Sekendal). Di beberapa tempat batu-batu palung tersebut, dibentuk seperti tubuh manusia, bahkan didekat Tebat Beluhu, sebuah palung dipahatkan bersama-sama dengan arca manusia, seolah-olah manusia tersebut memeluk palung. Arca tersebut berbentuk seperti arca-arca yang umumnya terdapat di daerah Besemah.

Batu lesung adalah sebungkah batu yang diberi lubang sebuah atau klebih, dengan diameter lubang dan dalam rata-rata 15 cm.permukaan batu yang rata dibagi dalam empat ruang oleh bingkai-bingkai. Kadang-kadang tiap ruang berlubang. Penduduk setempatmengatakan bahwa batu-batu tersebut pada zaman dahulu digunakan untuk menumbuk padi-padian. Batu lesung seperti ini ditemukan pada tempat-tempat kompleks bangunan megalitik. Di Besrmah, batu tersebut dinamakan batu lesung atau lesung batu, ditemukan antara lain di Tanjungsirih, Geramat (Mulak Ulu), Tanjung-aghe, Tebingtinggi, Lubukbuntak, Gunungmigang, danPajarbulan Impit Bukit.di luar daerah Besemah ditemukan pula peninggalan-peninggalan megalitik, yaiti di daerah Lampung, Baturaja, Muarakomering dan Pugungraharjo, antara lain berupa arca-arca nenek moyang, seperti yang ditemukan di Jawa Barat.

Selai situs-situs yang disebutkan diatas, pada tahun 1999-2002 Balai Arkeologi Palembang melakukan penelitian lanjutan di situs Muarapayang yang merupakan salah satu kompleks situs prasejarahdi Tanah Besemah. Temuan yang didapat berupa pecahan periuk, kendi tanah liat, fragmen keramik asing, tempayan kubur, kerangka manusia, alat-alat batu, bagunan megalitik, benteng tanah, makam puyang, dan sebagainya (Indriastuti, 2003:1). Situs Muarapayang sebagai salah satu situs pemukiman pra-sejarah telah dikenal sejak tahun 1932 oleh peneliti van der Hoop yang pernah menerbitkan buku berjudul “Megalitic Remain in South Sumatra”. dalam buku tersebut di uraikan tentang adanya penemuan sebuah dolmen di dusun Muarapayang. Informasi tentang tinggalan-tinggalan budaya dari situs Muarapayang tanpak nyata, seperti tinggalan berupa kompleks bagunan megalik, kompleks kubur tempayan, dan benteng tanah.

Kelanjutan tradisi megalitik pada umumnya masih ditempat-tempat lainnya di Indonesia yang berkembang dalam corak-corak local dan kondisi masa sekarang. Di Tanah Besemah yang telah beragama islam dan telah bayak menerima pengaruh budaya dari luar, agak sulit untuk menentukan kebiasaan-kebiasaan yang berasal dari zaman megalitik. Tetapi kadang-kadang nuasa tradisi prasejarah ini masih tampak nyata di tempat yang masih kuat tradisinya masih melekat beberapa aspek kehidupan.



1.3 Lukisan Purba di Besemah

Dalam bidang seni, tradisi megalitik di Besemah telah mengenal seni lukis yang berkualitas tinggi, baik dari segi bentuk maupun dari tata warna. Gaya naturalis serta gaya-gaya stilir telah muncul pada berbagai dinding kubur batunya yang dapat dilihat di situs megalitik Tanjung-aghe, megalitik Tegurwangi, dan megalitik Kutaghaye Lembak. Lukisan purba di dusun Tanjung-aghe ditemukan pertama kali oleh Van der Hoop (Hoop, 1932), sedangkan yang di dusun Tegurwangi dan dusun Kuteghaye Lembak ditemukan oleh penduduk sekitar tahun 1987. lukisan-lukisan tersebut mempunyai perpaduan warna yang menunjukkan bukti bahwa pembuatnya sudah mempunyai teknik yang berkualitas tinggi dalam penguasaan tata warna.

Menurut hasil analisis bentuk yang dilakukan Hoop, lukisan dari kubur batu Tanjung-aghe menggambarkan seorang manusia yang mengendarai seekor kerbau yang mengacu pada bentuk antropomorpik (bentuk manusia) dan bentuk fauna baik jenis kerbau maupun kera. Pada lukisan dari kubur batu Tegurwangi dan Kuteghaye Lembak, juga memiliki kualitas tinggi baik dipandang dari sudut estetika maupun symbol yang melatarbelakanginya. Tampaknya lukisan tersebut merupakan suatu pesan dari pelukisnya dalam bentuk symbol yang mengacu pada perilaku dan kehidupan religius masa itu. Analisis laboratories yang dilakukan oleh Samidi, dari Direktorat perlindungan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, berhasil mengungkapkan tentang bahan-bahan yang digunakan memakai warna hitam, merah, putih dan kuning. Warna merah dalam pada masa prasejarah telah menduduki tempat yang sangat penting. Warna merah telah banyak digunakan dalam upacara-upacara prosesi penguburan. Pada berbagai kubur dari masa prasejarah dalam gua maupun yang ditemukan di kyokkenmodinger (sampah kerang) sering dijumpai adapt menabur dengan warna merah. Tampaknya penggunaan warna cat dalam llukisan purba telah memiliki suatu makna dan kaidah yang sudah menjadi kesepakatan. Dalam berbagai pola luas pada masa purba atau sampai pada masa kini pun warna-warna tersebut masih tetap mempunyai arti tersendiri.

Objek-objek lukisan purba di Besemah di atas adalah manusia, fauna, flora, benda buatan manusia dan alam. Lukisan manusia digambarkan dengan susunan anatomi yang lengkap terdiri dari kepala, leher, badan, kaki dan berbagai anggota badan, seperti hidung, mata, mulut dan lain-lain secara lengkap. Walaupun demikian penggambaran tokoh manusia dibuat dalam proporsi yang tidak sebenarnya, antara lain posisi kepala terlalu e depan, sehingga objek lukisan seolah-olah bongkok. Demikian pula kadang-kadang badan terlalu gemuk dan leher pendek, penggambaran kaki seorang tokoh biasanya lebih pendek dibandingkan dengan anggota badan lainnya. Tokoh manusia banyak yang menunjukkan bentuk fisik seperti fisik orang Negro. Di dalam kkubur batu di dusun Tegurwangi, tokoh manusia ada yang digambarkan seperti seorang wanita dengan payudara yang besar. Tampaknya dalam bidang seni ada kesejajaran dalam tingkat keahlian antara seni lukis dan seni pahat. Hal ini tampak dari hasil pahatan dalam bentuk arca maupun dalam bentuk lukisan yang menghasilkan bentuk dan proporsi manusia yang hamper sama. Dalam seni lukis tokoh manusia juga di gambarkan dengan posisi bongkok dan dengan bibir lebar yang tebal.

Lukisan dalam bentuk binatang (fauna) terdiri dari binatang liar dan binatang-binatang yang telah dibudidayakan. Binatang liar, antara lain, adalah harimau (pengamatan Teguh Asmar), burung hantu (pengamatan Haris Sukendar), dan ular. Sedang binatang yang telah dibudidayakan, antara lain, lukisan kerbau. Lukisan binatang ini tampaknya erat sekali dengan pemahaman pendukung tradisi megalitik dengan lingkungan. Binatang yang menjadi objek lukisan terdapat di hutan belantara Besemah. Seperti juga pada tinggalan-tinggalan arca, maka lukisan purba Besemah mempunyai maksud yang hamper sama, yaitu bertujuan sebagai harapan terjadinya keakraban antara manusia dengan binatang hutan yang ganas. Kalau Hoop mendeskripsikan lukisan kerbau di dusun Tanjung-aghe menggambarkan seorang manusia mengendarai kerbau, sedangkan Teguh Asmar mendeskripsikan lukisan kerbau pada dinding pintu masuk salah satu kubur batu di Kute-ghaye. Selanjutnya, Asmar mengatakan bahwa kerbau dilukiskan kepala, leher, badan, seta kaki dengan penampilan yang tidak proporsional. Tanduknya hanya kelihatan satu, melengkung ke atas dan berwarna putih. Badannya begitu pendek diteruskan gambaran kaki kanannya yang memanjang kearah bawah, sedangkan kaki kirinya hanya tampak sampai separuh paha. Melihat bawahnya terlukis sebuah motif yang tidak jelas, karena warna lukisan banyak yang hilang. Kecuali tanduk dan selempang leher, kerbau diberi warna hitam dengan warna kontras putih (Asmar, 1990). Kemungkinan yang dikira Asmar kerbau itu adalah badak, karena “tanduk”nya satu dan melengkung ke atas dan badannya begitu pendek, serta mempunyai selempang leher.
Lukisan burung hantu merupakan lukisan yang indah di kubur batu Kute-ghaye. Walaupun indah, tetap menimbulkan perdebatan di antara arkeolog Hari Sukendar dengan Asmar. Hari Sukendar mengatakan bahwa lukisan itu menggambarkan burung hantu yang memiliki kuku panjang dan runcing, bagian muka (paruh dan mata) digambarkan secara jelas, sedangkan menurut Asmar bahwa binatang yang dimaksud adalah harimau. Tetapi menurut masyarakat setempat “burung hantu” tersebut adalah burung gerude (garuda). Selain lukisan “burung hantu” di dinding sebelah kiri, di dekat pintu masuk kubur batu adalah lukisan palak nage (kepala naga). Arca-arca dalam tradisi megalitik biasanya digunakan sebagai sarana untuk menjaga keselamatan, khususnya “keselamatan” si mati dalam mencapai dunia arwah.

Untung Sunaryo telah menemukan lukisan purba yang menggambarkan seperti serigala atau harimau dalam satu bidang dengan seorang objek lukisan manusia. Lukisan ini ditemukan tahun 1987 di kubur bilik batu Tegruwangi. Tetapi saying sekali, lukisan itu telah hilang. Dari pengamatan Haris Sukendar, lukisan fauna di megalitik Besemah dalam bentuk fisiknya dibagi menjadi dua bagian yaitu (1) Lukisan realistis, lukisan digambar sesuai dengan bentuk aslinya, seperti lukisan burung hantu, (2) Lukisan bersifat stilir, lukisan yang digambarkan dengan bentuk yang bergaya, tetapi mempunyai makna seperti objek aslinya, seperti lukisan kerbau di dusun Tanjung-aghe.

Seperti juga pada seni pahat, seni lukis kerbau ditemukan pada dinding kubur batu yang membuktikan bahwa kerbau telah dikenal dan dibudidayakan dalam tradisi megalitik di Besemah. Kerbau dalam tradisi megalitik ini menjadi binatang utama. Dalam berbagai upacara penting, kerbau selalu berperan yang digunakan sebagai binatang kurban yang disembelih baik untuk keperluan berkaitan dengan kepercayaan (belifs), yaitu sebagai kendaraan arwah ketika menuju alam arwah atau sebagai konsumsi manusia itu sendiri. Selain itu, kerbau juga merupakan symbol harkat dan martabat seseorang. Lukisan kerbau pada tradisi megalitik di Besemah menunjukkan bahwa masyarakatnya telah akrab dengan binatang ini.

Lukisan jenis flora ada yang dihubungkan dengan kesuburan atau hanya sekedar estetika. Objek lukisan flora dalam megalitik kebanyakan menggambarkan motif sulur atau jenis tanaman yang merambat (menjalar), lukisan dengan objek flora dalam kubur batu di Besemah mayoritas bermotif sulur. Bagaimana dengan pola-pola hias pada menhir di Besemah? Tampaknya masih terlalu sulit untuk mengetahui motif hias sulur dalam tradisi megalitik di Besemah sebagai estetika semata, karena belum diketahui makna religiusnya.

1.4 Megalitik Besemah dan Pengaruh Budaya Luar

Tampaknya dalam kurun waktu yang panjang ,memperlihatkan ada pekembangan kemajuan dalam tradisi megalitik. Arca megalitik besemah tampil begitu indah dan perhiasan tubuh (kalung dan gelang kaki) .arca mengalitik besemah telah mengakomodasikan segalah aspek yang bernilai tinggi yang datang dari luar . pahatan sudah menujukan keterampilan teknik yang mengandung unsur bermacan –macam budaya yang telah menyentu. Indikasi yang menujukan unsur-unsur budaya luar terletak pada berbagi bagian tubu serta pakaian dan hiasanya .Bagian bagian yang menujukan pengaruh budaya luar dapat di lihat pada bagian tutup kepala ,bentuk fiik tubuh ,perlengkap pakain ,dan pakainnya .hal ini dapat di lihat seperti pada pahatan sebagi berikut.

1.Pada seni pahat Besemah muncul gejalah pengaruh budaya Eropa (yunani) seperti dalam pahatan (goresan)di situs mengelitik Tegurwangi Lame terdapat took-toko yang di gambarkan dengan tutup kepala yang berumbai-rumbai dan hiasan dalm bentuk bulatan-bulata yang menyerupai perlengkapan pakaian seradut Romewi.
2.Pada acara –acara megalit Besemah di pulaupagung (Sekendal ),Tajungsiri, Muaradue gumay ulu ,dan lain- lain tertdapat pahatan yang menggambarkan pakaian ponco yang di gunakan oleh suku-suku bangsa di Amerika.Sementara pada bagian kaki ,ada pahatan–pahatan yang menggambarkan penutup kaki yang oleh R.P Soejono dikatakan kaos kaki
3.Arca-arca megalitik di Besemah banyak yang digambarkan mengenakan pelengkap pakaian, seperti adanya pahatan nekara perunggu, belati atau pedang. Pahatan ini menggambarkan alat-alat kelengkapan hidup yang pada awalnya dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di daerah Dong-son, Vietnam (Soejono, 1982-1983;Gildern, 1945).
4.Teguh Asmar menyatakan adanya pengaruh luar khususnya dari segi bentuk tubuh (fisik) arca-arca megalitik yang seolah-olah menggambarkan bentuk prototif orang Negro, dengan ciri-ciri hidung pesek dan bibir tebal. Dalam temuan terakhir di situs Kute-ghaye, ada arca yang dipahatkan berambut keriting yang digambarkan dengan bentuk melingkar.
5.Sementara peneliti Ullman, Westenenk, Tombrink, dan lain-lain, cenderung mengatakan arca-arca megalitik Besemah dipengaruhi budaya India. Mereka menyatakan bahwa peninggalan itu dipengaruhi oleh budaya Hindu (Ullman 1850, Westenenk, 1921, Tombrink 1872).
6.Temuan lukisan kepala naga pada dinding kubur batu di Kute-ghaye menunjukkan pengaruh budaya Cina. Oleh van Heekeren mengatakan kubur-kubur batu yang monumental di dusun Kute-ghaye diduga berasal dari Cina.

Dari pendapat-pendapat di atas, menyatakan bahwa hasil budaya megalitik di Besemah sudah berhubungan dengan budaya luar dengan tingkat akulturasi yang sangat kompleks. Hal itu menandakan bahwa pendukung budaya megalitik Besemah sudah menguasai pengetahuan yang sangat tinggi yang dapat menyaring dan menyeleksi budaya luar yang baik dan benar.
Ciri-ciri pahatan megalitik Besemah yang menunjukkan tanda-tanda masuknya budaya luar, sudah menunjukkan pola pikir nenek moyang pada dataran tersebut begitu fleksibel. Mereka menganggap masuknya unsur-unsur asing tidak akan melenyapkan budaya terdahulu (asli), tetapi justru masuknya budaya asing dipandang sebagai unsur yang dapat memperkaya budaya sendiri. Sikap toleran ini sangat mempengaruhi hasil cipta (karya), rasa, dan karsa (budaya) nenek moyang. Hal ini dapat dibuktikan dengan tampilnya budaya material dalam bentuk megalitik yang sangat dinamis, yang berhasil menampilkan peninggalan budaya Batu Besar yang sangat unik, langka, dan penuh dengan kreasi-kreasi baru yang keluar dari lingkungan lama yang statis.
Selain ditemukan arca megalitik dinamis yang mengandung kebebasan bagi pemahatnya, ditemukan pula arca statis yang pada intinya mencerminkan budaya lama yang sulit berubah. Arca Muaradue dan Mingkik merupakan contoh situs megalitik yang masih asli belum memperoleh pengaruh-pengaruh luar yang datang kemudian. Bentuk arca Muaradue masih sederhana yang dapat dikelompokkan ke dalam jenis menhir. Arca semacam ini banyak digunakan dan berkaitan dengan penguburan. Berhubung ditancapkan ke dalam tanah, bagian bawah arca tidak diberi kaki. Arca statis yang ditemukan di dusun Mingkik ini belum diketahui untuk tanda kubur atau tidak, karena tanda-tanda ada penguburan pada lokasi berdirinya arca batu belum ditemukan.

1.5Pendukung Budaya Megalitik Besemah

Kalau berbicara mengenai kebudayaan Megalitikum di Tanah Besemah, kita masih menyisakan pertanyaan apakah benar pendukung budaya batu besar adalah nenek moyang orang besemah sekarang ini?. Atau dengan kata lain apakah ada keterkaitan dengan asal-usul orang Besemah?.
Teguh Asmar, seorang peneliti megalitik telah mencoba mengadakan penelitian terhadap pendukkung megalitik. Berdasarkan bentuk fisik arca-arca Besemah serta lukisan-lukisan pada dinding kubur batu, Asmar mengambil kesimpulan bahwa nenek-moyang pendukung megalitik Besemah adalah dari ras negroid. Alasannya didasari oleh bentuk-bentuk dan cirri-ciri fisik arca Besemah yang, antara lain, berbibir tebal dan hidung pesek. Ia mengatakan bahwa tentunya pendukung megalitik Besemah paling tidak mempunyai cirri yang menyerupai bentuk yang digambarkan pada arca megalitik maupun lukisan-lukisan pada dinding kubur batu.
Bentuk-bentuk fisik dari tokoh-tokoh yang digambarkan pada kubur batu adalah pendek dan dengan bagian tubuh yang besar kandal (tambun). Apa yang tampak pada cirri-ciri fisik arca megalitik Besemah merupakan penggambaran nyata dari bentuk fisik pendukung tradisi megalitik. Walaupun pendapat Teguh Asmar belum memperoleh pembuktian yang otentik tetapi hal ini merupakan sumbangan pemikiran yang bermanfaat dalam usaha mengungkapkan dari ras mana penduduk Besemah masa lalu. Namun menurut penulis, gambaran mengenai cirri-ciri fisik patung seperti yang digambarkan Teguh Asmar tersebut, hamper dapat dikatakan tidak sesuai dengan ciri-ciri fisik orang Besemah yang hidup sekarang ini.
Sedangkan Koentjaraningrat (1979:1-17) menyatakan dalam teori mengenai persebaran penduduk manusia prasejarh, ia tidak menyebut sedikit pun mengenai asal-usul suku Besemah, yang dibicarakan adalah orang Irian, Kalimatan, Sulawesi, Flores, dan beberapa suku lainnya.
Selanjutnya pendapat Surdjanto Puspowardoyo tentang latar belakang benda-benda peninggalan masa lalu yang menyatakan bahwa hasil budaya manusia mengandung nilai-nilai simbolik yang harus diterjemahkan dan diungkapkan peneliti secara signifikan (Kusumawati, 2003:170-171). Sebagai contoh gambar cap tangan pada dinding gua dan ceruk di Indonesia bukan hanya bertujuan untuk memperoleh nilai ektetika seni, tetapi menurut van Heekeren, menggambarkan perjalaan arwah yang meraba-raba mencari jalan yang menuju kea lam arwah. Berangkat dari pendapat ini maka dalam mengungkapkan siapa dan dari ras mana nenek-moyang pendukung megalitik Besemah harus dicari pula menurut nilai-nila simbolok di belakang cap tangan tersebut
Menariknya, kesimpulan para pakar bahwa pencipta tradisi megalitik Besemah terdiri dari dua latar belakang kebudayaan. Latar belakang budaya yang lebih awal menciptakan bentuk menhir, dolmen, serta arcatambaon primitif; dan yang berlatarbelakang kebudayan mengngelombang kedua, kemungkinan datang dari daratan Timur Asia tahun 200 sebelum masehi sampe 100 sebelum masehi (Hanafiah,2000:x).Kelompok yang terakhir ini,menurut Robert Heine-Geldern,ermasuk melahirkan budaya pahat patung khas seni Besemah dan stone cist grave (peti buku kubur).
Beberapa arca menunjukan adanya karakteristik dari kedua kelompok tersebut.kedua gaya itu dapat bertemu dan melembur di Besemah. Dapat di mengerti bahwa beberapa monument dari gaya yang lebih tua masih dapat di ciptakan pada periode yang sama pada perkembangan zaman pahat patung perunggu.Gambaran itu dapat dengan jelas pada arca batu gaja,yang dulu berada di dekat Lapangan Merdeka (Alun-alun Kota Pagaralam),tepatnya di tempat yang sekarang berdiri”Gedoeng Joeang’45” dan Masjid Taqwa Kata Pagaralam. Arca ini menampilkan gajah yang duduk,ditunggangi oleh seorang pahlawan yang digambarkan memakai kalung perunggu dengan pedang besar panjang serta gederang perunggu di punggungnya.Barang kali arca batu gajah merupakan suatu gambaran bahwa nenek-moyang orang Besemah adalah pejuang dan pahlawan.jika di kaitkan dengan kegigihan dan keberanian pejuang-pejuang Besemah pada waktu perang di Benteng penandingan,Benteng Menteralam,Benteng Tebatseghut,dan lain-lain gambaran di atas bener adanya.
Arca biasanya menggabarkan atau mengabadikan seorang tokoh yang dianggap memiliki kekuatan seorang dewa.pada candi-candi Hindu terdapat arca-arca yang mengambarkan dewa Ciwa,Brahma dan wisnu.Arca Ciwa,misalnya kadang digambarkan dengan tangan yang banyak dan dewa yang berkepala bamyak mempunyai latar belakang yang simbolek.Demilian juga pada arca-arca di Besemah memiliki makna sebagai symbol.kebiasaan pada masa prasejarah biasanya sangat mengagungkan nenek-moyangnya dan mempersentasikanya dalam bentuk arca-arca nenek moyang’sebagai usaha anak-cucunya yang ingin mengabadikan leluhurnya agar selalu dikenang.Jadi,berdasarkan pendapat diatas,dapat dikatakan bahwa kaitan pendukung migalitik di Tanah Besemah dengan nenek moyang jeme Besemah sekarang ini perlu pengkajian dan penelitian yang lebih mendalan lagi.


SUKU BESEMAH SELAYANG PANDANG


2.1Letak Geografis dan Alam

Daerah Besemah terletak di kaki Bukit Barisan. Daerahnya meluas dari lereng-lereng Gunung Dempo ke selatan sampai ke Ulu sungai Ogan ( Kisam ), ke barat sampai Ulu alas ( Besemah Ulu Alas ), ke utara sampai ke Ulu Musi Besemah ( Ayik Keghuh ),dan ke arah timur sampai Bukit Pancing, Pada masa Lampik Empat Merdike Due, daerah Besemah sudah dibagi atas Besemah Libagh, Besemah Ulu Lintang, Besemah Ulu Manak, dan Besemah Ayik Keghuh. Meskipun nama-namanya berbeda, namun penduduknya mempuyai hubungan atau ikatan kekerabatan yang kuat ( genealogis )
Daerah Besemah merupakan dataran tinggi dan pegunungan yang bergelombang. Ketinggian wilayah sangat bervariasi, dari ketinggian sekitar 441 meter dpl ( diatas permukaan laut ) sampai dengan 3.000-an meter lebih dpl. Daerah dataran tinggi 441 meter samapi dengan 1.000 meter dpl, sedangkan daerah berbukit dan bergunung ( bagian pegunungan ) berada pada ketinggian di atas 1.000 meter hingga 3.000 meter lebih dpl. Titik tertinggi adalah 3.173 meter dpl, yaitu puncak Gunung Dempo ( Bos, 1947:35 ), yang sekaligus merupakan gunung tertinggi di Sumatera Selatan. Daerah Gunung Dempo dengan lereng-lerengnya pada sisi timur dan tenggara mencakup 58,19 % dari luas wilayah Kota Pagar Alam sekarang yang 633,66 hektar ( Bappeda, 2003 : 7-12 ).
Bukit dan gunung yang terpenting di wilayah Kota Pagar Alam, antara lain adalah Gunung Dempo ( 3.173 m), Gunung Patah, ( 2.817 m ), Bukit Raje Mendare, Bukit Candi, Bukit Ambung Beras, Bukit Tungku Tige ( Tungku Tiga ), dan Bukit Lentur. Bagian wilayah kota yang marupakan dataran tinggi, terutama bagian timur, umumnya disebut “ Tengah Padang”. Daerah pusat Kota Pagar Alam yang meliputi kecamatan Pagaralam Utara dan Kecamatan Pagaralam Selatan atau wilayah bekas Marga Sumbay Besak suku alundue terletak pada ketinggian rata-rata 600 samapai 3.173 meter dpl.
Daerah Besemah dialiri sejumlah sungai. Satu diantaranya adalah sungai Besemah ( Ayik Besemah ). Pada zaman dahulu, keadaan alamnya sangat sulit dilewati, menyebabkan daerah ini jarang didatangi oleh Sultan Palembang atau wakil-wakilnya ( raban dan jenang ). Kondisi alam yang cukup berat ini menyebabkan sulitnya pasukan Belanda melakukan ekspedisi-ekspedisi militer untuk memadamkan gerakan pelawanan orang Besemah.
Mengenai keadaan alam Besemah pada permulaan abad ke-19, menurut pendatang Belanda dari karangan van Rees tahun 1870 melukiskan.
Sampai dengan tahun 1866 ada rakyat yang mendiami perbukitan yang sulit di datangi di sebalah tenggara Bukit Barisan yang tidak pernah menundukkan kepalanya kepada tetangga walaupun sukunya lebih besar. Walau hanya terdiri dari beberapa suku saja, mereka menanamkan dirinya rakyat bebas merdeka. Dari barat daya sulit ditembus oleh orang-orang Bengkulu, dari tiga sudut lain dipagari oleh gunung-gunung yang menjulang tinggi dan ditutupi oleh hutan rimba yang lebat dan luas di daerah pedalaman Palembang .


2.2Asal-usul, Kepercayaan, dan Mata Pencarian

Sampai sekarang masih belum jelas dari mana sebenarnya asal-usul suku Besemah. Apakah teori-teori tentang perpindahan penduduk yang diikuti sekarang berlaku juga bagi suku Besemah, masih diliputi kabut rahasia. Namun yang jelas, jauh ( berabad-abad ) sebelum hadirnya mitos Atung Bungsu, di Tanah Besemah, di lereng Gunung Dempo dan daerah sekitarnya, telah ada masyarakat yang memiliki kebudayaan ( tradisi megalitik ) sebagaimana telah diuraikan pada bab terdahulu dan bukti-bukti budaya megalitik di Tanah Besemah itu sampai sekarang masih ada. Tetapi permasalahannya, apakah jeme Besemah sekarang ini adalah keturunan dari pendukung budaya megalitik tersebut ?
Menurut Ahad, juraytue puyang Kedung Gunung Samat di Rempasay bahwa sebelum kedatangan Atung Bungsu ke daerah di sekitar Gunung Dempo, telah datang bergelombang dan berturut-turut suku-suku atau bangsa-bangsa itu adalah jeme Kam-kam, jeme Nik dan jeme Nuk, jeme Ducung, jeme Aking,dan jeme Rebakau, jeme Sebakas ; jeme Rejang dan jeme Berige. Pada masa tanah di sekitar Gunung Dempo diduduki oleh jeme Rejang dan jeme Berige, datanglah Atung Bungsu.
Dari cerita orang tua (jeme- jeme tue ), secara fisik jeme Nik dan jeme Nuk memiliki badan yang tinggi besar, hidung mancung, dan kulit putih kemerahan. Jeme Ducung perawakan tubuknya kecil, pendek tetapi memiliki kelincahan. Jeme Aking juga tinggi besar, kekar, kulitnya merah keputihan, dan memiliki pendirian yang keras. Jeme Rebakau berperawakan sedang, dan jeme Sebakas postur tubuhnya seperti orang-orang Melayu sekarang. Demikian pula jeme Rejang dan jeme Berige tidak jauh beda dengan jeme Sebakas. Ahad mengatakan bahwa orang Besemah sekarang diperkirakan merupakan keturunan dari berbagai suku-suku diatas, namun keturunan yang paling dominant berasal dari puyang Atung Bungsu.
Menurut cerita rakyat di Besemah, Atung Bungsu datang ke Besemah pada saat tempat ini sudah di diami oleh suku Rejang dan Berige. Ia sampai berdialog dengan salah seorang pimpinan suku Rejang yang bernama Ratu Rambut Selaku dari Lubuk Umbay yang masing-masing merasa berhak atas Tanah Besemah. Mulai sumpah, akhirnya Ratu Rambut Selake mengakui bahwa yang lebih berhak adalah Atung Bungsu. Ucapan Atung Bungsu itu kira-kira sebagai berikut, “Jikalau bulak, jikalau buhung, tanah ini aku punye, binaselah anak cucungku”.
Sedangkan M.Zoem Derahap, yang dijuluki Pak Gasak, dusun Negeri Kaye, Tanjung Sakti, bercerita bahwa rakyat Lubuk Umbay yang dipimpin Ratu Rambut Selake setelah mengakui Tanah Besemah milik Atung Bungsu mereka lalu diberi kedudukan sebagai Sumbay dalam Jagat Besemah, tetapi tidak masuk dalam system pemerintahan Lampik Empat Merdike Due. Sumbay mereka itu dinamakan Sumbay Lubuk Umbay.
Sebagai masyarakat Besemah percaya bahwa kedatangan Atung Bungsu itu bersama Diwe Semidang (Puyang Serunting Sakti) dan Diwe Gumay. Diwe Gumay menetap di Bukit Seguntang Palembang, sedangkan Diwe Semidang pada mulanya juga tinggal di Bukit Seguntang, lalu pagi menjelajah sembilan batanghari sampai akhirnya menetap di suatu tempat yang disebut Padang Langgar (Pelangkeniday). Keturunan kesebelas dari Diwe Gumay, yaitu Puyang Panjang sebagai Juray Kebalik-an baru menetap dibagian ilir Tanah Besemah, yaitu di Balai Buntar ( Lubuksempang).
Selain cerita rakyat yang tetap hidup dan berkembang di Besemah, mengenai asal- usul suku Besemah, seorang pengelana bangsa Inggris, E.Presgrave, yang mengunjungi daerah Besemah, memberikan cerita dalam The Journal Of The Indian Archipelago (Harian dari Kumpulan India) sebagai berikut (Gramberg, 1867:351-352).
“….., sewaktu kerajaan Majapahit runtuh, seorang kakak laki-laki dan seorang adik perempuan dengan banyak pengikut, telah meninggalkan Majapahit dan mendarat di Pantai Timur Sumatera. Adik perempuannya menempatkan dirinya di Palembang, dimana ia dalam waktu singkat telah menjadi ratu yang terpandang ; kakaknya (Atung Bungsu), yang lebih jauh masuk ke pedalaman, menetapkan diri di Lembah dari Passumah yang subur. Dengan demikian tanah ini diduduki dan dihuni para pendatang ini.
Mitos atau cerita mengenai Puyang Atung Bungsu terdapat beberapa versi yang diantara lain dapat kita baca dalam “Soerat Assal Oerang Mendjadikan Djagat Passumah” dengan kode ML 608 (BR.157.VIII) dan kode ML 234 yang ada di perpustakaan Museum Nasional, Jakarta. Sumber dengan kode ML 234 ditulis oleh Muhammad Arif dari dusun Benuakeling tanggal 28 November 1898 yang disalinnya dari suatu kitab orang dusun Tanahpilih, Marga Sumbay Ulu Lurah Benuakeling, yaitu Pangeran Samadil. Sumber data ini, sebelumnya disalin kembali oleh Muhammad Tayib yang pernah magang di kantor Kontrolir dari Bandar tanggal 25 Januari 1889. Jadi, sumber ini sudah disalin beberapa kali. Sumber aslinya dalam bentuk huruf Arab Gundul (Surat Melayu) yang kemudian ditulis dalam bentuk huruf latin.
Adalagi sumber yang ditulis oleh A. Grozali Mengkerin, juga dari dusun Benuakeling yang berjudul “Benuakeling Puting Jagat Besemah”. Selanjutnya ada lagi versi lain, misalnya yang ditulis oleh Musa dari dusun Muara Siban, M.S. Panggarbesi, Abdullah (Bedul) dusun Gelungsakti, dan beberapa tulisan lainnya. Cerita tentang Puyang Atung Bungsu ini banyak dibumbui dengan cerita-cerita yang berbau mistik, irrasional dan sulit diterima oleh akal sehat. Pada umumnya cerita tentang Atung Bungsu ini terdapat persamaan, bahwa tokoh ini berasal dari Kerajaan Majapahit dan dua orang anaknya, Bujang Jawe (Bergelar Puyang Diwate) dan Riye Rekian. Atung Bungsu dan keturunannya dianggap genre yang menjadikan “Jagat Besemah”. Konon, menurut cerita, kata “Besemah” berasal dari cerita istri Atung Bungsu yang Bernama Putri Senantan Buwih (anak Ratu Benuakeling) yang ketika sedang mencuci beras di sungai, bakul berasnya dimasuki ikan semah (ML, 608:5).
Salah seorang keturunan Bujang Jawe (Puyang Diwate) bernama puyang Mandulake (Mandulike) yang berputra lima orang, yaitu (1) Puyang Sake Semenung atau Semanung (menjadikan anak keturunan Pagargunung), (2) Puyang Sake Sepadi, melalui anaknya Singe Bekkurung yang bertempat tinggal di dusun Benuakeling menjadikan Marga Tanjung Ghaye, Sumbay Ulu Lurah, Sumbay Besak, Sumbay Mangku Anum, dan Sumbay Penjalang, (3) Puyang Sake Seratus menjadikan anak keturunan Bayuran (Kisam), (4) Puyang Sake Seketi (mati bujang, tidak ada keturunan). Puyang Singe Bekurung mempunya anak Puyang Pedane. Puyang Pedane beranak Puyang Tanjung Lematang. Puyang ini kemudian beranak tiga orang, yaitu Puyang Riye Lisi, Riye Ugian, dan Riye Lasam. Puyang Riye Lisi pindah ke Kikim menjadikan anak Merge Penjalang di Besemah Libagh, dan Puyang Riye Lasam menjadikan keturunan Sumbay Ulu Lurah.
Tentang asal-usul suku Besemah, versi lalin menceritakan bahwa ada seorang “Wali Tua” dari salah satu anggota keluarga Kerajaan Majapahit berangkat ke Palembang, kemudian kawin dengan Putri (anak) Raja Iskandar yang menjadi Raja Palembang. Salah satu keturunan inilah yang bernama Atung Bungsu yang pada suatu ketika berperahu menyelusuri sungai Lematang dan akhirnya sampai di sungai yang belum diketahui namanya, tempatnya menetap dinamakan Benuakeling . Di sungai itu, Atung Bungsu melihat banyak ikan semah yang mengerumuni bekas-bekas makanan yang dibuang ke sungai. Atung Bungsu menceritakan kepada istrinya bahwa di sungai banyak ikan semah-nya. Konon katanya, nama ikan inilah yang menjadi cikal-bakal asal-usul nama “Besemah” yang artinya “sungai yang ada ikan seah-nya”. Sungai itulah yang sampai sekarang dikenal dengan nama Ayik Besemah diantara dusung Karanganyar dengan dusun Tebatgunung Baru sekarang. Jadi, ada beberapa versi cerita mengenai ikan semah sebagai asal nama Besemah, di antaranya versi Atung Bungsu dan versi Senantan Buih.


Asal-usul, Kepercayaan, dan Mata Pencarian Orang Besemah

Asal-usul, Kepercayaan, dan Mata Pencarian Orang Besemah

Sampai sekarang masih belum jelas dari mana sebenarnya asal-usul suku Besemah. Apakah teori-teori tentang perpindahan penduduk yang diikuti sekarang berlaku juga bagi suku Besemah, masih diliputi kabut rahasia. Namun yang jelas, jauh ( berabad-abad ) sebelum hadirnya mitos Atung Bungsu, di Tanah Besemah, di lereng Gunung Dempo dan daerah sekitarnya, telah ada masyarakat yang memiliki kebudayaan ( tradisi megalitik ) sebagaimana telah diuraikan pada bab terdahulu dan bukti-bukti budaya megalitik di Tanah Besemah itu sampai sekarang masih ada. Tetapi permasalahannya, apakah jeme Besemah sekarang ini adalah keturunan dari pendukung budaya megalitik tersebut ?
Menurut Ahad, juraytue puyang Kedung Gunung Samat di Rempasay bahwa sebelum kedatangan Atung Bungsu ke daerah di sekitar Gunung Dempo, telah datang bergelombang dan berturut-turut suku-suku atau bangsa-bangsa itu adalah jeme Kam-kam, jeme Nik dan jeme Nuk, jeme Ducung, jeme Aking,dan jeme Rebakau, jeme Sebakas ; jeme Rejang dan jeme Berige. Pada masa tanah di sekitar Gunung Dempo diduduki oleh jeme Rejang dan jeme Berige, datanglah Atung Bungsu.
Dari cerita orang tua (jeme- jeme tue ), secara fisik jeme Nik dan jeme Nuk memiliki badan yang tinggi besar, hidung mancung, dan kulit putih kemerahan. Jeme Ducung perawakan tubuknya kecil, pendek tetapi memiliki kelincahan. Jeme Aking juga tinggi besar, kekar, kulitnya merah keputihan, dan memiliki pendirian yang keras. Jeme Rebakau berperawakan sedang, dan jeme Sebakas postur tubuhnya seperti orang-orang Melayu sekarang. Demikian pula jeme Rejang dan jeme Berige tidak jauh beda dengan jeme Sebakas. Ahad mengatakan bahwa orang Besemah sekarang diperkirakan merupakan keturunan dari berbagai suku-suku diatas, namun keturunan yang paling dominant berasal dari puyang Atung Bungsu.
Menurut cerita rakyat di Besemah, Atung Bungsu datang ke Besemah pada saat tempat ini sudah di diami oleh suku Rejang dan Berige. Ia sampai berdialog dengan salah seorang pimpinan suku Rejang yang bernama Ratu Rambut Selaku dari Lubuk Umbay yang masing-masing merasa berhak atas Tanah Besemah. Mulai sumpah, akhirnya Ratu Rambut Selake mengakui bahwa yang lebih berhak adalah Atung Bungsu. Ucapan Atung Bungsu itu kira-kira sebagai berikut, “Jikalau bulak, jikalau buhung, tanah ini aku punye, binaselah anak cucungku”.
Sedangkan M.Zoem Derahap, yang dijuluki Pak Gasak, dusun Negeri Kaye, Tanjung Sakti, bercerita bahwa rakyat Lubuk Umbay yang dipimpin Ratu Rambut Selake setelah mengakui Tanah Besemah milik Atung Bungsu mereka lalu diberi kedudukan sebagai Sumbay dalam Jagat Besemah, tetapi tidak masuk dalam system pemerintahan Lampik Empat Merdike Due. Sumbay mereka itu dinamakan Sumbay Lubuk Umbay.
Sebagai masyarakat Besemah percaya bahwa kedatangan Atung Bungsu itu bersama Diwe Semidang (Puyang Serunting Sakti) dan Diwe Gumay. Diwe Gumay menetap di Bukit Seguntang Palembang, sedangkan Diwe Semidang pada mulanya juga tinggal di Bukit Seguntang, lalu pagi menjelajah sembilan batanghari sampai akhirnya menetap di suatu tempat yang disebut Padang Langgar (Pelangkeniday). Keturunan kesebelas dari Diwe Gumay, yaitu Puyang Panjang sebagai Juray Kebalik-an baru menetap dibagian ilir Tanah Besemah, yaitu di Balai Buntar ( Lubuksempang).
Selain cerita rakyat yang tetap hidup dan berkembang di Besemah, mengenai asal- usul suku Besemah, seorang pengelana bangsa Inggris, E.Presgrave, yang mengunjungi daerah Besemah, memberikan cerita dalam The Journal Of The Indian Archipelago (Harian dari Kumpulan India) sebagai berikut (Gramberg, 1867:351-352).
“….., sewaktu kerajaan Majapahit runtuh, seorang kakak laki-laki dan seorang adik perempuan dengan banyak pengikut, telah meninggalkan Majapahit dan mendarat di Pantai Timur Sumatera. Adik perempuannya menempatkan dirinya di Palembang, dimana ia dalam waktu singkat telah menjadi ratu yang terpandang ; kakaknya (Atung Bungsu), yang lebih jauh masuk ke pedalaman, menetapkan diri di Lembah dari Passumah yang subur. Dengan demikian tanah ini diduduki dan dihuni para pendatang ini.
Mitos atau cerita mengenai Puyang Atung Bungsu terdapat beberapa versi yang diantara lain dapat kita baca dalam “Soerat Assal Oerang Mendjadikan Djagat Passumah” dengan kode ML 608 (BR.157.VIII) dan kode ML 234 yang ada di perpustakaan Museum Nasional, Jakarta. Sumber dengan kode ML 234 ditulis oleh Muhammad Arif dari dusun Benuakeling tanggal 28 November 1898 yang disalinnya dari suatu kitab orang dusun Tanahpilih, Marga Sumbay Ulu Lurah Benuakeling, yaitu Pangeran Samadil. Sumber data ini, sebelumnya disalin kembali oleh Muhammad Tayib yang pernah magang di kantor Kontrolir dari Bandar tanggal 25 Januari 1889. Jadi, sumber ini sudah disalin beberapa kali. Sumber aslinya dalam bentuk huruf Arab Gundul (Surat Melayu) yang kemudian ditulis dalam bentuk huruf latin.
Adalagi sumber yang ditulis oleh A. Grozali Mengkerin, juga dari dusun Benuakeling yang berjudul “Benuakeling Puting Jagat Besemah”. Selanjutnya ada lagi versi lain, misalnya yang ditulis oleh Musa dari dusun Muara Siban, M.S. Panggarbesi, Abdullah (Bedul) dusun Gelungsakti, dan beberapa tulisan lainnya. Cerita tentang Puyang Atung Bungsu ini banyak dibumbui dengan cerita-cerita yang berbau mistik, irrasional dan sulit diterima oleh akal sehat. Pada umumnya cerita tentang Atung Bungsu ini terdapat persamaan, bahwa tokoh ini berasal dari Kerajaan Majapahit dan dua orang anaknya, Bujang Jawe (Bergelar Puyang Diwate) dan Riye Rekian. Atung Bungsu dan keturunannya dianggap genre yang menjadikan “Jagat Besemah”. Konon, menurut cerita, kata “Besemah” berasal dari cerita istri Atung Bungsu yang Bernama Putri Senantan Buwih (anak Ratu Benuakeling) yang ketika sedang mencuci beras di sungai, bakul berasnya dimasuki ikan semah (ML, 608:5).
Salah seorang keturunan Bujang Jawe (Puyang Diwate) bernama puyang Mandulake (Mandulike) yang berputra lima orang, yaitu (1) Puyang Sake Semenung atau Semanung (menjadikan anak keturunan Pagargunung), (2) Puyang Sake Sepadi, melalui anaknya Singe Bekkurung yang bertempat tinggal di dusun Benuakeling menjadikan Marga Tanjung Ghaye, Sumbay Ulu Lurah, Sumbay Besak, Sumbay Mangku Anum, dan Sumbay Penjalang, (3) Puyang Sake Seratus menjadikan anak keturunan Bayuran (Kisam), (4) Puyang Sake Seketi (mati bujang, tidak ada keturunan). Puyang Singe Bekurung mempunya anak Puyang Pedane. Puyang Pedane beranak Puyang Tanjung Lematang. Puyang ini kemudian beranak tiga orang, yaitu Puyang Riye Lisi, Riye Ugian, dan Riye Lasam. Puyang Riye Lisi pindah ke Kikim menjadikan anak Merge Penjalang di Besemah Libagh, dan Puyang Riye Lasam menjadikan keturunan Sumbay Ulu Lurah.
Tentang asal-usul suku Besemah, versi lalin menceritakan bahwa ada seorang “Wali Tua” dari salah satu anggota keluarga Kerajaan Majapahit berangkat ke Palembang, kemudian kawin dengan Putri (anak) Raja Iskandar yang menjadi Raja Palembang. Salah satu keturunan inilah yang bernama Atung Bungsu yang pada suatu ketika berperahu menyelusuri sungai Lematang dan akhirnya sampai di sungai yang belum diketahui namanya, tempatnya menetap dinamakan Benuakeling . Di sungai itu, Atung Bungsu melihat banyak ikan semah yang mengerumuni bekas-bekas makanan yang dibuang ke sungai. Atung Bungsu menceritakan kepada istrinya bahwa di sungai banyak ikan semah-nya. Konon katanya, nama ikan inilah yang menjadi cikal-bakal asal-usul nama “Besemah” yang artinya “sungai yang ada ikan seah-nya”. Sungai itulah yang sampai sekarang dikenal dengan nama Ayik Besemah diantara dusung Karanganyar dengan dusun Tebatgunung Baru sekarang. Jadi, ada beberapa versi cerita mengenai ikan semah sebagai asal nama Besemah, di antaranya versi Atung Bungsu dan versi Senantan Buih.

Muhammad Saman Loear, Guritan of Raden Suane

GURITAN OF RADEN SUANE

Pesona Kata dari Besemah
Industri hiburan menyerbunya hingga sekarat. Seorang pakar Amerika tertarik menerjemahkannya.
Kalau kami di Pagar Alam,
televisi terang siang dan malam,
tapi rasa di hati masih kasihan,
rakyat di Jarai belum kebagian,
gambarnya masih 'ndak karuan,
padahal perlu pemerataan,
tolonglah disaksikan,
oleh Bapak Menteri Penerangan

MENIKMATI lantunan guritan oleh M. Saman Loear itu, Presiden Soeharto serta sejumlah menteri tertawa dan bertepuk tangan. Sastra lisan yang disindirkan di depan Pak Harto dan rombongan yang berkunjung ke Muara Enim, Sumatera Selatan, Mei 1991, itu menggelitik hati. Lucu, tapi tanpa membuat kuping merah.

Kini kekayaan seni suku Besemah dari Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, itu tampil pula dalam Festival Sriwijaya di Palembang, 6-20 Juni. Seperti halnya hikayat Betawi, didong Aceh, takna' lawe' Dayak, wor Irian Jaya, ataupun gegur itan Jawa, guritan adalah seni bertutur berbentuk prosa liris dengan langgam yang purba tapi menarik.

Tapi ketika ekses pembangunan datang, sastra lisan pun sekarat diserbu beragam industri hiburan. Kehadiran guritan di Festival Sriwijaya pun -jika mau jujur- tak lebih dari sekadar sebuah seremoni kenangan. "Pada suku Besemah pun tak lagi bergaung," kata Saman, penggurit berusia 67 tahun, kepada Budi Pristiwanto dari Gatra. Ican, seorang dara Lahat, malah berkata, "Oh, guritan, saya pernah mendengar kata itu, tapi tak tahu seperti apa."

Guritan pernah populer saat selepas panen, atau kala kenduri pernikahan atau ketika purnama menerangi jagat Besemah pada abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20. Ada yang berupa ajaran moral, nasihat, adat, perjuangan, kepahlawanan, dan kisah kerajaan masa silam -berbeda dengan guritan berbahasa Indonesia yang dimodifikasi Saman tadi. Ceritanya pun panjang sehingga menghabiskan waktu dari usai magrib sampai lewat tengah malam.

Dulu pertunjukan dilakukan penggurit sembari duduk bersila, dengan tangan berlipat di atas sambang -alat dari bambu kering berdiameter 9 sentimeter sepanjang dua jengkal. Alat itu dilubangi persis di depan mulut penggurit agar suaranya bisa bergaung. Bagai seni suara murni, penggurit mengolah suaranya demi memuaskan indra pendengaran penonton. Meskipun tengah melukiskan suasana gemas atau kecut, laku fisik dan ekspresi wajah penggurit datar saja.

Modal penggurit adalah napas panjang dan kelancaran bertutur. Warna suaranya yang monoton sesungguhnya melodius, dan bergema bagaikan perpaduan membaca mantra, senandung, dan gumam. Teramat penting adalah teknik mengatur suara dan napas dalam melantunkan bait-bait cerita yang panjang. Bayangka n jika setiap bait bisa terdiri dari 10 hingga 20 baris, sedangkan setiap baris terdiri dari 3 hingga 6 kata.

Jika kira-kira napas tak sampai, maka bait tersebut diakhiri dengan ucapan ai bak titik atau koma dalam tulisan. Tapi kata ai itu tak diucapkan saat napas tersengal-sengal. Penggurit ulung memakainya kala napas hanya cukup untuk satu baris lagi -itu pun tidak pada posisi cerita di "tengah jalan". "Agar plot kisah tak terputus tak keruan," kata Saman Loear.

Amir Hamzah, anggota DPRD Lahat, masih terkenang betapa guritan bisa menghanyutkan perasaan pendengar. Gaek berusia 74 tahun ini masih teringat pada sebuah cerita sedih, yang bisa membuat mata penonton sembab. Jika ada perseteruan, lalu tokoh putih dikalahkan tokoh hitam, penonton bisa gemas. "Tanpa disadari, tangan kita bisa meninju lantai," kata Amir. Cerita lucu membuat orang terkekeh-kekeh pula.

Kekuatan guritan adalah pada pembacaannya. Syairnya mungkin bisa menjemukan -bahkan juga bagi komuni tas Besemah masa kini- karena logat dan semantiknya datang dari ruang dan waktu yang jauh di masa lalu. Tetapi kita boleh bertanya: kenapa teks-teks guritan dari mulut penggurit bisa bertenaga, dan bahkan mempesona pendengarnya di masa lampau?

Realitas pada masa silam itu agaknya bisa menjadi ufuk bagi para penyair, atau pembaca cerita pendek dan bahkan penulis dialog sinetron, agar kata-katanya bisa pula kuat meyakinkan pendengar. Boleh pula menjadi referensi bagi pejabat yang berpidato, teks iklan di televisi, atau tulisan di pelbagai media cetak, agar tak lagi hambar dan kehilangan daya pikat.

Mungkin karena pesona guritan itulah Saman dan antropolog William Collins Ph.D, dari University of California, Los Angeles, Amerika Serikat, mentranskripsikan satu naskah guritan bertajuk Raden Suane Tanjung Larang setebal 442 halaman ke dalam bahasa Besemah dan Inggris pada 1990. Orang asing jauh-jauh datang menengoknya, sementara kita baru mengundangnya ke sebuah festival, yang semoga tak "hura-hura" belaka.


Nomor 30/III, 14 Juni 1997
www.gatra.com

Muhammad Saman Loear, Tokoh Guritan Jagad Besemah

Di kaki Gunung Dempo, tahun 1971, William A Collin iseng memutar kaset
guritan pemberian teman barunya. Volumenya disetel agak keras. Alunan
lagu itu memancing penduduk setempat berkerumun, dari semula satu
orang yang menguping sampai akhirnya berjumlah puluhan. Calon doktor
antropologi University of California, Los Angeles, ini heran, mengapa
orang desa yang berjarak 294 km barat daya Palembang itu begitu
bersemangat mendengar guritan.
Ia menjadi makin penasaran ketika melihat seorang ibu menangis
tersedu-sedu mendengar cerita dari kaset itu. Collin bertanya panjang
lebar kepada Muhammad Saman Loear, teman barunya, yang tak lain adalah
artis pelantun guritan tadi.

''Binatang'' apa guritan itu? Apa isi ceritanya? Mengapa dapat
mengharu-biru pendengarnya?

Tujuan pokok Collin yang semula meriset suku Besemah, Pagaralam,
Lahat, Sumatera Selatan, dia sisihkan dan beralih mengobservasi
guritan. Itulah seni sastra yang ternyata hampir punah.

Dari 200.000 warga suku Besemah, hanya ada empat orang yang pakar
dalam bidang itu. Itu pun sudah berusia lebih 70 tahun. Saman sendiri
waktu itu hanyalah seorang pelantun dan pernah membuat sebuah cerita
guritan.

Sang bule akhirnya kembali ke Amerika dengan membawa kaset dan buku
guritan karangan Saman. Dia menyelesaikan disertasi doktornya yang
berjudul A Study of People of South Sumatera, Besemah. Tentang teman
barunya itu disinggung sedikit di halaman sembilan. Dari Amerika,
Collin berpesan agar Saman menyelamatkan guritan dari kepunahan.

***

GURITAN adalah seni prosa lirik berbentuk cerita panjang yang
ditembangkan. Isinya banyak mengandung falsafah, sejarah, dikemas
dalam bentuk sastra. Saman tidak mengatahui dari mana asal usul
guritan dan siapa penciptanya. Yang diketahui, sejak abad ke-18
guritan sudah populer di daerahnya.

Penembangan guritan biasanya dilakukan pada acara tertentu selama
semalam suntuk. Misalnya, pada musibah, waktu panen padi, kopi atau
saat bulan purnama. Fungsinya sebagai pengibur keluarga yang mendapat
musibah atau sekadar hiburan malam bulan purnama.

Di saat bulan purnama musim panen, perempuan desa mulai mengayam tikar
di lapangan terbuka dengan penerangan api unggun. Orang-orang, tua-
muda besar-kecil tumpah ruah di situ. Penggurit pun mulai beraksi
melantunkan cerita. Yang mengayam dapat hiburan, sedangkan muda-
mudinya saling berkenalan. Di kalangan muda, guritan dikenal sebagai
ajang cari jodoh.

Kalau dibandingkan dengan kesenian lain, guritan mirip pagelaran
wayang kulit, namun tanpa alat peraga. Kisah Raden Suane misalnya,
mengandung cerita kehidupan, watak manusia dan model pemimpin negeri
dari masa ke masa. Kisah ini dibumbui kisah cinta dan perang yang
dirangkai dalam babak demi babak.

Ujung ceritanya happy ending. Namun kelak-kelok menuju akhir sungguh
dahsyat. Penonton yang mengira sang bintang bakal bahagia pada babak
kedua harus bersabar. Atau si tokoh jahat yang dikira sudah habis
masih bertahan sampai akhir. Begitu kira-kira penggalan Raden Suane.

***

LEWAT bantuan dana dari Collin, tahun 1972, Saman mulai menyelamatkan
guritan. Ia mendatangi satu per satu pakar tua guritan seperti Cik
Ait, Manajin, Diku Guru Agung dan Ungsan Sandar Angin.

Aneh kelihatannya, dalam perjalanan wawancara dan mengumpulkan data,
satu persatu narasumbernya meninggal dunia. Misalnya, Cik Ait
meninggal dunia persis sepekan setelah kisah Raden Suane dikasetkan.

Untuk merekam kisah Raden Suane diperlukan sembilan pita kaset
berdurasi 90 menit. Sementara untuk membuat buku setebal 442 halaman
itu, menghabiskan dana Rp 50 juta.

Karena narasumber keburu wafat, tidak semua kisah guritan dapat
diselamatkan. Lima judul tidak utuh diselamatkan. Kalau mau disusun,
harus digali ulang karena datanya masih terserak di sana-sini.

Tahun 1988, Collin kembali ke Indonesia sebagai dosen tamu sosiologi
antropologi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat itulah
guritan Raden Suane dirampungkan. Saman menyusunnya dalam bahasa
daerah, sementara Collin dalam bahasa Inggris.

Menurut penuturan Collin, buku The Guritan of Raden Suane sudah
disebar di hampir seluruh perpustakaan Universitas yang ada fakultas
sastranya di Amerika. Nama Saman pun terukir di sana. Collin sempat
berjanji membuat cerita dalam bentuk novel dan film. Namun, mimpi itu
belum terwujud. Kelanjutan hubungan dengan pria Amerika itu malah
terputus.

Sepeninggal Collin, Saman masih berusaha keras melengkapi judul-judul
yang sempat dikumpulkan. Cerita guritan Remas Panji Marademak dan
Raden Pengantin sudah diberkas dengan biaya pribadi. Untuk biaya
mengumpulkan data itu saja, Saman menghabiskan dua ton kopi hasil
panen dari kebunnya.

Akan tetapi, untuk mencetak dalam bentuk buku seperti kisah Raden
Suane dia terbentur dana. Pernah Saman menawarkan kepada pemerintah
daerah setempat, namun kurang ditanggapi. Kalaupun ada, biaya yang
diberikan sangat kecil, tidak sepadan dengan biaya yang dibutuhkan.

Meski demikian, Saman terus berkarya. Acap dia terlihat di dusun-
dusun. Berbincang-bincang dengan para tetuanya. Dengan tekun
mengumpulkan kata-kata nasihat peninggalan suku Besemah. Dengan susah
payah dia menyusun buku yang diberi judul Petatah Petitih Suku
Besemah, yang kemudian diterbitkan. Kerja keras lainnya adalah
menerbitkan buku Aksara Daerah Surat Ulu.

Saat ini Saman tengah mengumpulkan modal untuk menerbitkan buku Jeme
Merdike, Perlawanan Rakyat Besemah terhadap Kekuasaan Belanda pada
Abad Ke-18.

***

SAMAN lahir April 1933. Tanggalnya tidak tahu pasti. Pendidikannya
cuma tamatan Tsanawiyah (setingkat SLTP). Sejak di sekolah dasar dia
memang sudah tertarik akan guritan. Saman kecil tahan tidak tidur
semalaman demi mendengar kisah guritan yang dilantunkan. Sesampai di
rumah dia kerap mengingat-ingat kisah dan mencoba melantunkan sendiri.
Tidak heran ketika di Tsanawiyah dia sudah menjadi seorang penggurit,
walau belum sempurna.

Saat perang gerilya merebut kemerdekaan Saman menjadi tentara pelajar
dengan pangkat kopral. Satu hal yang diingatnya persis, di waktu
senggang dia kerap menggurit di sekeliling prajurit. Setelah diberi
doping sastra itu, biasanya prajurit langsung semangat lagi. ''Seperti
prajurit Suane yang tidak mau menyerah terhadap lawan,'' kata Saman
sembari terkekeh.

Usai perang, Saman sempat merantau ke Lampung. Kemudian melanjutkan
perjalanan ke Jakarta tahun 1954 sampai 1958. Pada tahun 1958 dia
kembali ke Pagaralam. Namun ketika PRRI meletus, rencana kembali ke
Jakarta batal karena transportasi Pagaralam-Jakarta putus. Ditambah
lagi, dia ketemu dengan gadis Sundarmi yang kini mendampinginya
sebagai istri dengan enam orang anak.

Di masa sekarang yang penuh dengan gejolak di setiap daerah, Saman
menasihati pemerintah untuk mempelajari budaya dan sosiologi
masyarakat setempat. Saman juga mengritik cara menyampaikan pelajaran
sejarah di sekolah yang dinilainya kering. Padahal dengan cara-cara
budaya dan seni daerah seperti guritan atau wayang, pelajaran sejarah
akan lebih menarik bagi siswa karena lebih mudah dicerna. (syahnan Saman, Budaya, Sosiologi...Kompas/syahnan)

Arman Idris, Pejuang Guritan Besemah

Arman Idris, Pejuang Guritan Besemah

Kamis, 11 Maret 2010 | 02:56 WIB

Wisnu Aji Dewabrata/ M Zaid Wahyudi/ Buyung Wijaya kusuma

Ketika Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, mekar dari induknya, Kabupaten Lahat, pada 2003, para pemerhati kesenian di daerah itu sadar bahwa seni prosa lirik dari suku Besemah yang disebut guritan nyaris tak memiliki penerus. Sampai Arman Idris, seniman yang hidup dari gitar akustik, mengambil inisiatif menghidupkan minat remaja untuk menyenangi seni sastra lisan tersebut.

Semangat Arman untuk memopulerkan guritan sangat jelas terlihat ketika tim Jelajah Musi 2010 bertemu dengannya. Bukan hanya membawa sebuah gitar, melainkan dia juga membawa pakaian daerah, yang sering digunakan saat manggung, dalam tas anyaman daun lontar khas Pagar Alam.

”Saya sangat senang jika bertemu dengan orang yang memiliki minat terhadap budaya kami, terutama guritan. Soalnya, kami harus melawan kemajuan zaman yang dapat membuat kesenian daerah, seperti guritan yang tidak memakai alat musik ini, menjadi luntur,” ujar Arman.

Ayah dari empat anak dan kakek dari enam cucu ini juga rela menampilkan kesenian guritan untuk pengambilan gambar liputan multimedia untuk Kompas dan Kompas TV di kaki bukit Gunung Dempo. Kawasan yang masih termasuk wilayah Pagar Alam.

Meskipun Arman hanya melantunkan dua syair tentang Kota Pagar Alam dengan durasi sekitar 15 menit, semua orang yang menyaksikan sangat puas. Ini terutama karena keseriusan dan kejernihan suara Arman. Dia tampil dengan dialek yang khas dan orisinal dari kesenian guritan Besemah.

Keseriusan Arman setiap tampil melantunkan guritan sama seperti saat memperkenalkan kesenian itu kepada para siswa sekolah menengah atas (SMA) di kotanya. Hasilnya, siswa di beberapa sekolah sudah membentuk sanggar yang aktif berlatih kesenian guritan.

Saat ditanya mengenai jumlah siswa yang sudah mendapatkan ilmu darinya, Arman mengatakan, tidak dapat menghitungnya. Selama ini dia sudah mendatangi 20 sekolah di Pagar Alam untuk menyosialisasi guritan, sekaligus melatih jika ada siswa yang sudah menyatakan minatnya.

”Saya memulai dengan meminta izin pihak sekolah mengumpulkan siswa di aula untuk memperkenalkan kesenian guritan yang merupakan kekayaan suku Besemah di Pagar Alam. Biasanya dari satu sekolah ada beberapa orang yang tertarik, kemudian menjadi cikal bakal sebuah sanggar,” kata Arman, yang memiliki bakat alami karena tak ada yang mengajari dirinya bermain musik atau menyusun syair.

Kepada para siswa, Arman selalu menjelaskan isi dari syair guritan yang banyak mengandung falsafah atau sejarah yang dikemas dalam bentuk sastra. Guritan biasanya ditembangkan pada acara tertentu selama semalam suntuk, dalam suasana duka atau suka. Misalnya, saat musibah atau usai panen. Tujuannya, untuk menghibur keluarga yang mendapat musibah atau sekadar hiburan pada malam bulan purnama.

Rajin ikut lomba

Tentang kecintaannya terhadap guritan, Arman bercerita mengenai masa mudanya. Waktu itu, ia gemar mengikuti lomba gitar tunggal, alias bertutur sambil bermain gitar. Ini merupakan salah satu kesenian yang populer di Sumsel. Ia berlomba dengan modal keahlian bermain gitar yang sudah dikuasainya sejak duduk di bangku kelas dua sekolah dasar.

Setelah menjuarai berbagai lomba di Pagar Alam, Kabupaten Lahat, hingga Palembang, ia menyadari bahwa berkesenian tak sekadar untuk mendapatkan piagam sebagai sang juara. Ini juga tak hanya untuk hidup, tetapi bagaimana kesenian itu bisa hidup dan bertahan di tengah masyarakat.

”Dulu, tak ada orang yang peduli bagaimana kelestarian seni guritan, termasuk saya yang puas sebagai juara dan dipanggil di mana-mana. Sampai saya berpikir harus ada yang menggantikan orang-orang terdahulu yang membawakan guritan,” ujar Arman yang juga pengurus adat Besemah, Pagar Alam.

Dia mulai sibuk memenuhi undangan pertunjukan secara komersial pada 2003. Arman semakin menyadari sulitnya menemukan penerus guritan, apalagi mempertahankan kesenian tersebut.

Perkembangan industri musik pop di Tanah Air amat memengaruhi minat generasi muda Pagar Alam untuk menekuni guritan. Awalnya, dia pesimistis bagaimana mengalahkan minat anak-anak muda pada musik pop dengan guritan, yang penembangnya adalah para orang tua.

Hal paling sulit saat mengajarkan kepada anak didik adalah bagaimana mengarang syair yang harus dilakukan spontan, tatkala naik panggung. Syair harus disesuaikan dengan keadaan penonton yang akan mendengarkan tembang itu. Arman masih menyimpan ratusan syair yang ditulis tangan menjelang naik ke panggung.

Menguasai kondisi

Seniman guritan, menurut Arman, harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan kondisi masyarakat. Dengan demikian, ia juga mesti punya waktu menonton televisi, mendengarkan radio, membaca koran, sampai ngobrol di warung kopi.

Ia mencontohkan dengan menembang sekitar satu menit, dengan sesekali menyebut kata ”century”. Seusai menembang ia mengatakan, syair yang dia lantunkan itu bercerita tentang kasus Bank Century yang menggunakan uang negara triliunan rupiah, tetapi tak ada yang bertanggung jawab. Padahal, ada rakyat kecil yang dihukum karena mencuri kaus bekas.

Arman telah memperlihatkan kepiawaian dalam seni yang menuntut penciptaan syair secara spontan, dengan gaya bertuturnya yang mengalir tatkala bicara soal Pagar Alam. Semua pertanyaan tentang kota yang dipagari Bukit Barisan itu, dapat dijawabnya dengan lengkap.

Ia terbiasa bercerita panjang karena syair guritan harus dikarang dengan cepat. ”Biasanya kalau ada undangan untuk tampil, saya baru diberitahu tuan rumah saat di lokasi. Jadi, saya harus sesuaikan syair guritan dengan kebutuhan penonton pas menjelang naik panggung.”

Akan tetapi, membuat syair panjang secara spontan bukan berarti mengabaikan daya tarik dari isi ceritanya. Misalnya, saat dia diminta tampil di panggung pilkada sewaktu Alex Noerdin, yang kini Gubernur Sumsel, berkampanye di Pagar Alam tahun 2008. Penonton yang biasanya ingin dihibur penyanyi dangdut, terpaku pada penampilan Arman dan menuntut tambahan.

”Waktu pilkada, saya diminta panitia tampil tujuh menit saja karena banyak artis. Tetapi, penontonnya mau saya tambah lagi jadi 15 menit,” ujarnya.

Kenangan itu membuat Arman optimistis, warga suku Besemah di Pagar Alam masih antusias mempertahankan kesenian guritan. Itulah yang membuat dia tetap setia berjuang untuk guritan, mewujudkan mimpinya membangun sanggar tempat melatih anak-anak muda.

ARMAN IDRIS

• Lahir: Dusun Tanjung Aro, Pagar Alam, Sumatera Selatan, 1 Juni 1955
• Pendidikan: - SD sampai SMP di Pagar Alam - SMA (kelas satu)
• Istri: Sadmiyana (52)
• Anak: - Lindarti (32) - Ivan (30) - Santi (26) - Andrianus (22)
• Aktivitas: - Sebagai petani dan berkegiatan seni - Seniman seni budaya Kota Pagar Alam
• Organisasi: - Ketua Sanggar Seni Budaya Pagar Alam - Pelestari Budaya Adat

Seni Tutur Besemah yang Nyaris Punah

Seni Tutur Besemah yang Nyaris Punah
Selasa, 9 Maret 2010 | 09:00 WIB

KOMPAS/EDDY HASBY

KOMPAS.com - Perkembangan dunia komunikasi, informasi, dan hiburan membuat sastra tutur sebagai warisan budaya nenek moyang semakin terdesak. Jika tetap dibiarkan tanpa upaya pelestarian yang berarti, media pewarisan nilai dan tradisi masyarakat-masyarakat adat itu terancam punah.

Hal itu juga dialami seni tutur suku Besemah di kawasan Kota Pagar Alam, Kabupaten Lahat, dan Kabupaten Empat Lawang di Sumatera Selatan. Besemah juga disebut Pasemah, istilah warisan Belanda terhadap suku Besemah.

Ketua Lembaga Adat Besemah Haji Akhmad Amran di Pagar Alam, Selasa (16/2) lalu, mengatakan, dari delapan jenis seni tutur Besemah, semua nyaris ditinggalkan, bahkan tidak dikenali lagi oleh warganya.

Seni tutur yang saat ini sedang gencar diperkenalkan kembali adalah guritan. Isi dari guritan biasanya menggambarkan tentang sejarah perjuangan, sanjungan kepada pahlawan, legenda, kisah hidup seseorang, atau cerita rakyat yang diguritkan atau dibawakan dalam bentuk nyanyian. Karena dinyanyikan, cerita-cerita itu menjadi enak didengar.

Salah satu seni tutur yang paling sulit berkembang adalah tangis ayam atau berimbai. Seni ini hanya diungkapkan dalam kondisi kesedihan yang sangat sendu. Jenis ini biasanya dinyanyikan oleh ibu atau nenek pada pagi hari yang teringat kematian anak atau cucunya.

Ratap kesedihan itu terdengar oleh kaum perempuan lain di sekitarnya. Alhasil, ratapan individu itu berkembang menjadi ratapan kolektif yang dinyanyikan secara bersama.

”Tangis ayam paling sulit berkembang karena memang hanya dinyanyikan pada saat tertimpa musibah besar saja. Walau irama lagu tangis ayam sangat mendayu-dayu dan enak didengar, namun karena tujuan dan situasinya sangat tidak mengenakkan, seni ini jarang dituturkan lagi,” tutur Amran.

Betembang

Selain guritan dan tangis ayam, seni tutur Besemah lain yang nyaris hilang adalah betembang, tadut, ngicik panjang, andai-andai, rejung besemah, dan meringit.

Betembang umumnya dinyanyikan orang dengan keras dalam suasana mencekam di hutan untuk mengusir sepi. Nyanyian ini juga dimaksudkan untuk mengusir binatang buas, setidaknya menjauh, dan sebagai petunjuk kepada orang lain di hutan bahwa ada dia di tempat itu.

Tadut adalah seni tutur baru yang masuk setelah Islam masuk ke wilayah dataran Besemah. Ia menjadi sarana penyebaran agama dan dakwah Islam yang efektif karena masyarakat saat itu masih buta huruf.

Adapun ngicik panjang adalah tuturan yang berupa senda gurau berbentuk obrolan panjang dan dilakukan minimal oleh dua orang. Model ini banyak menggunakan bahasa sindiran.

Rejung besemah adalah seni tutur yang mengungkapkan kesedihan, jengkel, putus asa, dan kesusahan. Seni ini mirip dengan tangis ayam, tetapi tingkat kesedihannya tidak semendalam tangis ayam dan lagunya lebih datar dibandingkan dengan tangis ayam yang lebih mendayu-dayu.

Sementara meringit adalah seni tutur ringan yang isinya sekadar mengisi kekosongan semata. Bentuk tuturan ini juga bisa dinyanyikan sambil bekerja dengan ungkapan bebas. Seni tutur ini juga dapat dibawakan tanpa perlu ada orang yang mendengarkannya.

Dari seluruh bentuk seni tutur Besemah tersebut, hanya ngicik panjang, andai-andai, dan meringit yang dibawakan tanpa lagu.

Penurunan penggunaan seni tutur Besemah dimulai sejak invasi Jepang ke Pagar Alam tahun 1943. Berbagai seni tradisi, termasuk seni tutur, tertekan karena banyak pekerja seni yang tewas atau menjadi romusa. Alat-alat kesenian mereka, baik alat musik maupun pakaian, banyak yang dijual karena impitan ekonomi yang parah saat itu.

Hilangnya pekerja seni membuat lambat laun berbagai seni tradisi itu sulit diteruskan dan menghilang.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, kata Amran, kondisi seni tradisi Pagar Alam makin terpuruk. Pagar Alam, yang ketika itu menjadi bagian dari Kabupaten Lahat, membuat seni tradisi kota tersebut tergencet oleh seni tradisi Lahat.

Setelah Pagar Alam menjadi kota otonom tahun 2001, kesadaran untuk melestarikan berbagai seni tradisi itu muncul kembali. Namun, untuk menghidupkannya kembali bukan perkara mudah.

Arman Idris, pengajar seni guritan di sejumlah sekolah di Pagar Alam, mengatakan, rata-rata seni menjadi pekerjaan sampingan bagi pekerja seni di daerah tersebut. Pekerjaan utama mereka adalah menjadi petani, khususnya kopi.

Untuk fokus pada pengembangan seni jelas tidak mungkin karena memang pekerjaan seni belum bisa menghasilkan. Ditambah lagi, tidak ada tunjangan apa pun dari pemerintah setempat bagi mereka.

Untuk melestarikan seni tutur Besemah, khususnya guritan, Arman memperkenalkannya kepada anak-anak sekolah di Pagar Alam dalam bentuk pelajaran tambahan dan pembentukan sanggar-sanggar seni. Kini, secara perlahan, guritan mulai banyak dilakukan anak-anak muda Pagar Alam walau masih terbatas. Namun, langkah itu setidaknya dapat menyelamatkan salah satu jenis seni tutur Besemah. (Zaid Wahyudi/Buyung Wijaya Kusuma)

Rumah Baghi Besemah

Rumah Baghi Besemah: Rumah Berukir Falsafah Hidup

Rumah baghi besemah yang berusia ratusan tahun di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, hingga saat ini masih bertahan karena menggunakan material kayu yang kuat.
Jumat, 12/3/2010

KOMPAS.com - Berkunjung ke Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, belum lengkap jika tidak menyinggahi salah satu rumah tradisional (baghi) suku Besemah. Selain desain arsitektur yang menarik, fisik bangunan yang usianya ratusan tahun itu mengundang kekaguman bagaimana rumah tersebut dibangun.

Hal itu terutama bila melihat 15 buah tiang kayu penyangga bangunan berukuran 30 sentimeter x 30 sentimeter, enam tiang penyangga teras rumah berbentuk bulat dengan diameter sekitar 60 sentimeter, dan papan kayu rumah dengan ketebalan sekitar 5 sentimeter. Kita pasti akan bertanya-tanya, bagaimana orang-orang pada masa lalu mengangkut kayu-kayu raksasa tersebut dari dalam hutan.

Oleh karena itu, tak salah jika Pemerintah Kota Pagar Alam memasukkan rumah-rumah tradisional Besemah sebagai obyek wisata, selain benda-benda megalitikum dan wisata alam Gunung Dempo. Jumlah baghi besemah memang tidak banyak karena hanya orang-orang yang memiliki strata sosial tinggi dan punya banyak uang yang mampu membangun rumah tersebut.

”Biaya ukir rumah bisa mencapai sepertiga dari biaya total pembangunan rumah,” kata pemilik baghi besemah, Musa Akib (69), di Kelurahan Pagar Wangi, Dempo Utara, Pagar Alam.

Mengenai bagaimana kayu dikumpulkan, Musa mengatakan kisah pembangunan rumahnya mengandung cerita mistis. Konon saat rumah akan dibangun, warga di sekitarnya dilarang keluar rumah pada malam hari karena akan ada pengiriman kayu. Setelah itu, keesokan paginya, kayu-kayu tiang yang dibutuhkan sudah ada di lahan pembangunan rumah.

Musa adalah generasi kelima pemilik baghi tersebut. Rumah yang terletak di tengah sawah itu diperkirakan berumur lebih dari 200 tahun. Namun, rumah yang sudah tak dihuni itu masih terlihat kokoh. Warna hitam kayu juga terlihat masih baru dan alami, tanpa dicat. Dulu, atap rumah terbuat dari daun ijuk.

Bagian dalam rumah baghi tidak memiliki sekat sama sekali. Bagian inti rumah berukuran 8 meter x 8 meter. Ruang ini berfungsi sebagai ruang keluarga, ruang tidur, sekaligus tempat menerima tamu.

Ukiran

Ketua Lembaga Adat Besemah Haji Akhmad Amran mengatakan, rumah baghi yang diukir disebut sebagai rumah tatahan (ukiran), sementara rumah yang tak diukir disebut rumah gilapan. Kualitas kayu rumah yang diukir juga jauh lebih baik dibandingkan dengan rumah yang tak memiliki ukiran.

”Bentuk kedua rumah itu sama. Hanya ada tidaknya ukiran yang membedakan karena keberadaan ukiran merupakan cerminan status sosial pemilik rumah yang tinggi,” katanya.

Dalam motif ukiran juga terkandung doa dan harapan. Motif bunga dalam posisi vertikal merupakan pengharapan bahwa rezeki pemilik rumah akan terus naik. Sementara motif bunga horizontal menjadi perlambang persatuan dan gotong royong.

Motif ukir lain yang unik adalah bubulan yang berbentuk lingkaran. Motif ukir yang biasanya terletak di dinding samping rumah itu merupakan simbol persatuan yang kuat di antara sesama penghuni rumah. Bagian tengah bubulan umumnya terdapat lubang yang digunakan sebagai tempat mengintip penghuni rumah terhadap kondisi dan suasana di luar rumah.

Musa mengaku, sejumlah orang telah menawar untuk membeli rumahnya, tetapi dia tidak akan pernah tertarik berapa pun harga yang ditawarkan. Sikap Musa mewakili banyak orang Pagar Alam yang menganggap tempat tinggal sebagai tempat bersatunya keluarga untuk tumbuh lebih maju, seperti falsafah hidup dari setiap ukiran yang ada di dinding baghi besemah. (Wisnu Aji Dewabrata/M Zaid Wahyudi/Buyung Wijaya Kusuma/KOMPAS Cetak)

Besemah, Tanah Para Leluhur





KOMPAS/EDDY HASBY
Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti sedang mengamati kompleks megalitik di Desa Gunung Megang, Kecamatan Gunung Megang, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, Rabu (17/2).
TANAH AIR
Besemah, Tanah Para Leluhur

Sabtu, 6 Maret 2010

Wisnu Aji Dewabrata dan buyung Wijaya Kusuma

Yopi, petani kopi dari Desa Talang Pagar Agung, Kecamatan Pajar Bulan, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, tak pernah menyangka kalau di bawah kebun kopi yang setiap hari dilaluinya terdapat peninggalan megalitik berupa bilik batu. Dua bilik batu yang letaknya bersebelahan itu ditemukan pada Desember tahun 2009.

”Pemilik kebun ini Pak Lukman. Suatu hari dia bermimpi kalau di bawah batu besar di kebunnya ada sesuatu. Pak Lukman mengikuti perintah mimpinya dan menemukan dua bilik batu ini,” kata Yopi, pekan terakhir Februari lalu.

Menemukan peninggalan megalitik melalui mimpi adalah cerita yang umum di masyarakat. Apa pun cerita yang beredar dari mulut ke mulut, kenyataannya memang banyak penemuan peninggalan megalitik di Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam. Peninggalan megalitik Besemah berwujud bilik batu, batu berlubang (lumpang), arca, batu tegak, dan dolmen.

Wilayah Lahat dan Pagaralam adalah bagian dari Pegunungan Bukit Barisan di pantai barat Sumatera. Kedua kawasan itu sampai ke sebagian wilayah Bengkulu disebut sebagai kawasan Besemah (Pasemah). Besemah merupakan daerah pegunungan subur untuk pertanian sehingga tak heran bila kawasan itu menjadi pusat permukiman sejak ribuan tahun lalu.

Peninggalan megalitik Besemah mulai diteliti tahun 1930-1931 oleh Van der Hoop dari Belanda. Buku karya Van der Hoop berjudul Megalithic Remains in South Sumatera (1932) merupakan buku babon yang mengulas megalitik Besemah secara lengkap.

Tujuh bilik

Lebih dari 50 tahun setelah Van der Hoop menulis bukunya, pada tahun 1988 ditemukan lagi tujuh bilik batu di Desa Kotaraya Lembak, Kecamatan Pajar Bulan, Kabupaten Lahat. Tujuh bilik batu itu tersembunyi di bawah tanah di antara rimbunnya kebun kopi. Penemuan tujuh bilik batu merupakan penemuan peninggalan megalitik terbesar di kawasan Besemah dari segi jumlah.

Di dalam salah satu bilik batu, sampai saat ini masih bisa dilihat lukisan berbentuk kepala naga. Lukisan tersebut dibuat di atas batu dengan menggunakan warna merah dan putih.

Penemuan peninggalan megalitik terbaru adalah dua bilik batu di Desa Talang Pagar Agung pada Desember 2009. Ukuran ruangan di dalam kedua bilik batu sekitar 2 x 1,5 meter dengan ketinggian 1,8 meter. Penemuan itu istimewa karena di dalam bilik batu ditemukan arca kepala manusia setinggi 30 sentimeter.

Di Desa Pulaupanggung, Kabupaten Lahat, pada 2009 juga ditemukan sebuah lumpang batu yang terkubur di kedalaman satu meter di tengah kebun kopi. Lumpang tersebut diukir berbentuk ular yang sedang menelan anak kecil. Warga yang menemukan lumpang batu itu juga mengaku mendapat mimpi sebelum menggali tanah.

Lokasi penemuan lumpang batu tidak jauh dari lokasi tiga arca megalitik berbentuk manusia yang sudah diteliti oleh Van der Hoop. Untuk mencegah kerusakan, warga memasang pagar bambu di sekeliling situs.

Di dinding bilik batu Talang Pagar Agung, terdapat lukisan berbentuk lingkaran, lukisan tangan manusia, dan lukisan seekor binatang mirip kadal. Di bagian atapnya ada lukisan berbentuk pola anyaman.

Ayu Kusumawati dan Haris Sukendar dalam buku Megalitik Bumi Pasemah Peranan Serta Fungsinya menyebut, di kawasan Besemah terdapat sedikitnya 20 lokasi peninggalan megalitik. Tersebar di areal seluas 80 kilometer persegi. Nama-nama daerah tempat peninggalan megalitik adalah Tinggihari, Tanjungsirih, Pulaupinang, Lubukbuntak, Pulaupanggung, Air Puar, Tebing tinggi, Geramat, Mingkil, Nanding, Tebatsibentur, Tanjung Arau, Tegur Wangi, Belumai, Kotaraya Lembak, Muaradua, Bandaraji, Gunungkaya, Muara Tebu, dan Pagaralam.

Banyaknya peninggalan megalitik di Besemah adalah suatu petunjuk bahwa kawasan itu telah dihuni manusia setidaknya sejak 2.500 tahun sebelum Masehi. Pahatan detail dan halus berarti masyarakat Besemah saat itu sudah mengenal logam.

Peneliti Balai Arkeologi Palembang, Kristantina Indriastuti, berpendapat, bilik batu ataupun arca di Besemah dibangun untuk tujuan religius. Di dalam tanah itulah mereka melakukan ritual. Bentuk arca manusia, seperti di situs Tegurwangi dan situs Pulaupanggung, menurut Kristantina, adalah khas Besemah. Cirinya, bentuk manusia yang digambarkan dalam arca bertubuh tambun, bibir tebal, dan hidung pesek.

Arca-arca megalitik Besemah dibuat dengan alat semacam pahat dari logam. Jelaslah bahwa peninggalan megalitik Besemah eksis pada masa perundagian atau lebih kurang 2.500 tahun sebelum Masehi. ”Bentuk manusia dalam arca Besemah adalah figur manusia yang hidup di Besemah pada masa itu. Figur arca itu bukan menggambarkan wujud para dewa atau nenek moyang,” kata Kristantina.

Ia berpendapat, masyarakat Besemah yang menciptakan arca dan bilik batu adalah penduduk asli, bukan pendatang dari luar Sumatera. Cikal bakal manusia yang hidup di Besemah kemungkinan berasal dari manusia goa yang hidup 5.000-9.000 tahun sebelum Masehi. Bekas-bekas kehidupan manusia goa ditemukan di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumsel. Jadi, kebudayaan manusia goa jauh lebih tua dari kebudayaan manusia Besemah.

Kuat dugaan bahwa masyarakat Besemah yang menciptakan bilik batu dan arca batu itu tidak pernah berpindah tempat. Dataran rendah Sumsel baru berkembang setelah masuknya pengaruh Kerajaan Sriwijaya pada abad VII Masehi dan masuknya pengaruh Islam.

(M Zaid Wahyudi)


A A A