13 Maret 2010

Muhammad Saman Loear, Guritan of Raden Suane

GURITAN OF RADEN SUANE

Pesona Kata dari Besemah
Industri hiburan menyerbunya hingga sekarat. Seorang pakar Amerika tertarik menerjemahkannya.
Kalau kami di Pagar Alam,
televisi terang siang dan malam,
tapi rasa di hati masih kasihan,
rakyat di Jarai belum kebagian,
gambarnya masih 'ndak karuan,
padahal perlu pemerataan,
tolonglah disaksikan,
oleh Bapak Menteri Penerangan

MENIKMATI lantunan guritan oleh M. Saman Loear itu, Presiden Soeharto serta sejumlah menteri tertawa dan bertepuk tangan. Sastra lisan yang disindirkan di depan Pak Harto dan rombongan yang berkunjung ke Muara Enim, Sumatera Selatan, Mei 1991, itu menggelitik hati. Lucu, tapi tanpa membuat kuping merah.

Kini kekayaan seni suku Besemah dari Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, itu tampil pula dalam Festival Sriwijaya di Palembang, 6-20 Juni. Seperti halnya hikayat Betawi, didong Aceh, takna' lawe' Dayak, wor Irian Jaya, ataupun gegur itan Jawa, guritan adalah seni bertutur berbentuk prosa liris dengan langgam yang purba tapi menarik.

Tapi ketika ekses pembangunan datang, sastra lisan pun sekarat diserbu beragam industri hiburan. Kehadiran guritan di Festival Sriwijaya pun -jika mau jujur- tak lebih dari sekadar sebuah seremoni kenangan. "Pada suku Besemah pun tak lagi bergaung," kata Saman, penggurit berusia 67 tahun, kepada Budi Pristiwanto dari Gatra. Ican, seorang dara Lahat, malah berkata, "Oh, guritan, saya pernah mendengar kata itu, tapi tak tahu seperti apa."

Guritan pernah populer saat selepas panen, atau kala kenduri pernikahan atau ketika purnama menerangi jagat Besemah pada abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20. Ada yang berupa ajaran moral, nasihat, adat, perjuangan, kepahlawanan, dan kisah kerajaan masa silam -berbeda dengan guritan berbahasa Indonesia yang dimodifikasi Saman tadi. Ceritanya pun panjang sehingga menghabiskan waktu dari usai magrib sampai lewat tengah malam.

Dulu pertunjukan dilakukan penggurit sembari duduk bersila, dengan tangan berlipat di atas sambang -alat dari bambu kering berdiameter 9 sentimeter sepanjang dua jengkal. Alat itu dilubangi persis di depan mulut penggurit agar suaranya bisa bergaung. Bagai seni suara murni, penggurit mengolah suaranya demi memuaskan indra pendengaran penonton. Meskipun tengah melukiskan suasana gemas atau kecut, laku fisik dan ekspresi wajah penggurit datar saja.

Modal penggurit adalah napas panjang dan kelancaran bertutur. Warna suaranya yang monoton sesungguhnya melodius, dan bergema bagaikan perpaduan membaca mantra, senandung, dan gumam. Teramat penting adalah teknik mengatur suara dan napas dalam melantunkan bait-bait cerita yang panjang. Bayangka n jika setiap bait bisa terdiri dari 10 hingga 20 baris, sedangkan setiap baris terdiri dari 3 hingga 6 kata.

Jika kira-kira napas tak sampai, maka bait tersebut diakhiri dengan ucapan ai bak titik atau koma dalam tulisan. Tapi kata ai itu tak diucapkan saat napas tersengal-sengal. Penggurit ulung memakainya kala napas hanya cukup untuk satu baris lagi -itu pun tidak pada posisi cerita di "tengah jalan". "Agar plot kisah tak terputus tak keruan," kata Saman Loear.

Amir Hamzah, anggota DPRD Lahat, masih terkenang betapa guritan bisa menghanyutkan perasaan pendengar. Gaek berusia 74 tahun ini masih teringat pada sebuah cerita sedih, yang bisa membuat mata penonton sembab. Jika ada perseteruan, lalu tokoh putih dikalahkan tokoh hitam, penonton bisa gemas. "Tanpa disadari, tangan kita bisa meninju lantai," kata Amir. Cerita lucu membuat orang terkekeh-kekeh pula.

Kekuatan guritan adalah pada pembacaannya. Syairnya mungkin bisa menjemukan -bahkan juga bagi komuni tas Besemah masa kini- karena logat dan semantiknya datang dari ruang dan waktu yang jauh di masa lalu. Tetapi kita boleh bertanya: kenapa teks-teks guritan dari mulut penggurit bisa bertenaga, dan bahkan mempesona pendengarnya di masa lampau?

Realitas pada masa silam itu agaknya bisa menjadi ufuk bagi para penyair, atau pembaca cerita pendek dan bahkan penulis dialog sinetron, agar kata-katanya bisa pula kuat meyakinkan pendengar. Boleh pula menjadi referensi bagi pejabat yang berpidato, teks iklan di televisi, atau tulisan di pelbagai media cetak, agar tak lagi hambar dan kehilangan daya pikat.

Mungkin karena pesona guritan itulah Saman dan antropolog William Collins Ph.D, dari University of California, Los Angeles, Amerika Serikat, mentranskripsikan satu naskah guritan bertajuk Raden Suane Tanjung Larang setebal 442 halaman ke dalam bahasa Besemah dan Inggris pada 1990. Orang asing jauh-jauh datang menengoknya, sementara kita baru mengundangnya ke sebuah festival, yang semoga tak "hura-hura" belaka.


Nomor 30/III, 14 Juni 1997
www.gatra.com

Tidak ada komentar: