16 April 2009

Bahaya Menyekutukan Allah

Definisi syirik adalah lawan kata dari tauhid, yaitu sikap menyekutukan Allah secara dzat, sifat, perbuatan, dan ibadah. Adapun syirik secara dzat adalah dengan meyakini bahwa dzat Allah seperti dzat makhlukNya. Akidah ini dianut oleh kelompok mujassimah. Syirik secara sifat artinya seseorang meyakini bahwa sifat-sifat makhluk sama dengan sifat-sifat Allah. Dengan kata lain, mahluk mempunyai sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah. Tidak ada bedanya sama sekali.

Sedangkan syirik secara perbuatan artinya seseorang meyakini bahwa makhluk mengatur alam semesta dan rezeki manusia seperti yang telah diperbuat Allah selama ini. Sedangkan syirik secara ibadah artinya seseorang menyembah selain Allah dan mengagungkannya seperti mengagungkan Allah serta mencintainya seperti mencintai Allah. Syrik-syirik dalam pengertian tersebut, secara eksplisit maupun implisit, telah ditolak oleh Islam. Karenanya, seorang muslim harus benar-benar berhat-hati dan menghindar jauh-jauh dari syirik-syirik seperti yang telah diterangkan di atas.

Contoh bentuk-bentuk syirik ada banyak. Di antaranya, pertama, menyembah patung atau berhala (al-ashnaam). Allah swt. menyebutnya dalam ayat berikut ini.

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. [QS. Al Hajj (22): 30]

Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, “Wahai Bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” [QS. Maryam (19): 42]

Menyembah matahari adalah bentuk syirik yang kedua. Allah menolak orang-orang yang menyebah matahari, bulan, dan atau bintang.

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. [QS. Al A'raaf (7): 54]

“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”. [QS. Fushshilat (41): 37]

Bentuk syirik yang ketiga adalah menyembah malaikat dan jin.

Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan) bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. [QS. Al An'aam (6): 100]

“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat, “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikat itu menjawab, “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka. Bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.”. [QS. Saba' (34): 40-41]

Bentuk syirik keempat adalah menyembah para nabi, seperti Nabi Isa a.s. yang disembah kaum Nasrani dan Uzair yang disembah kaum Yahudi. Keduanya sama-sama dianggap anak Allah.

Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putera Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al masih itu putera Allah.” Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah (9): 30]

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam.” Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. [QS. Al-Maidah (5): 72]

Bentuk syirik yang kelima adalah menyembah rahib atau pendeta. Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Adi bin Hatim r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai hal tersebut, seraya berkata, “Sebenarnya mereka tidak menyembah pendeta atau rahib mereka.” Rasululah saw. menjawab, “Benar, tetapi para rahib atau pendeta itu telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, sementara mereka mengikutinya. Bukankah itu tindak penyembahan terhadap mereka?”

Bentuk syirik yang keenam, menyembah Thaghuut. Istilah thaghuut diambil dari kata thughyaan artinya melampaui batas. Maksudnya, segala sesuatu yang disembah selain Allah. Setiap seruan para rasul intinya adalah mengajak kepada tauhid dan menjauhi thaghuut. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” [QS. An-Nahl (16): 36].

Dan tauhid yang murni tidak akan bisa dicapai tanpa menghindar dari menyembah thaghuut. Allah berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thaghuut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al-Baqarah (2): 256]

Allah bangga dengan orang-orang beriman yang menjauhi thaghuut. “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku.” [QS. Az-Zumar (39): 17]

Bentuk syirik yang ketujuh adalah menyembah hawa nafsu. Hawa nafsu adalah kecendrungan untuk melakukan keburukan. Seseorang yang menuhankan hawa nafsu, mengutamakan keinginan nafsunya di atas cintanya kepada Allah. Dengan demikian ia telah mentaati hawa nafsunya dan menyembahnya. Allah berfirman, “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” [QS. Al-Furqaan (25): 43]

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” [QS. Al-Jatsiyah (45): 23]

Macam-macam Syirik

Ada dua macam syirik, yaitu syirik besar dan syirik kecil. Masing-masing dari kedua macam ini mempunyai dua dimesi: zhahir (tampak) dan khafiy (tersembunyi).

Syirik besar (asy-syirkul akbar) adalah tindakan menyekutukan Allah dengan makhlukNya. Dikatakan syirik besar karena pelakunya tidak akan diampuni dosanya dan tidak akan masuk surga. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia; dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [QS. An-Nisaa' (4): 116]

Syirik besar ini dibagi dua dimensi: zhahir dan kafiy. Contoh syirik besat yang zhahir adalah seperti menyembah bintang, matahari, bulan, patung-patung, batu-batu, pohon-pohon besar, dan manusia (seperti menyembah Fir’un, raja-raja, Budha, Isa bin Maryam, malaikat, jin dan Setan). Sementara yang khafiy bisa dicontohkan seperti meminta kepada orang-orang yang sudah mati dengan keyakinan bahwa mereka bisa memenuhi apa yang mereka yakini, atau menjadikan seseorang sebagai pembuat hukum, menghalalkan dan mengharamkan seperti yang seharusnya menjadi hak Allah swt.

Adapun syirik kecil (asy-syirkul ashghar) adalah suatu tindakan yang mengarah kepada syirik, tetapi belum sampai ke tingkat keluar dari tauhid, hanya saja mengurangi kemurniannya. Syirik kecil juga dua dimensi: dzahir dan khafiy. Yang zhahir bisa berupa lafal (pernyataan) dan perbuatan.

Contoh yang berupa lafal adalah bersumpah dengan nama selain Allah dan mengarah ke syirik seperti “demi Nabi, demi Ka’bah, demi kakek dan nenek.” Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda, “Man halafa bighairillahi faqad kafara wa asyraka (siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka ia kafir dan musyrik).” (HR. Turmidzi nomor 1535). Termasuk lafal yang mengarah ke syirik pernyataan, “Kalau tidak karena Allah dan si fulan niscaya ini tidak akan terjadi.” Contoh yang lain adalah memberikan nama anak dengan Abdul Ka’bah dan lain sebagainya.

Adapun contoh syirik kecil zhahir yang berupa perbuatan seperti mengalungkan jimat dengan keyakinan bahwa itu bisa menyelamatkan dari mara bahaya.

Syirik kecil yang khafiy biasanya berupa niat atau keinginan, seperti riya’ dan sum’ah. Yaitu melakukan tindak ketaatan kepada Allah dengan niat ingin dipuji orang. Seperti menegakkan shalat dengan tampak khusyu’ karena sedang di samping calon mertua. Seseorang berbuat seperti itu dengan harapan supaya dipuji sebagai orang shalih. Padahal di saat sendirian, shalatnya tidak demikian. Riya’ adalah termasuk dosa hati yang sangat berbahaya. Karena itu, Islam sangat memperhatikan sebab perbuatan hati adalah faktor yang menentukan bagi baik tidaknya perbuatan zhahir.

Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [QS. Al-Baqarah (2): 264]

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda, “Man samma’a sammallahu bihii, waman yaraa’ii yaraaillahu bihii (siapa yang menampakkan amalnya dengan maksud riya’ Allah akan menyingkapnya di hari Kiamat, dan siapa yang menunjukkan amal shalihnya dengan maksud ingin dipuji orang, Allah mengeluarkan rahasia tersebut di hari Kiamat).” (HR. Bukhari 11/288 dan Muslim nomor 2987)

Bahaya-bahaya Syirik

Perbuatan syirik sangat berbahaya. Berikut ini beberapa bahaya yang akan menimpa orang-orang pelaku syirik.

Pertama, syirik adalah kezhaliman yang nyata. Allah berfirman, “Innasy syirka ladzlumun adziim (sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar).” [QS. Luqman (31): 13]. Mengapa disebut kezhaliman yang besar? Sebab dengan berbuat syirik seseorang telah menjadikan dirinya sebagai hamba makhluk yang sama dengan dirinya yang tidak berdaya apa-apa.

Kedua, syirik merupakan sumber khurafat. Sebab, orang-orang yang meyakini bahwa selain Allah –seperti bintang, matahari, kayu besar dan lain sebagainya– bisa memberikan manfaat atau bahaya, berarti ia telah siap melakukan segala khurafat dengan mendatangi para dukun, kuburan-kuburan angker, dan mengalungkan jimat di lehernya.

Ketiga, syirik adalah sumber ketakutan dan kesengsaraan. Allah berfirman, “Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zhalim.” [QS. Ali Imran (3): 151]

Keempat, syirik merendahkan derajat kemanusiaan si pelakunya. Allah berfirman, “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” [QS. Al-Hajj (22): 31]

Kelima, syirik menghancurkan kecerdasan manusia. Allah berfirman, “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan. Dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa`at kepada kami di sisi Allah.’ Katakanlah, ‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?’ Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).” [QS. Yunus (10): 18]

Keenam, di akhirat nanti orang-orang musyrik tidak akan mendapatkan ampunan Allah dan akan masuk neraka selama-lamanya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [QS. An-Nisaa' (4): 116]

Allah juga berfirman, “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” [QS. Al-Maidah (5): 72]

Sebab-sebab Syirik

Ada tiga sebab fundamental munculnya prilaku syirik, yaitu al-jahlu (kebodohan), dha’ful iiman (lemahnya iman), dan taqliid (ikut-ikutan secara membabi-buta).

Al-jahlu sebab pertama perbuatan syirik. Karenanya masyarakat sebelum datangnya Islam disebut dengan masyarakat jahiliyah. Sebab, mereka tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dalam kondisi yang penuh dengan kebodohan itu, orang-orang cendrung berbuat syirik. Karenanya semakin jahiliyah suatu kaum, bisa dipastikan kecendrungan berbuat syirik semakin kuat. Dan biasanya di tengah masyarakat jahiliyah para dukun selalu menjadi rujukan utama. Mengapa? Sebab mereka bodoh, dan dengan kobodohannya mereka tidak tahu bagaimana seharusnya mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi. Ujung-ujungnya para dukun sebagai narasumber yang sangat mereka agungkan.

Penyebab kedua perbuatan syirik adalah dha’ful iimaan (lemahnya iman). Seorang yang imannya lemah cendrung berbuat maksiat. Sebab, rasa takut kepada Allah tidak kuat. Lemahnya rasa takut kepada Allah ini akan dimanfaatkan oleh hawa nafsu untuk menguasai diri seseorang. Ketika seseorang dibimbing oleh hawa nafsunya, maka tidak mustahil ia akan jatuh ke dalam perbuatan-perbuatan syirik seperti memohon kepada pohonan besar karena ingin segera kaya, datang ke kuburan para wali untuk minta pertolongan agar ia dipilih jadi presiden, atau selalu merujuk kepada para dukun untuk suapaya penampilannya tetap memikat hati orang banyak.

Taqliid sebab yang ketiga. Al-Qur’an selalu menggambarkan bahwa orang-orang yang menyekutukan Allah selalu memberi alasan mereka melakukan itu karena mengikuti jejak nenek moyang mereka. Allah berfirman, “Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, ‘Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.’ Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” [QS. Al-A'raf (7): 28]

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” [QS. Al-Baqarah (2): 170]

Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” [QS. Al-Maidah (5): 104]

Diambil dari : dakwatuna.com

Mengenang Buya Prof. Dr. Hamka

24/4/2008 | 16 Rabbi al-Thanni 1429 H | Hits: 1.968

Pejuang Tauhid “Waratsatul Anbiya’”

dakwatuna.com - “Ayah hanya takut tidak bisa jawab pertanyaan Munkar Nakir!” Inilah jawaban tegas seorang ayah atas pertanyaan putra kesayangannya mengenai soal keengganannya untuk melakukan seikere (membungkuk ke arah matahari) atas perintah tentara Jepang. Sang ayah adalah tokoh pergerakan dan ulama Minangkabau, Haji Karim Amrullah, yang biasa dikenal dengan sebutan ‘Haji Rasul’.

Terhitung sudah puluhan tahun kenangan pahit itu berlalu. Namun rasa itu seakan masih membekas. Saat tubuh-tubuh kurus kering tanpa alas kaki dibariskan. Saat sengatan matahari pagi membaluri punggung-punggung tanpa pakaian itu. Tak ada sarapan pagi, tak ada ulam dan roti, yang ada hanya caci maki dan cemeti.

Begitulah ritual pagi setiap hari di jaman Jepang, mereka diperintahkan untuk berdiri menghadap ke timur –menghormati dewa matahari– membungkuk untuk menghormati kaisar dan kembali berdiri tegak untuk dijemur di bawah terik matahari. Perintahnya adalah “Kiotskay!” (perhatian), “Kiray!” (membungkuk memberi hormat), “Nowray!” (berdiri tegak).

Masa penjajahan Jepang walaupun tidak berlangsung lama namun membawa akibat penderitaan yang cukup memprihatinkan, seluruh rakyat hidup dalam kondisi kurang pangan dan sandang disertai dengan perlakuan kasar dari bala tentara Jepang terhadap rakyat dengan tidak manusiawi.

Inilah masa paling getir sepanjang perjalanan bangsa ini. Hawa penderitaan ini berembus ke seluruh pelosok tanah air tercinta. Tidak ada bahan-bahan untuk dijadikan pakaian dan makanan. Maka mulailah orang menjadi primitif dengan memakai kain tarok (kain kulit kayu) kulit yang sudah dikupas dari pohonnya dipukul sampai setipis-tipisnya lalu digunting untuk dijadikan baju. Bahkan juga ada yang memakai bahan karung goni. Muka dan lutut orang-orang saat itu bengkak (oedem) sedangkan badan kurus kering akibat busung lapar. Nasi harus dicampur dengan jagung (bukan jagung manis) dan dengan ubi kayu yang dipotong kecil-kecil.

Sejarah mencatat peninggalan utama sang penjajah ‘saudara tua’ yang identik untuk masa kuasa Jepang adalah dengan kerja paksa “romusha”. Konon masa ini kondisi warga lebih berdarah-darah daripada masa penjajah sebelumnya. Tidak hanya perih “mendedikasikan” tenaga untuk memenuhi kebutuhan pembangunan pertahanan wilayah dengan menjadi pekerja romusha, menyediakan tubuh untuk pemuas nafsu seksual penjajah -jughunianfu menjadi pilihan yang tidak terelakkan untuk menghindari kematian.

Artinya, penjajah ini memanfaatkan benar situasi infrastruktur sosial ekonomi budaya yang telah dibentuk oleh penguasa sebelumnya. Bahkan meningkatkan frekuensi optimalisasi “sumber-sumber daya tersedia” dalam waktu yang relatif singkat masa pendudukannya.

Cerita perlawanan saat masa pendudukan ini tidak banyak rekamnya. Cukup sulit menemukan perlawanan yang ada, kemungkinan terbesar adalah karena jargon Jepang sebagai ‘Saudara Tua’ yang syarat pengharapan untuk lepas dari belenggu penguasa Belanda telah memperangah seluruh elemen warga. Haji Karim Amrullah, yang juga kondang dengan sebutan ‘Haji Rasul’ itu, tentu saja salah satu pengecualian. Beliau menolak mentah-mentah perintah yang berkonotasi ‘menyembah matahari’ itu. Ia pun sadar sepenuhnya akan risiko atas penyikapannya itu.

Penyikapan seorang yang bertauhid, yang sadar akan hakikat kemerdekaan. Kemerdekaan atau kebebasan adalah inti dari ajaran tauhid. Boleh di bilang, wacana seputar kebebasan hampir diidentikkan dengan hak pembelaan manusia ketika berhadapan dengan sebuah kekuatan yang membelenggunya. Ia seolah tersekat oleh sesuatu yang bersifat profan, privaci dan sekuler. Hampir jarang –jika tidak ingin disebut tidak sama sekali– ia dikaitkan dengan anugerah Sang Pencipta yang sesungguhnya teramat trasenden. Spirit tauhidullah inilah yang telah melahirkan sikap penolakannya terhadap ajakan seikere -khususnya-dan penjajahan itu sendiri, yang dinilainya tidak lain adalah perampasan kemerdekaan yang menjadi fitrah setiap insan.

Pada situasi inilah tauhid yang telah jauh menghujam dalam jiwa telah menemukan relevansinya. Jika tauhid yang kita kenal dengan ungkapan “Tiada tuhan selain Allah”, yang secara teologis sering dijabarkan dengan ungkapan, “tidak ada sesembahan yang sesungguhnya patut disembah, kecuali Allah”. Kalimat ini, sebenarnya memberikan semacam blue print kepada kita tentang makna pembebasan yang hakiki. Pembebasan dari penghambaan atas tuhan-tuhan yang absurd (tidak mutlak), menuju kepada kebenaran mutlak (Tuhan; Allah Swt).

Sebab jika sasaran penghambaan mengalami bias atau terfragmentasi kepada sekian tuhan, maka akan terbayang betapa ekspresi kebebasan manusia semakin sempit dan akhirnya mengalami pemasungan sama sekali. Maka sangatlah tepat jika pada awal kalimat tauhid dimulai dengan lafadz “Lâ Ilâha illa Allah ” yang mengindikasikan pesan “protes” yang keras atas penghambaan kepada segala macam tuhan. Menuju kepada hakekat Tuhan yang memberikan kebebasan tersebut (”I:â Allah”). Hal ini dapat kita telisik melalui al-Qur’an surat Quraisy ayat 4, di mana penggambaran Tuhan di sana sangat jelas sebagai Dzat yang Maha Pembebas dari segala macam bentuk ketakutan, baik ketakutan dari kelaparan, ketiranian, pemasungan hak, kediktatoran, penindasan baik politik ataupun karakter, serta segala bentuk kebobrokan nilai lainnya.

Tampaknya menginternalisasi betul tauhid dalam jiwa Syaikh Haji Rasul ini. Dan semua ini sejalan dengan wejangan dari Al-Ghazali (w. 505 H / 1111 M). Hujjatul Islam itu mengatakan bahwa ulama seharusnya mampu menciptakan jarak dengan penguasa (umara’). Ulama yang baik dan lurus tidak mendatangi para penguasa, pemerintah atau birokrat selama ada celah untuk menghindarinya. Mereka senantiasa memelihara diri dari kemungkinan dampak yang muncul akibat hubungan tersebut.

Al-Ghazali nampaknya memberikan semacam peringatan dini (early warning) tentang betapa sulitnya melepaskan diri dari kepungan kondisi psikis apabila jarak itu tidak sama sekali. Sebab, hal tersebut dapat berpengaruh pada sikap kaum ulama terhadap penguasa.

Inilah sesungguhnya kemandirian sikap seorang ‘ulama. Seperti diketahui, belakangan ini peran ‘ulama sebagai handasah ijtima’yyah -rekayasa social–penggerak ataupun anashir at-taghyiir (agent of change) dalam sebuah perubahan sosial seperti sedang mengalami mati suri. Sebabnya, mungkin zaman sudah berubah tapi sang ‘ulama tak mau beradaptasi. Tetapi amat mungkin jika karakteristik ‘ulama tak seperti dulu lagi. Mereka lebih suka men(di)dekati dengan kekuasaan ketimbang menjadi pelayan umat.

Tak lagi menyuarakan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Padahal melawan para penindas yang rakus sesungguhnya juga amar ma’ruf nahi munkar. Atau menentang birokrat yang rajin memperkaya diri sendiri. Namun, kedua hal ini seperti tak terbukti sekarang ini.

Kita tahu sendiri bahwa tak ada suara lantang ‘ulama menentang cuci tangannya Lapindo Brantas dalam kasus lumpur panas di Sidoarjo. Tak ada fatwa ulama menentang penggusuran di mana-mana. Tak ada pula rekomendasi khusus perdagangan perempuan, termasuk pengiriman TKW kecuali setelah didesak di sana-sini.

Jeritan rakyat yang dipaksa untuk menghentikan penggunaan minyak tanah karena lebih ‘bermanfaat’ jika dijual kepada swasta, nyaris tak terdengar. Yang ada hanya gemuruh dan gegap gempita ceramah ‘ulama di acara-acara seremonial. Atau paling tidak menjadi penceramah di rumah pejabat yang tak ada nuansa dakwahnya sama sekali. Bahkan, sebagiannya kini bak selebritis. Susah dicari dan acapkali mementingkan materi.

Namun Syaikh Haji Rasul telah menunjukkan keyakinannya terhadap nilai ‘akidah’, maka perintah memberi hormat kepada dewa matahari itu tidak dilakukannya. Keteguhan sikap Haji Karim Amrullah itulah yang kemudian oleh putranya Hamka terus diwarisi sepanjang usia. Berkali-kali dalam situasi genting ia berani menyatakan diri menolak hal apa pun yang melanggar nilai dasar agama, meskipun itu berarti membuka lebar pintu penjara.

Syeikh Abdul Karim bin Amrullah-yang dikenal sebagai Haji Rasul-seorang ulama pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Haji Rasul tercatat sebagai orang pribumi pertama yang mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Dialah ayahanda dari Prof. Dr. Hamka.

Syeikh Haji Rasul berayahkan seorang ‘ulama pula yaitu Syeikh Muhammad Amrullah Tuanku Abdullah Saleh. Berarti beliau inilah yang melahirkan dua orang tokoh besar di Nusantara. Seorang adalah anak beliau sendiri, Dr. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah. Dan yang seorang lagi adalah cucu beliau, Syeikh Abdul Malik Karim Amrullah atau nama mesra yang biasa dipanggil orang, ‘Buya Hamka’.

Bila kita telusuri karakter ketiganya, sejak dari kakek (Tuan Kisa-i), ayah (Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah) dan cucu (Buya Hamka) secara global memiliki kesamaan dalam semangat ad-da’wah ilallah.

Walau sebenarnya dalam pemahaman dan langkah-langkah perjuangan mereka terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup kentara. Seperti misalnya Sang Kakek Tuan Kisa-i tetap mengamalkan Thariqat Naqsyabandiyah, pengikut Mazhab Syafie. Pemahaman Islam Tuan Kisa-i kalau sekarang dikelompokkan sebagai kaum tradisonalislah. Karena gerakan tajdid belum tersebar luas.

Anak beliau, Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah, adalah seorang pelopor dan termasuk tokoh besar dalam gerakan tajdidnya Jamaludin Al Afghani. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah menolak amalan Thariqat Naqsyabandiyah, sekaligus menolak doktrin ‘taqlid’, tetapi lebih cenderung kepada pemikiran Syeikh Muhammad Abduh.

Sementara Buya Hamka lebih memilih bersikap moderat. Dalam beberapa tulisan kadang-kadang mengecam ‘Kaum Tua’, kadang-kadang membenarkannya. Demikian halnya dengan ‘Kaum Muda’. Bahkan dalam penilaian tasawuf,

Tuan Kisa-i atau Syeikh Muhammad Amrullah yang lahir pada malam Kamis 6 Rajab 1256 H/4 September 1840 M. Beliau wafat pada 1327 H/1909 M. Nama ayahnya-jadi buyutnya Buya Hamka– adalah Tuanku Abdullah Saleh. Tuanku Abdullah Saleh bergelar ‘Tuanku Syeikh Guguk Katur’ dan bergelar juga ‘Ungku Syeikh Tanjung’. Beliau seorang alim murid Abdullah Arif. Abdullah Arif bergelar juga dengan nama ‘Tuanku Pariaman’ dan ‘Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, IV Koto’.

Buya Hamka menulis, yang didengar dari ayahnya, tentang Tuanku Abdullah Saleh: ‘’Kata ayah saya: ‘Engku Syeikh Suku Tanjung atau Tuanku Guguk Katur itu adalah seorang ulama yang sangat besar perhatiannya kepada Ilmu Tasawuf sehingga kitab Hikam Ibnu ‘Athaillah beliau hafal di luar kepala. Beliau pun seorang cerdik ahli adat, sehingga bukan saja urusan agama yang ditanyakan orang kepada beliau, bahkan juga urusan adat’. Tambah ayahku pula: ‘Pelajaran Imam al-Ghazali tentang khalawat sangat termakan oleh beliau Tuanku Syeikh Guguk Katur atau Engku Suku Tanjung itu. Lantaran itu beliau lebih suka berkhalawat di suraunya di Guguk Katur’.” (Lihat Ayahku cetakan ketiga, Djajamurni, Jakarta, 1963, hlm. 46.)

Buya HamkaSelanjutnya Buya Hamka menulis,”Kepada murid yang soleh inilah tertarik hati gurunya Tuanku Syeikh Pariaman, sehingga setelah anaknya Siti Saerah menjadi gadis remaja, beliau ambillah Tuanku Suku Tanjung itu menjadi menantu.” (Lihat Ayahku, hlm. 46-47.)

Dari petikan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua belah pihak, baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, Syeikh Muhammad Amrullah adalah ulama dan tokoh yang terkenal dalam masyarakat. Kakek beliau, atau ayah ibunya, Abdullah Arif atau ‘Tuanku Pariaman’ atau ‘Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, IV Koto’ adalah salah seorang yang menyebarkan Islam di beberapa tempat di Minangkabau dan merupakan pahlawan yang gigih melawan Belanda dalam Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.

Kalau ditelusuri lebih dalam ada kesinambungan yang kuat pada perjalanan kehidupan para tokoh yang penuh berkah ini. Bagaimana sebuah prinsip, keyakinan dan kesalehan itu dapat bertahan lama dari generasi ke generasi. Bahkan pada tingkat ketokohan yang luas. Pewarisan nilai kesalehan dan kejuangan menjadi arah yang jelas akan perjuangan dakwah di bumi pertiwi ini.

Peralanan hidup seperti inilah yang Rasulullah saw sabdakan, “Apabila Allah menghendaki kebaikan terhadap sebuah keluarga, Allah berikan kepada mereka kepahaman dalam agama, yang muda menghormati yang tua, kasih sayang menjadi anugerah dalam kehidupan mereka, pengeluaran mereka ekonomis dan diberi kemampuan untuk mengetahui aib diri lalu bertaubat dari kesalahan, sebaliknya, jika Allah menghendaki selain itu mereka akan dibiarkan saja.” Daruquthni dari Anas ra.

Banyak orang tidak menyadari kalau anak adalah salah satu pemimpin dan pewaris umat dan bumi yang jadi pijakannya ini. Hanya karena masih tertutup dengan baju anak. Seandainya apa yang ada dibalik bajunya dibukakan kepada kita, niscaya kita akan melihat mereka layak disejajarkan dengan para pemimpin. Akan tetapi, sunnatullah menghendaki agar tabir itu disibak sedikit demi sedikit melalui pendidikan. Namun, tidak semua pendidikan berhasil kecuali dengan strategi matang dan berkelanjutan.

Kita harus mulai dari diri sendiri menggerakkan segenap daya, kekuatan, pengorbanan dan kesiapsediaan menyalakan pelita pencerdasan kehidupan bangsa. Tunas-tunas bangsa harus diselamatkan dalam pembinaan yang benar, agar jangan sampai seperti burung yang tidak bisa terbang karena sayapnya patah duluan oleh terkaman hama lingkungan yang begitu ganas. Perubahan besar lahir dari ideal yang besar. Untuk mencapai tujuan itu dibutuhkan kebersamaan, energi yang besar dan pribadi-pribadi agung nan teguh, tahan banting, berani mengambil resiko serta senantiasa seia-sekata dalam visi dan perjuangan.

“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” Ath-Thuur:21

Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi