16 April 2009

Mengenang Buya Prof. Dr. Hamka

24/4/2008 | 16 Rabbi al-Thanni 1429 H | Hits: 1.968

Pejuang Tauhid “Waratsatul Anbiya’”

dakwatuna.com - “Ayah hanya takut tidak bisa jawab pertanyaan Munkar Nakir!” Inilah jawaban tegas seorang ayah atas pertanyaan putra kesayangannya mengenai soal keengganannya untuk melakukan seikere (membungkuk ke arah matahari) atas perintah tentara Jepang. Sang ayah adalah tokoh pergerakan dan ulama Minangkabau, Haji Karim Amrullah, yang biasa dikenal dengan sebutan ‘Haji Rasul’.

Terhitung sudah puluhan tahun kenangan pahit itu berlalu. Namun rasa itu seakan masih membekas. Saat tubuh-tubuh kurus kering tanpa alas kaki dibariskan. Saat sengatan matahari pagi membaluri punggung-punggung tanpa pakaian itu. Tak ada sarapan pagi, tak ada ulam dan roti, yang ada hanya caci maki dan cemeti.

Begitulah ritual pagi setiap hari di jaman Jepang, mereka diperintahkan untuk berdiri menghadap ke timur –menghormati dewa matahari– membungkuk untuk menghormati kaisar dan kembali berdiri tegak untuk dijemur di bawah terik matahari. Perintahnya adalah “Kiotskay!” (perhatian), “Kiray!” (membungkuk memberi hormat), “Nowray!” (berdiri tegak).

Masa penjajahan Jepang walaupun tidak berlangsung lama namun membawa akibat penderitaan yang cukup memprihatinkan, seluruh rakyat hidup dalam kondisi kurang pangan dan sandang disertai dengan perlakuan kasar dari bala tentara Jepang terhadap rakyat dengan tidak manusiawi.

Inilah masa paling getir sepanjang perjalanan bangsa ini. Hawa penderitaan ini berembus ke seluruh pelosok tanah air tercinta. Tidak ada bahan-bahan untuk dijadikan pakaian dan makanan. Maka mulailah orang menjadi primitif dengan memakai kain tarok (kain kulit kayu) kulit yang sudah dikupas dari pohonnya dipukul sampai setipis-tipisnya lalu digunting untuk dijadikan baju. Bahkan juga ada yang memakai bahan karung goni. Muka dan lutut orang-orang saat itu bengkak (oedem) sedangkan badan kurus kering akibat busung lapar. Nasi harus dicampur dengan jagung (bukan jagung manis) dan dengan ubi kayu yang dipotong kecil-kecil.

Sejarah mencatat peninggalan utama sang penjajah ‘saudara tua’ yang identik untuk masa kuasa Jepang adalah dengan kerja paksa “romusha”. Konon masa ini kondisi warga lebih berdarah-darah daripada masa penjajah sebelumnya. Tidak hanya perih “mendedikasikan” tenaga untuk memenuhi kebutuhan pembangunan pertahanan wilayah dengan menjadi pekerja romusha, menyediakan tubuh untuk pemuas nafsu seksual penjajah -jughunianfu menjadi pilihan yang tidak terelakkan untuk menghindari kematian.

Artinya, penjajah ini memanfaatkan benar situasi infrastruktur sosial ekonomi budaya yang telah dibentuk oleh penguasa sebelumnya. Bahkan meningkatkan frekuensi optimalisasi “sumber-sumber daya tersedia” dalam waktu yang relatif singkat masa pendudukannya.

Cerita perlawanan saat masa pendudukan ini tidak banyak rekamnya. Cukup sulit menemukan perlawanan yang ada, kemungkinan terbesar adalah karena jargon Jepang sebagai ‘Saudara Tua’ yang syarat pengharapan untuk lepas dari belenggu penguasa Belanda telah memperangah seluruh elemen warga. Haji Karim Amrullah, yang juga kondang dengan sebutan ‘Haji Rasul’ itu, tentu saja salah satu pengecualian. Beliau menolak mentah-mentah perintah yang berkonotasi ‘menyembah matahari’ itu. Ia pun sadar sepenuhnya akan risiko atas penyikapannya itu.

Penyikapan seorang yang bertauhid, yang sadar akan hakikat kemerdekaan. Kemerdekaan atau kebebasan adalah inti dari ajaran tauhid. Boleh di bilang, wacana seputar kebebasan hampir diidentikkan dengan hak pembelaan manusia ketika berhadapan dengan sebuah kekuatan yang membelenggunya. Ia seolah tersekat oleh sesuatu yang bersifat profan, privaci dan sekuler. Hampir jarang –jika tidak ingin disebut tidak sama sekali– ia dikaitkan dengan anugerah Sang Pencipta yang sesungguhnya teramat trasenden. Spirit tauhidullah inilah yang telah melahirkan sikap penolakannya terhadap ajakan seikere -khususnya-dan penjajahan itu sendiri, yang dinilainya tidak lain adalah perampasan kemerdekaan yang menjadi fitrah setiap insan.

Pada situasi inilah tauhid yang telah jauh menghujam dalam jiwa telah menemukan relevansinya. Jika tauhid yang kita kenal dengan ungkapan “Tiada tuhan selain Allah”, yang secara teologis sering dijabarkan dengan ungkapan, “tidak ada sesembahan yang sesungguhnya patut disembah, kecuali Allah”. Kalimat ini, sebenarnya memberikan semacam blue print kepada kita tentang makna pembebasan yang hakiki. Pembebasan dari penghambaan atas tuhan-tuhan yang absurd (tidak mutlak), menuju kepada kebenaran mutlak (Tuhan; Allah Swt).

Sebab jika sasaran penghambaan mengalami bias atau terfragmentasi kepada sekian tuhan, maka akan terbayang betapa ekspresi kebebasan manusia semakin sempit dan akhirnya mengalami pemasungan sama sekali. Maka sangatlah tepat jika pada awal kalimat tauhid dimulai dengan lafadz “Lâ Ilâha illa Allah ” yang mengindikasikan pesan “protes” yang keras atas penghambaan kepada segala macam tuhan. Menuju kepada hakekat Tuhan yang memberikan kebebasan tersebut (”I:â Allah”). Hal ini dapat kita telisik melalui al-Qur’an surat Quraisy ayat 4, di mana penggambaran Tuhan di sana sangat jelas sebagai Dzat yang Maha Pembebas dari segala macam bentuk ketakutan, baik ketakutan dari kelaparan, ketiranian, pemasungan hak, kediktatoran, penindasan baik politik ataupun karakter, serta segala bentuk kebobrokan nilai lainnya.

Tampaknya menginternalisasi betul tauhid dalam jiwa Syaikh Haji Rasul ini. Dan semua ini sejalan dengan wejangan dari Al-Ghazali (w. 505 H / 1111 M). Hujjatul Islam itu mengatakan bahwa ulama seharusnya mampu menciptakan jarak dengan penguasa (umara’). Ulama yang baik dan lurus tidak mendatangi para penguasa, pemerintah atau birokrat selama ada celah untuk menghindarinya. Mereka senantiasa memelihara diri dari kemungkinan dampak yang muncul akibat hubungan tersebut.

Al-Ghazali nampaknya memberikan semacam peringatan dini (early warning) tentang betapa sulitnya melepaskan diri dari kepungan kondisi psikis apabila jarak itu tidak sama sekali. Sebab, hal tersebut dapat berpengaruh pada sikap kaum ulama terhadap penguasa.

Inilah sesungguhnya kemandirian sikap seorang ‘ulama. Seperti diketahui, belakangan ini peran ‘ulama sebagai handasah ijtima’yyah -rekayasa social–penggerak ataupun anashir at-taghyiir (agent of change) dalam sebuah perubahan sosial seperti sedang mengalami mati suri. Sebabnya, mungkin zaman sudah berubah tapi sang ‘ulama tak mau beradaptasi. Tetapi amat mungkin jika karakteristik ‘ulama tak seperti dulu lagi. Mereka lebih suka men(di)dekati dengan kekuasaan ketimbang menjadi pelayan umat.

Tak lagi menyuarakan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Padahal melawan para penindas yang rakus sesungguhnya juga amar ma’ruf nahi munkar. Atau menentang birokrat yang rajin memperkaya diri sendiri. Namun, kedua hal ini seperti tak terbukti sekarang ini.

Kita tahu sendiri bahwa tak ada suara lantang ‘ulama menentang cuci tangannya Lapindo Brantas dalam kasus lumpur panas di Sidoarjo. Tak ada fatwa ulama menentang penggusuran di mana-mana. Tak ada pula rekomendasi khusus perdagangan perempuan, termasuk pengiriman TKW kecuali setelah didesak di sana-sini.

Jeritan rakyat yang dipaksa untuk menghentikan penggunaan minyak tanah karena lebih ‘bermanfaat’ jika dijual kepada swasta, nyaris tak terdengar. Yang ada hanya gemuruh dan gegap gempita ceramah ‘ulama di acara-acara seremonial. Atau paling tidak menjadi penceramah di rumah pejabat yang tak ada nuansa dakwahnya sama sekali. Bahkan, sebagiannya kini bak selebritis. Susah dicari dan acapkali mementingkan materi.

Namun Syaikh Haji Rasul telah menunjukkan keyakinannya terhadap nilai ‘akidah’, maka perintah memberi hormat kepada dewa matahari itu tidak dilakukannya. Keteguhan sikap Haji Karim Amrullah itulah yang kemudian oleh putranya Hamka terus diwarisi sepanjang usia. Berkali-kali dalam situasi genting ia berani menyatakan diri menolak hal apa pun yang melanggar nilai dasar agama, meskipun itu berarti membuka lebar pintu penjara.

Syeikh Abdul Karim bin Amrullah-yang dikenal sebagai Haji Rasul-seorang ulama pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Haji Rasul tercatat sebagai orang pribumi pertama yang mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Dialah ayahanda dari Prof. Dr. Hamka.

Syeikh Haji Rasul berayahkan seorang ‘ulama pula yaitu Syeikh Muhammad Amrullah Tuanku Abdullah Saleh. Berarti beliau inilah yang melahirkan dua orang tokoh besar di Nusantara. Seorang adalah anak beliau sendiri, Dr. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah. Dan yang seorang lagi adalah cucu beliau, Syeikh Abdul Malik Karim Amrullah atau nama mesra yang biasa dipanggil orang, ‘Buya Hamka’.

Bila kita telusuri karakter ketiganya, sejak dari kakek (Tuan Kisa-i), ayah (Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah) dan cucu (Buya Hamka) secara global memiliki kesamaan dalam semangat ad-da’wah ilallah.

Walau sebenarnya dalam pemahaman dan langkah-langkah perjuangan mereka terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup kentara. Seperti misalnya Sang Kakek Tuan Kisa-i tetap mengamalkan Thariqat Naqsyabandiyah, pengikut Mazhab Syafie. Pemahaman Islam Tuan Kisa-i kalau sekarang dikelompokkan sebagai kaum tradisonalislah. Karena gerakan tajdid belum tersebar luas.

Anak beliau, Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah, adalah seorang pelopor dan termasuk tokoh besar dalam gerakan tajdidnya Jamaludin Al Afghani. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah menolak amalan Thariqat Naqsyabandiyah, sekaligus menolak doktrin ‘taqlid’, tetapi lebih cenderung kepada pemikiran Syeikh Muhammad Abduh.

Sementara Buya Hamka lebih memilih bersikap moderat. Dalam beberapa tulisan kadang-kadang mengecam ‘Kaum Tua’, kadang-kadang membenarkannya. Demikian halnya dengan ‘Kaum Muda’. Bahkan dalam penilaian tasawuf,

Tuan Kisa-i atau Syeikh Muhammad Amrullah yang lahir pada malam Kamis 6 Rajab 1256 H/4 September 1840 M. Beliau wafat pada 1327 H/1909 M. Nama ayahnya-jadi buyutnya Buya Hamka– adalah Tuanku Abdullah Saleh. Tuanku Abdullah Saleh bergelar ‘Tuanku Syeikh Guguk Katur’ dan bergelar juga ‘Ungku Syeikh Tanjung’. Beliau seorang alim murid Abdullah Arif. Abdullah Arif bergelar juga dengan nama ‘Tuanku Pariaman’ dan ‘Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, IV Koto’.

Buya Hamka menulis, yang didengar dari ayahnya, tentang Tuanku Abdullah Saleh: ‘’Kata ayah saya: ‘Engku Syeikh Suku Tanjung atau Tuanku Guguk Katur itu adalah seorang ulama yang sangat besar perhatiannya kepada Ilmu Tasawuf sehingga kitab Hikam Ibnu ‘Athaillah beliau hafal di luar kepala. Beliau pun seorang cerdik ahli adat, sehingga bukan saja urusan agama yang ditanyakan orang kepada beliau, bahkan juga urusan adat’. Tambah ayahku pula: ‘Pelajaran Imam al-Ghazali tentang khalawat sangat termakan oleh beliau Tuanku Syeikh Guguk Katur atau Engku Suku Tanjung itu. Lantaran itu beliau lebih suka berkhalawat di suraunya di Guguk Katur’.” (Lihat Ayahku cetakan ketiga, Djajamurni, Jakarta, 1963, hlm. 46.)

Buya HamkaSelanjutnya Buya Hamka menulis,”Kepada murid yang soleh inilah tertarik hati gurunya Tuanku Syeikh Pariaman, sehingga setelah anaknya Siti Saerah menjadi gadis remaja, beliau ambillah Tuanku Suku Tanjung itu menjadi menantu.” (Lihat Ayahku, hlm. 46-47.)

Dari petikan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua belah pihak, baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, Syeikh Muhammad Amrullah adalah ulama dan tokoh yang terkenal dalam masyarakat. Kakek beliau, atau ayah ibunya, Abdullah Arif atau ‘Tuanku Pariaman’ atau ‘Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, IV Koto’ adalah salah seorang yang menyebarkan Islam di beberapa tempat di Minangkabau dan merupakan pahlawan yang gigih melawan Belanda dalam Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.

Kalau ditelusuri lebih dalam ada kesinambungan yang kuat pada perjalanan kehidupan para tokoh yang penuh berkah ini. Bagaimana sebuah prinsip, keyakinan dan kesalehan itu dapat bertahan lama dari generasi ke generasi. Bahkan pada tingkat ketokohan yang luas. Pewarisan nilai kesalehan dan kejuangan menjadi arah yang jelas akan perjuangan dakwah di bumi pertiwi ini.

Peralanan hidup seperti inilah yang Rasulullah saw sabdakan, “Apabila Allah menghendaki kebaikan terhadap sebuah keluarga, Allah berikan kepada mereka kepahaman dalam agama, yang muda menghormati yang tua, kasih sayang menjadi anugerah dalam kehidupan mereka, pengeluaran mereka ekonomis dan diberi kemampuan untuk mengetahui aib diri lalu bertaubat dari kesalahan, sebaliknya, jika Allah menghendaki selain itu mereka akan dibiarkan saja.” Daruquthni dari Anas ra.

Banyak orang tidak menyadari kalau anak adalah salah satu pemimpin dan pewaris umat dan bumi yang jadi pijakannya ini. Hanya karena masih tertutup dengan baju anak. Seandainya apa yang ada dibalik bajunya dibukakan kepada kita, niscaya kita akan melihat mereka layak disejajarkan dengan para pemimpin. Akan tetapi, sunnatullah menghendaki agar tabir itu disibak sedikit demi sedikit melalui pendidikan. Namun, tidak semua pendidikan berhasil kecuali dengan strategi matang dan berkelanjutan.

Kita harus mulai dari diri sendiri menggerakkan segenap daya, kekuatan, pengorbanan dan kesiapsediaan menyalakan pelita pencerdasan kehidupan bangsa. Tunas-tunas bangsa harus diselamatkan dalam pembinaan yang benar, agar jangan sampai seperti burung yang tidak bisa terbang karena sayapnya patah duluan oleh terkaman hama lingkungan yang begitu ganas. Perubahan besar lahir dari ideal yang besar. Untuk mencapai tujuan itu dibutuhkan kebersamaan, energi yang besar dan pribadi-pribadi agung nan teguh, tahan banting, berani mengambil resiko serta senantiasa seia-sekata dalam visi dan perjuangan.

“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” Ath-Thuur:21

Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi


Tidak ada komentar: