Sombong karena Ilmu: Juhala’ Mengaku Fuqaha’ |
Di dalam kitab-kitab salaf, terutama dalam studi hadits dan akhlaq, bab yang pertama kali diulas adalah bab ilmu. Ini mengindikasikan urgensi (fadhilah) ilmu dalam Islam. Islam dan segala aspeknya dibangun atas dasar ilmu. Oleh sebab itu, para penganutnya didorong untuk selalu belajar dan mengambil pelajaran. Allah sendiri menegaskan: “Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9) Membangun pribadi dalam Islam adalah membangun semangat keilmuan. Namun seorang penuntut ilmu wajib mempelajari adab dan akhlak telebih dahulu. Tujuannya agar jiwanya ditanamkan etika kepantasan dan batinnya terjaga dari penyakit hati. Bila penuntut ilmu langsung terjun menggeluti halal-haram misalnya tanpa mendalami akhlak, perangainya cenderung keras tak beretika. Itulah sebabnya kenapa para salaf menganjurkan belajar adab dan akhlak sebelum menuntut ilmu tertentu. Begitulah seharusnya. Isilah hati dengan adab, baru mengisi otak dengan ilmu. Orang yang berilmu rentan dihinggapi penyakit sombong apalagi dengki. Dia sombong memandang rendah kemampuan orang lain. Yang bertitel Doktor meremehkan lulusan S2 dan S1. Pejabat Rektor menganggap para dekan dan dosen berkualitas di bawahnya. Bila sudah sombong sudah pasti dengki. Setiap orang pintar dianggap saingan. Bila salah satu rekan mengeluarkan buku baru, dia kaget bagai tersengat listrik. Tak lama kemudian bukunya pun terbit. Alasannya supaya dianggap tidak kalah produktif menulis. Kini prilaku sombong tidak saja menjangkiti para dosen atau guru besar, tetapi juga para mahasiswa. Termasuk sebagian mahasiswa studi Islam. Akibat salah ajaran dan salah baca, mereka jadi sok pinter. Mereka yang ilmunya masih sedikit sudah besar kepala. Membaca Arab gundul saja belum becus sudah merasa master dalam bahasa Arab. Hobbi mereka berdebat tanpa ilmu. Semua hal diperdebatkan dan dikritisi. Masih juhala’ mengaku sudah fuqaha’. Masih payah berlagak ’allamah. Sungguh sayang bila ilmu tidak diimbangi dengan pembersihan jiwa. Ilmu malah jadi benalu, alat kesombongan. Jangan heran, bila mahasiswa sekarang dengan fasih mengeritik Imam Syafi’i atau Imam Al-Ghazali. Tepat sekali apa yang disampaikan Oleh Syaikh Zainuddin Abdul Madjid dalam wasiatnya, Aduh sayang, Pemuda sekarang berlenggak lenggok Berasa diri gagah dan elok Ulama Aulia diolok-olok ”Belum bertaji sudah berkokok” Para mahasiswa itu tidak takut mengucap kata-kata kasar terhadap para ulama salaf. Para sahabat pun tidak jarang dilecehkan kehormatannya. Contoh kasus, mereka mengekor para Orientalis yang meragukan orisionalitas Al-Qur’an dan Al-Hadits. Oleh karena itu mereka sangat mendukung ide ”Dekonstruksi Al-Qur’an” atau ide pembacaan dan penafsiran ulang kitab-kitab klasik. Mereka membeo para orientalis yang menentang segala hal yang absolut. Betapa sangat lucu, mereka mengapresiai kaum Kuffar dengan menghina ulama-ulama Islam. Padahal kaum orientalis itu berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, yang bebas dari kesalahan. Aduh sayang, Baru saja mendapat ijazah Menyangka diri sudah ’allamah Tidak menghirau guru dan ayah ”Mencabik mudah menjahit susah” DR. Adian Husaini, MA merasa miris melihat fenomena ini. ”Semestinya, sebagai orang yang mengaku Muslim, tentu ayat-ayat al-Quran itu menjadi pegangan hidup dan pedoman berpikirnya. Sebab, al-Quran adalah landasan utama keimanan seorang Muslim. Jika tidak mau mengakui kebenaran al-Quran, untuk apa mengaku Muslim! Konsistensi berpikir semacam ini sangat penting, sehingga tidak memunculkan kerancuan dan ketidakjujuran dalam beragama. Bagi kaum Kristen yang percaya Injil, tentu akan menolak al-Quran. Itu sudah normal dan wajar. Aneh, kalau seorang tetap mengaku Kristen, tetapi pada saat yang sama juga mengaku percaya kepada kenabian Muhammad saw dan kebenaran al-Quran.” rilisnya dalam sebuah artikel beliau di Hidayatullah.com Ilmu itu menurut Wahb bin Munabbih bagai air hujan. Ia turun dari langit manis dan suci. Lalu ia dihisap oleh akar-akar banyak pohon hingga berubah sesuai dengan rasa buahnya. Bila pahit, maka akan bertambah pahit. Bila manis, akan semakin manis. Demikian juga ilmu, tergantung motivasi dan perangai orang yang menuntutnya. Orang yang sombong bertambah sombong. Yang tawadhu’ semakin tawadhu’. Ini karena orang yang dulunya bodoh lalu termotivasi oleh kesombongan, ketika memperoleh ilmu, dan ternyata dapat diandalkan sebagai prestisenya, semakin sombonglah ia. Adapun yang berhati-hati dengan ilmunya, ketika ilmunya bertambah dan ia sadar hajatnya pada ilmu telah terpenuhi, ia makin berhati-hati. Mau’izhatul Mukminin 175 Ilmu yang hakiki adalah ilmu yang sejauh mana ia diraih, semakin mendekatkan kepada Allah, bukan malah menjauh. Semakin dalam diteliti, makin dalam pula cintanya pada-Nya. Semakin berhasil mengidentifikasi hal-hal yang baru, semakin besar kekaguman pada-Nya. Goresan tangannya mengajak mengenal Allah. Uraian kata-katanya menggambarkan ketawadhuan. Ilmu yang hakiki merupakan kendaraan pribadi menuju taqwa. Ia seolah payung pelindung dari derasnya godaan dunia yang fana. Ia melahirkan keberanian terhadap kebatilan penguasa namun melahirkan ketakutan kepada Sang penguasa sejati. ” Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”(QS. Fatir: 28) |
Habib Ziadi, |
Mahasiswa Ma'had Aly An-Nu'aimy Jakarta |
"...Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujaadalah : 11)
28 Oktober 2010
Sombong karena Ilmu
Melenyapkan Kesombongan dengan Jalan Kesederhanaan
Melenyapkan Kesombongan dengan Jalan Kesederhanaan
Kadang tak bisa kita pungkiri sampai saat ini ada sebersit cahaya sombong lagi angkuh dalam diri kita. Suatu saat, kita pernah terjebak merasa menjadi individu paling hebat. Ada kalanya, mulut kita pun tanpa sadar kerap berucap, tahu apa seseorang tentang sesuatu yang kita bicarakan. Tak jarang sesekali kita pun turut jua memakai jalur menghina pengetahuan orang di sekeliling kita, merendahkan derajat status sosialnya, padahal kita tahu orang-orang itu dalam hatinya terluka walau sepetik ucap yang sudah terlontar dari bibir kita. Sadarkah ego kita bahwa mereka sebenarnya adalah saudara, teman, dan orangtua kita sendiri yang disaat bersamaan menahan tangisnya melihat perangai takabur buah hati tercintanya tumbuh menjadi dewasa. Naudzubillah. Semoga kita selalu diampuni oleh Allah dari segala tumpukan dosa.
Betapa Sombong Dapat Menjatuhkan Kita
Jika kita mau menyisakan ruang berfikir bijak sejenak saja, kita akan terhantar pada satu pertanyaan, apakah segala intan permata lengkap dengan kesempunaan fisik dan aqli kita berada pada wilayah penguasaan kita sendiri? Apakah sempat melintas dalam keheningan kalbu kita untuk menjiwai bahwa segala atribut yang kita sombongkan berada pada genggaman mutlak jiwa kita? Jika iya, bukankah kita hidup awalnya dari setetes mani hina yang kemudian diangkat derajatnya oleh Allahu ta’ala. Bukankah sekiranya kita jua lahir dari rahim seorang bunda, tanpa setitik andil cahaya kejumawaan yang kita banga-banggakan saat ini. Jika itu yang sedang kuatnya tertanam dalam kepribadian kita, hati-hati saudaraku, teramat mungkin kita sedang berada pada fase takabur, baik pada diri sendiri, lingkungan, dan bahkan Allahuta’ala. Naudzubillah.
Allah telah menunjukkan betapa segala yang kita miliki bisa luluh lantah diambil oleh Sang Maha Pencipta walau sekuat-kuatnya menahan. Kisah Fir’aun dan jasadnya yang masih tampak hingga detik ini adalah bukti Allah ingin memberi filosofi sederhana namun langka bagi pecintaNya. Betapa glamoritas dunia amatlah sempit dan niscaya tak dapat diperthankan barang secuilpun. Sebab itu, renungilah ketika Allah menjatuhkan sebuah ayat sebagai pengingat agar hambaNya tidak ikut lupa
“Maka pada hari ini, Kami selamatkan badanmu (fir’aun) supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.”(QS.Yunus:92).
Lalu, Rasulullah SAW pun senantiasa menyertakan sifat takabur umatnya dalam sorotan hadis-hadis menyentuh beliau. Dalam salah satu ucapan Nabiyullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin Mas’ud RA, Beliau menarik bentuk penyakit hati seperti takabur dalam ganjaran yang menjauh dari cicipan surga,
”Tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya ada penyakit kibr (takabbur) meskipun hanya seberat dzarroh (terdapat seberat atom dari kesombongan). “
Bayangkan, demi sebuah untaian hikmah bagi manusia sampai akhir zaman, Allah pun sampai-sampai harus mengawetkan jasad Fir’aun agar kita berfikir bahwa kesombongan diri terhadap Allah memiliki ganjaran yang tidaklah sedikit. Begitu jua dengan Rasulullah yang hingga begitu haru membirunya menyeret pengandaian takabur walau sekecil biji sawi.
Namun sebenarnya apakah arti dari takabur (sombong) tersebut? Dr. Amin An-Najar mengutip perkataan Al-Raghib Al-Isfahani bahwa kata كبر تكبر, danاستكبر adalah tiga kata yang memiliki kesamaan makna. كبر (takabbur) adalah keadaan seseorang yang merasa takjub dengan dirinya sendiri. Ketakjuban tersebut adalah memandang bahwa dirinya lebih besar dan lebih agung dari dirinya sendiri.
Dari pengertian di atas kita dapat disimpulkan bahwa sombong ialah sikap berlebih karena merasa diri kita mempunyai banyak kelebihan dan menganggap orang lain mempunyai banyak kekurangan. Memandang diri dari kaca mata kebesaran dan kemuliaan dunia serta memandang orang lain dari kaca mata kerendahan dan kehinaan.
Semakin kita merasa diri sempurna, semakin kita akan lupa esensi bahwa akhirat adalah tujuan semata dan dunia adalah gelas durhana. Semakin kita menggangap diri adalah Sang Juara, niscaya semakin sulit kita untuk ikhlas saat kekalahan menyapa. Jika hal tersebut langgeng dalam sela batin kita, yang timbul hanyalah rasa capek, letih, cemas, gelisah, karena sejatinya kita ini terpenjara. Terpenjara oleh nafsu fatamorgana. Terpenjara atas pengharapan aliran tepuk tangan manusia. Kalau saudah begitu, kita tak ubahnya akan selalu diperbudak hawa nafsu dunia untuk tampil paripurna dengan apapun caranya. Padahal yang selama ini yang kita pakai adalah topeng, topeng untuk menutup kelemahan kita, bukan diri sejatinya.
Untuk itu, ingatkah saudaraku sebuah kisah percakapan iblis dengan Allahuta’ala yang dikemudian saat bersamaan iblis jatuh hina dengan perkara yang serupa: sombong merasa asal usul kejadiannya dari bahan yang mulia. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawablah iblis "aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah"(QS, al-A’raf [7]: 12.).
Melenyapkan Sifat Sombong dengan Kesederhanaan
Pada dasarnya mengentaskan sikap sombong butuh keberanian dalam diri kita. Tidak perlu merasa gengsi, keki, apalagi malu. Ingatlah dampak yang akan kita rasakan saat detik pertama sombong hilang dalam jiwa kita, diganti kehangatan Allah yang memeluk jantung kalbu kita.
Rumus sederhana menjadi kaya adalah dengan melaksanakan lawan katanya, yakni kesederhanaan. Seorang ulama bisa menjadi pribadi yang dihiasi ilmu, karena selalu menganggap ilmu yang dikuasai belumlah seberapa. Seorang pelari dapat mencapai garis finish, sebab ia sadar kakinya belum menyentuh batas akhir. Kholifah Umar Bin Khathtab RA mampu tampil memikat umat di Jabiah saat menemui Abu Ubaidah sebab karena kedatangannya yang justru hanya bermodalkan pribadi sederhana: berbaju kasar, bahkan berjalan dibawah unta yang sedang diduduki pelayannya.
Hal itu sontak membuat para masyarakat Jabiah terkejut sekaligus terpukau. Bagaimana mungkin seorang Kholifah Umat Islam berlevel dunia berjalan kaki sedang pelayannya asyik menunggangi unta. Apakah pelayan itu kurang ajar? Tentu tidak, hal itu dapat terlaksana karena sistem pergantian jam menaiki unta yang dilakukan keduanya saat menuju kota. Padahal kalau kita berfikir nyaman, amat mungkin Kholifah Umar dengan segenap kuasanya merasa diri besar dan menindas pelayan itu untuk selalu mengawasinya mengendarai unta selama waktu perjalanan. Namun Kholifah Umar tahu betul esensi jabatan sejati, yakni dengan merapatkan makna amanah yang kecil di mata Allah didekatkan dengan sikap tawadhu yang mampu menembus ulu tawadhu.
Oleh karena itu, kesederhanaan Kholifah Umar pun selalu dikaitkan dengan itikad takwa penuh rasa syukur. Saat tiba di Jerusalem pasca perjalanan dari Jabiah, beliau dengan pakaian teramat sahaja dihadapan materialisme Bizantium lalu mendirikan shalat pada tempat dimana Nabi Daud dipercaya melaksanakan ibadah tersebut sebelumnya. Hal itu kemudian menusuk hati masyarakat Romawi Bizantium dengan kekaguman luar biasa lantas berucap bahwa “Kami tidak akan menyesali untuk menyerahkan kunci kota Jerusalem kepada kaum yang memang taat pada Tuhannya”. Tahukah engkau saudaraku, karena sikap sahaja itulah rakyat Jerusalem berubah menjadi sangat yakin bahwa Umat Islam-lah yang memang layak menduduki wilayah suci yang terkenal sakral tersebut. Dan kita juga tidak boleh lupa, Kholifah Umar bin Khaththab RA lah yang pernah bertutur dan ucapannya itu akan dikenang selamanya, “Jika ada dua umat Nabi Muhammad, salah satu yang masuk nereka adalah aku” Padahal justru Kholifah Umar-lah yang dijamin masuk surga. Subhanallah.
Cerita lain jua turut dilukis oleh keteladanan Rabbani Baginda Nabi Muhammad SAW. Pada suatu ketika baginda Rasulullah menjadi imam solat. Para sahabat merasa aneh jika melihat pergerakan Rasulullah antara satu rukun ke satu rukun yang lain teramat sukar sekali. Sesekali mereka mendengar suara menggerutup yang tak lazim seolah-olah sendi-sendi pada tubuh baginda yang mulia Rasulullah bergeser antara satu sama lain. Sayidina Umar yang menaruh curiga perihal keadaan baginda tersebut langsung bertanya setelah selesai sholat, “Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, tuan sakitkah ya Rasulullah?”. Rasulullah lantas menjawab “Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat dan segar” Umar lantas mengejar, “Ya Rasulullah… mengapa setiap kali tuan menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin engkau sedang sakit…” desak Umar penuh cemas.
Dan para sahabat amat terkejut tatkla menyaksikan perut Rasulullah yang kempis seraya dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil buat menahan rasa lapar. Ternyata batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh baginda.
Bayangkan seorang Nabi rela menahan lapar dengan lingkaran batu kerikil yang mendekap tubuhnya demi sebuah nilai amanah kepemimpinan yang tak terkira. Kita dapat belajar bahwa beliau bukanlah tipe yang takabur meratapi dirinya adalah seorang pembesar agama Islam. Beliau berkembang menjadi tipikal bagaimana sebuan nafas kesederhanaan mampu menaklukan rimba takabur dalam satu kibasan kesahajaan.
Hingga Umar bin Khattab tidak tega melihat kholifahnya dalam kondisi yang tidak sepatutnya, “Ya Rasulullah! Adakah bila tuan menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya buat tuan?” Lalu baginda menjawab dengan lembut, “Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan Allah nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya? Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah Allah buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.” Subhanallah
Bagi kita yang selalu merasa jijik dan malu bersanding dengan orang yang berada dua-tiga level dibawah kita, mungkin kisah ini mampu menaklukan ego kotor itu. Dalam catatan lain, kesahajaan Baginda Rasulullah pernah mengemuka pada setting dimana beliau tanpa canggung, gengsi, keki dan malu sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang penuh kudis, miskin dan kotor. Tidak ada sumpah serapah menyeringai, beliau malah turut nikmat menyantap rezeki Allah yang turun kepadanya. Lalu beliau pun pernah penuh rasa kehambaan membasuh tempat yang dikencingi orang Badui di dalam masjid sebelum menegur dengan lembut perbuatan itu. Kecintaannya yang tinggi terhadap Allah SWT dan rasa kehambaan dalam diri Rasulullah SAW menolak sama sekali rasa egositis meski status tidak lagi dibawah.
Terapi Kesombongan menurut Al Ghazali
Sebab itu, Ulama besar Abdul Hamid Al-Ghazali akhirnya merumuskan sebuah pendekatan agar sebongkah kesombongan mampu lenyap dalam hati kita. Caranya tidaklah sulit yakni dengan pertama-tama menumbangkan pohon kesombongan dari akarnya yang tertancap di dalam hati, yakni dengan jalan mengenal diri sendiri dan Allah sebagai Sang Pencipta. Jika kita sudah mengenal diri dan Allah, kita akan menyadari betapa manusia itu tidak selayaknya memiliki sifat sombong. Kita ditakdirkan menghamba dan lebih tinggi dari makhluk lainnya, jadi tidak perlu memaksakan diri untuk memulia-muliakan pribadi dan memaksa tampil untuk terlihat jumawa di hadapan khalayak.
Lalu langkah kedua adalah dengan mencegah supaya kesombongan yang sudah terkikis tidak kembali menghantui jiwa kita. Dengan secara praktis kita juga dapat menerapkan disiplin kepatuhan dan tunduk secara nyata kepada Allah SWT. Oleh, karena itu, Al Ghazali merumuskan beberapa hal yang bisa kita tempu, sebagaimana sebagai berikut:
- Jika kita sombong karena keturunan hendaknya mengobati diri dengan senantiasa mengenali kembali keturunan sejati kita, yaitu debu dan air mani.
- Andai bangkai sombong karena kecantikan menerpa, hendaklah kita lebih banyak melihat kepada apa yang terkandung dalam batin kita bukan pada lahirnya saja.
- Apabila kita digerogoti rasa sombong karena kekuatan, dapat diobati dengan pengetahuan bahwa penyakit akan membuat kita sekejap terkulai lemah.
- Lalu jika kita selalu terkait akan kesombongan karena harta dan kekayaan dapat diobati dengan menumbuhkan kesadaran bahwa harta kekayaan, pendukung dan pengikut itu suatu saat akan meninggalkan. Itu pasti bukan? Dan kita tidak membawa apa-apa.
- Lantas, pada suatu kita sombong akan ilmu yang kita miliki, dapat diobati dengan cara pertama-tama menumbuhkan kesadaran pada pribadi kita bahwa Allah SWT memaklumi orang yang bodoh dan sama sekali justru tidak memaklumi orang yang mempunyai pengetahuan. Kedua dengan menyadari segenap diri bahwa kesombongan itu hanya pantas dimiliki oleh Allah SWT saja. Dan Allah saja yang Maha Pencipta tidak sombong, Ia selalu meluakan lapangan ilmu bagi setiap hambanya yang mau mengejar.
- Terakhir apabila kita sombong karena titel ketekunan ibadah kita, dapat diobati dengan cara mengharuskan diri kita supaya dapat bersikap rendah hati pada semua orang. Bukankah iman dan amal selalau berkaitan dengan amal? Sudah seharusnya karena begitulah Rasulullah menampakkan keteladanannya.
Semoga dengan ini kita selalu dijauhkan dari prasangka sombong yang hanya akan menyebabkan bertambahnya deretan penyakit hati yang sudah menumpuk dalam jiwa kita. Lagipula, buat apa kita sombong, toh kita masih menumpang di bumi Allah dan jika tidak hati-hati, kesombongan jualah yang memakan kita di akhirat nanti. Semoga kita diselamatkan dari ganasnya siksa Allah kelak.
"Kecuali orang yang bertobat dan beramal saleh, maka mereka akan Allah gantikan keburukannya dengan kebaikan. Adalah Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (QA, al-Furqân: 70)
Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, Konselor Muslim
SOMBONG DAN PENGARUHNYA DALAM KEHIDUPAN
Maka tidak akan berlaku sombong, kecuali orang yang merasa dirinya besar dan tinggi, dan ia tidak merasa tinggi atau besar, kecuali karena adanya keyakinan, bahwa dirinya memiliki keunggulan, kelebihan dan kesempur-naan yang dengannya ia menganggap berbeda dengan orang lain.
Ada beberapa sebab yang mendorong seseorang menganggap dirinya lebih unggul daripada orang lain, sehingga melahirkan kesombongan dalam jiwa, yaitu:
1. Sombong dengan Ilmu
Ada sebagian thalib ilmu atau orang yang diberi pengetahuan oleh Allah, namun malah justru menjadikan dirinya sombong. Ia merasakan dirinyalah yang paling pandai (alim), menganggap rendah orang lain, menganggap bodoh mereka dan selalu ingin agar dirinya mendapatkan penghormatan, pelayanan dan fasilitas khusus dari mereka. Dia memandang, bahwa dirinya lebih mulia, tinggi dan utama di sisi Allah daripada mereka.
Ada dua faktor yang menyebabkan seseorang menjadi sombong dengan ilmunya:
Pertama, Ia mencurahkan perhatian terhadap apa yang ia anggap sebagai ilmu, padahal hakikatnya ia bukanlah ilmu. Ia tak lebih sebagai data atau informasi yang direkam dalam otak yang tidak memberikan buah dan hasil, karena ilmu yang sesungguhnya akan semakin membuat ia kenal siapa dirinya dan siapa Rabbnya. Ilmu yang hakiki akan melahirkan sikap khosyah (takut kepada Allah) dan tawadhu’ (rendah hati), bukan sombong, sebagai-mana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala ,
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Faathir : 28)
Ke dua, Al-khoudl fil ilm yaitu belajar dengan tujuan agar dapat berbicara banyak, berdebat dan menjatuhkan orang dengan kepiawaian yang dimilikinya, sehingga orang menilainya sebagai orang alim yang tak terkalahkan ilmu-nya. Selayaknya ia lebih dahulu memperbaiki hati dan jiwanya, membersihkan dan menatanya, sehingga tujuan dalam mencari ilmu menjadi benar dan lurus. Karena merupakan karakteristik khas dari ilmu, bahwasanya ia menjadikan pemiliknya bertambah takut kepada Allah dan tawadhu’ terhadap sesama manusia. Ibarat pohon tatkala banyak buahnya, maka ia semakin merunduk dan merendah, sehingga orang akan dengan lebih mudah mendapatkan kebaikan dan manfaat darinya.
Orang, apabila telah hobi mengumbar omongan, bantah-bantahan dan debat kusir, maka ilmunya justru akan melemparkannya kepada kedudukan yang rendah dan pengetahuan yang dimilikinya tidak akan membuahkan hasil yang baik, sehingga keberkahan ilmu tidak tampak sama sekali.
2. Sombong dengan Amal Ibadah
Kesombongan ahli ibadah dari segi keduniaan adalah ia menghendaki,atau paling tidak membuat kesan, agar orang lain menganggapnya sebagai orang yang zuhud, wara’, taqwa dan paling mulia di hadapan manusia. Sedangkan dari segi agama adalah ia memandang, bahwa orang lain akan masuk neraka, sedang dia selamat darinya.
Sebagian ahli ibadah apabila ada orang lain yang membuatnya jengkel atau merendahkannya, maka terkadang mengeluarkan ucapan, “Allah tidak akan mengampunimu atau, “Kamu pasti masuk neraka” dan yang sejenisnya. Padahal ucapan-ucapan tersebut dimurkai Allah, yang justru dapat menjerumuskannya ke dalam neraka.
3. Sombong dengan Keturunan (Nasab)
Barangsiapa yang mendapati kesombongan dalam hati karena nasabnya, maka hendaknya ia segera mengobati hatinya itu.
Jika seseorang akan mencari nasabnya, maka perhatikan firman Allah berikut ini,
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani).” (QS. 32:7-8)
Inilah nasab manusia yang sebe-narnya, kakeknya yang terjauh adalah tanah, dan nasabnya yang terdekat adalah nuthfah alias air mani. Jika demikian keadaannya, maka tak selayaknya seseorang sombong dan merasa tinggi dengan nasabnya.
4. Sombong dengan Kecantikan/Ketampanan
Kesombongan seperti ini banyak terjadi di kalangan para wanita, yaitu dengan menyebut-nyebut kekurangan orang lain, menggunjing dan membicarakan aib sesama.
Seharusnya orang yang sombong dengan kecantikannya ini banyak menengok ke dalam hatinya. Untuk apa anggota tubuh yang indah, namun hati dan perangai buruk, padahal tubuh secantik apa pun pasti akan binasa, hancur dan hilang tak tersisa.
Belum lagi kalau orang mau merenungi, bahwa selagi masih hidup, maka mungkin saja Allah berkehendak untuk mengubah kecantikan atau ketampanannya, misalnya dengan mengalami kecelakaan, sakit kulit, kebakaran dan lain sebagainya, yang dapat menjadikan rupa yang cantik menjadi buruk. Maka dengan kesadaran seperti ini, insya Allah rasa sombong yang ada dalam hati akan terkikis dan bahkan tercabut hingga ke akar-akarnya.
5. Sombong dengan Harta
Yaitu dengan memandang rendah orang fakir dan bersikap congkak terhadap mereka. Ini disebabkan harta yang dimilikinya, perusahaan-perusahaan yang banyak, tanah dan bangunan, kendaraan mewah, perhiasan dan lain sebagainya. Kesombongan karena harta termasuk kesombongan karena faktor luar, dalam arti bukan merupa-kan potensi pribadi orang yang bersang-kutan. Berbeda dengan ilmu, amal, kecantikan atau nasab, sehingga apabila harta itu hilang, maka ia akan menjadi hina sehina-hinanya.
6. Sombong dengan Kekuatan dan Kegagahan
Orang yang mendapatkan karunia seperti ini hendaknya menyadari, bahwa kekuatan adalah milik Allah seluruhnya. Hendaknya selalu ingat, bahwa dengan sedikit sakit saja akan membuat badan tidak enak, istirahat tidak tenang. Kalau Allah menghendaki, seekor nyamuk pun dapat membuat seseorang sakit dan bahkan hingga menemui ajalnya.
Orang yang mau memikirkan ini semua, yaitu sakit dan kematian yang bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja, maka sudah sepantasanya tidak angkuh dan takabur dengan kekuatan dan kesehatan badannya.
7. Sombong dengan Banyaknya Keluarga, Kerabat atau Pengikut.
Kesombongan jenis ini juga merupakan kesombongan yang disebabkan faktor luar, bukan karena kelebihan yang dimiliki oleh yang bersangkutan. Dan setiap orang yang sombong karena sesuatu yang bukan dari kelebihan dan keunggulan dirinya sendiri, maka dia adalah sebodoh-bodoh manusia. Bagai-mana mungkin ia sombong dengan sesuatu yang bukan merupakan kelebih-an dirinya?
PENGARUH KESOMBONGAN
Kesombongan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan, dan pengaruh-pengaruh tersebut tampak dalam gerak-gerik anggota badan, cara berjalan, berdiri, duduk, berbicara dan diamnya seseorang.
Di antara pengaruh-pengaruh yang tampak dari sikap kesombongan adalah:
* Orang yang sombong kalau toh mau berjalan bersama-sama orang lain, maka ia selalu minta paling depan dan semua orang harus ada di belakangnya. Konon Abdur Rahman bin Aufz, kalau sedang berjalan bersama para pembantunya, maka tidak ketahuan ada disebe-lah mana, ia tidak pernah menonjolkan diri harus berada paling depan supaya semua orang melihatnya.
* Orang sombong jika berada di suatu majlis, biasanya minta diistimewakan, diperlakukan lain daripada yang lain. Kemudian ia akan sangat senang kalau semua orang mendengarkan yang ia katakan dan sangat benci kalau ada orang lain mengalihkan pembicaraan kepada selainnya. Maunya semua orang harus membenarkan dan menerima apa yang ia katakan.
* Termasuk pengaruh sifat sombong adalah memalingkan muka dari sesama muslim, atau melihat dengan pandangan sinis dan merendahkan.
* Kesombongan juga berpengaruh bagi seseorang dalam ucapan, gaya bicara dan nada intonasinya. Bahkan terkadang mencerminkan ketidaksopanan, misalnya seorang murid atau mahasiswa menghardik gurunya, karena ia merasa anak seorang pejabat atau tokoh.
* Kesombongan juga akan mempe-ngaruhi gaya jalan seseorang, misalnya sambil membusungkan dadanya, atau berjalan dengan dibuat-buat agar menarik perhatian orang lain. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman,
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. 17:37)
* Kesombongan juga berpengaruh di dalam kehidupan rumah tangga. Biasanya orang yang dalam hatinya ada kesombongan akan enggan mengerjakan pekerjaan rumah, walau hanya sepele. Hal ini berbeda dengan sikap tawadhu’ yang diajarkan oleh Rasulullah Salallahu alaihi wa salam. Aisyah radiallahuanha meriwayatkan, bahwa Rasul Allah Subhannahu wa Ta'ala biasa membantu istri beliau.
* Merupakan pengaruh kesombongan juga, bahwasanya ia membuat seseorang enggan membawakan barang atau sesuatu ke rumahnya, meskipun bukan hal yang berat, misalnya saja barang belanjaan. Alizberkata, “Seseorang tidak akan berkurang kesempurnaannya dengan membawakan sesuatu untuk keluarganya.”
* Kesombongan juga mempengaruhi gaya berpakaian seseorang, yaitu ia berpakaian dengan tujuan pamer dan supaya terkenal, atau dengan pakaian yang melanggar ketentuan syar’i, seperti isbal (memanjangkan celana di bawah mata kaki) bagi laki-laki.
* Orang yang sombong biasanya sangat senang apabila ia datang, lalu orang-orang berdiri untuk menghormat-nya. Padahal para shahabat apabila datang Rasulullahsaw kepada mereka, maka mereka tidak berdiri untuk beliau, hal ini dikarenakan mereka tahu, bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam membenci hal itu.
* Orang yang dalam hatinya ada kesombongan tidak akan mau mengunjungi orang lain, tidak mau mengucapkan salam lebih dahulu, minta supaya diprioritaskan dan tidak mau mendahulukan kepentingan orang lain.
* Kesombongan juga akan mengakibatkan seseorang tidak memandang adanya hak orang lain pada dirinya. Sementara itu ia beranggapan, bahwa ia memiliki hak yang banyak atas selainnya.
Cara-cara Agar Kita Terhindar Dari Sifat Sombong
Cara-cara Agar Kita Terhindar Dari Sifat Sombong
Tidak akan keluar sifat sombong kecuali tidak ada sesuatu yang lebih besar/agung kecuali Allah SWT dan apa-apa yang telah di besarkan oleh Allah swt. Melihat sifat manusia memanglah sangat sulit ada yang tampang dhohir nya baik tetapi di hatinya sangatlah busuk untuk melihat sifat sesorang dengan cara mudah yaitu melihat di ujung2 kematiannya apabila kematiannya baik(khusnulkhotimah) maka semua yang ada pada dhohir dan batin orang tersebut sangatlah baik dan kebalikannya apabila meninggal dunianya dalam keadaan jelek(su'ulkhotimah) maka benar2 dhohir dan batin orang tersebut sangatlah jelek bahkan di dalam hadits banyak sekali yang menerangkan tentang hal ini ! Jangan sampai kita sering meremehkan karena belum tentu di penutup hidup orang itu jelek sebab Allah swt maha membolak-balik HATI ! dan dalam hal ini sangat lah banyak orang yang terkecoh pada kesoombongan nya, maka pikirkan lah kematianmu dari pada engkau membangga-bangga dirimu pikir kan apa modal mu kelak di akherat nanti Berikut sebab-sebab kesombongan yang di banggakan seseorang : 1. ilmu (sungguh sangat banyak sekali orang yang tergila-gila dengan ilmunya sampai-sampai dia menyombongkan diri,padahal ilmu yang ia miliki sangatlah sedikit) 2. ibadah (sangat banyak sekali orang yang membanggakan ibdahnya kepada orang lain padahal ibadanya cuman sedikit) 3. Keturunan (sangatlah banyak orang yang menyombongkan diri akibat dari keturunan) 4. Keindahan atau kecantikan/kegantengan 5. Harta (sangatlah banyak orang yaang tergila-gila dengan harta sampai-sampai is lupa menyedekahkan kepada orang lain) 6. Kekuatan/kekuasaan (sangatlah banyak orang yang kita jumpai di sekitar kita akibat kekeuuasaan yang ia miliki sampai2 ia berani sombong karena semata itu semata itu hanya sebentar karena akan datang ajal yang akan menjemput nya) 7. Pengikut (karena pengikut banyaak banyak sekali oranhg yaang menyombongkan diri) Maka mari kita jauhkan sifat sombong Meskipun kita memiliki keahlian yang sangat luar biasa Berikut ukuran sifat sombong bagi Al-imam Al-ghazali : Orang sombong suka berkata Saya-saya dan orang sombong merupakan orang yang ingin memimpin sesuatu baik di suatu acara maupun di suatu perkumpulan atau di suatu organisasi dan selalu tidak mau menerima perkataan orang lain (menganggap orang lain lebih rendah darinya) dan selalu tidak mau di nasehati Dan ciri2 orang yang mulia yaitu meninggal dunia dalam keadaan khusnul khotimah(amien) dan jangan sampai kita selalu membanggakan diri sendiri karena didiri kita tidak ada yang bisa kita Banggakan . Berikut Tata Cara Agar kita terhindar dari sifat sombong : 1. Memandang orang lain yang lebih mulia Dari pada kita 2. Tuduhlah dirimu Bahwa engkau sering melakukan Kejelekan karena itu merupakan saah satu dari cara untung menghilangkan sifat sombong 3. Pandanglah orang lain dengan sifat-sifat baik 4. Seandainya engkau melihat orang yang maksiat maka cantum kan dihatimu bahwa orang yang melakukan maksiat itu tidak mengetahui maksiat yang dilakukan itu sangatlah berdosa 5. Dan bila engkau melihat orang kafir disana pun engkau tidak boleh sombong karena suatu sa'at mereka akan diberi hidayah dan taufik oleh Allah sehingga dia masuk islam dan meninggal dalam ke adaan khusnul khotimah. Di dalam dunia ini ada 2 ujung , ujung yang pertama adalah ujung yang selalu membanggakan diri (takabbur) dan jarum yang ke 2 yaitu orsng yang terlalu merendahkan diri (pesimis) maka untuk menjaga dari ujung2 ini adalah dengan kita Tawaddhu sampai tawaddhu tersebut menjadi ringan pada diri kita dan jangan sampai kita bertawaddhu dengan berpura-pura/terpaksa maka kita tidak akan mendapat Fadhilah dari tawaddhu tersebut Maka dengan ini perlunya kita memiliki sifat tawadhu kepada Allah, dan ikhlas ridho karena Allah dan menganggap bahwa tidak ada ada yang lebih Agung Dan maha besar kecuali Allah swt "WASSALAM" (Penceramah: Ust Abdul Qodir Mauladawilah) (Kitab: Bidayatul hidayah (karangan Al-imam alghazali)) (Penulis: admin MajelisVirtual.com) Pemberitahuan; anda juga dapat mengirimkan artikel islam atau artikel tentang teknologi ke email kami yaitu : majelisvirtual@yahoo.com atau majelisvirtual@mail.com "Sekian Terima Kasih Atas Kunjungan Anda" Semoga Allah memberikan Hidayah,taufik dan maunah kepada kita semu