Asal-usul, Kepercayaan, dan Mata Pencarian Orang Besemah
Sampai sekarang masih belum jelas dari mana sebenarnya asal-usul suku Besemah. Apakah teori-teori tentang perpindahan penduduk yang diikuti sekarang berlaku juga bagi suku Besemah, masih diliputi kabut rahasia. Namun yang jelas, jauh ( berabad-abad ) sebelum hadirnya mitos Atung Bungsu, di Tanah Besemah, di lereng Gunung Dempo dan daerah sekitarnya, telah ada masyarakat yang memiliki kebudayaan ( tradisi megalitik ) sebagaimana telah diuraikan pada bab terdahulu dan bukti-bukti budaya megalitik di Tanah Besemah itu sampai sekarang masih ada. Tetapi permasalahannya, apakah jeme Besemah sekarang ini adalah keturunan dari pendukung budaya megalitik tersebut ?
Menurut Ahad, juraytue puyang Kedung Gunung Samat di Rempasay bahwa sebelum kedatangan Atung Bungsu ke daerah di sekitar Gunung Dempo, telah datang bergelombang dan berturut-turut suku-suku atau bangsa-bangsa itu adalah jeme Kam-kam, jeme Nik dan jeme Nuk, jeme Ducung, jeme Aking,dan jeme Rebakau, jeme Sebakas ; jeme Rejang dan jeme Berige. Pada masa tanah di sekitar Gunung Dempo diduduki oleh jeme Rejang dan jeme Berige, datanglah Atung Bungsu.
Dari cerita orang tua (jeme- jeme tue ), secara fisik jeme Nik dan jeme Nuk memiliki badan yang tinggi besar, hidung mancung, dan kulit putih kemerahan. Jeme Ducung perawakan tubuknya kecil, pendek tetapi memiliki kelincahan. Jeme Aking juga tinggi besar, kekar, kulitnya merah keputihan, dan memiliki pendirian yang keras. Jeme Rebakau berperawakan sedang, dan jeme Sebakas postur tubuhnya seperti orang-orang Melayu sekarang. Demikian pula jeme Rejang dan jeme Berige tidak jauh beda dengan jeme Sebakas. Ahad mengatakan bahwa orang Besemah sekarang diperkirakan merupakan keturunan dari berbagai suku-suku diatas, namun keturunan yang paling dominant berasal dari puyang Atung Bungsu.
Menurut cerita rakyat di Besemah, Atung Bungsu datang ke Besemah pada saat tempat ini sudah di diami oleh suku Rejang dan Berige. Ia sampai berdialog dengan salah seorang pimpinan suku Rejang yang bernama Ratu Rambut Selaku dari Lubuk Umbay yang masing-masing merasa berhak atas Tanah Besemah. Mulai sumpah, akhirnya Ratu Rambut Selake mengakui bahwa yang lebih berhak adalah Atung Bungsu. Ucapan Atung Bungsu itu kira-kira sebagai berikut, “Jikalau bulak, jikalau buhung, tanah ini aku punye, binaselah anak cucungku”.
Sedangkan M.Zoem Derahap, yang dijuluki Pak Gasak, dusun Negeri Kaye, Tanjung Sakti, bercerita bahwa rakyat Lubuk Umbay yang dipimpin Ratu Rambut Selake setelah mengakui Tanah Besemah milik Atung Bungsu mereka lalu diberi kedudukan sebagai Sumbay dalam Jagat Besemah, tetapi tidak masuk dalam system pemerintahan Lampik Empat Merdike Due. Sumbay mereka itu dinamakan Sumbay Lubuk Umbay.
Sebagai masyarakat Besemah percaya bahwa kedatangan Atung Bungsu itu bersama Diwe Semidang (Puyang Serunting Sakti) dan Diwe Gumay. Diwe Gumay menetap di Bukit Seguntang Palembang, sedangkan Diwe Semidang pada mulanya juga tinggal di Bukit Seguntang, lalu pagi menjelajah sembilan batanghari sampai akhirnya menetap di suatu tempat yang disebut Padang Langgar (Pelangkeniday). Keturunan kesebelas dari Diwe Gumay, yaitu Puyang Panjang sebagai Juray Kebalik-an baru menetap dibagian ilir Tanah Besemah, yaitu di Balai Buntar ( Lubuksempang).
Selain cerita rakyat yang tetap hidup dan berkembang di Besemah, mengenai asal- usul suku Besemah, seorang pengelana bangsa Inggris, E.Presgrave, yang mengunjungi daerah Besemah, memberikan cerita dalam The Journal Of The Indian Archipelago (Harian dari Kumpulan India) sebagai berikut (Gramberg, 1867:351-352).
“….., sewaktu kerajaan Majapahit runtuh, seorang kakak laki-laki dan seorang adik perempuan dengan banyak pengikut, telah meninggalkan Majapahit dan mendarat di Pantai Timur Sumatera. Adik perempuannya menempatkan dirinya di Palembang, dimana ia dalam waktu singkat telah menjadi ratu yang terpandang ; kakaknya (Atung Bungsu), yang lebih jauh masuk ke pedalaman, menetapkan diri di Lembah dari Passumah yang subur. Dengan demikian tanah ini diduduki dan dihuni para pendatang ini.
Mitos atau cerita mengenai Puyang Atung Bungsu terdapat beberapa versi yang diantara lain dapat kita baca dalam “Soerat Assal Oerang Mendjadikan Djagat Passumah” dengan kode ML 608 (BR.157.VIII) dan kode ML 234 yang ada di perpustakaan Museum Nasional, Jakarta. Sumber dengan kode ML 234 ditulis oleh Muhammad Arif dari dusun Benuakeling tanggal 28 November 1898 yang disalinnya dari suatu kitab orang dusun Tanahpilih, Marga Sumbay Ulu Lurah Benuakeling, yaitu Pangeran Samadil. Sumber data ini, sebelumnya disalin kembali oleh Muhammad Tayib yang pernah magang di kantor Kontrolir dari Bandar tanggal 25 Januari 1889. Jadi, sumber ini sudah disalin beberapa kali. Sumber aslinya dalam bentuk huruf Arab Gundul (Surat Melayu) yang kemudian ditulis dalam bentuk huruf latin.
Adalagi sumber yang ditulis oleh A. Grozali Mengkerin, juga dari dusun Benuakeling yang berjudul “Benuakeling Puting Jagat Besemah”. Selanjutnya ada lagi versi lain, misalnya yang ditulis oleh Musa dari dusun Muara Siban, M.S. Panggarbesi, Abdullah (Bedul) dusun Gelungsakti, dan beberapa tulisan lainnya. Cerita tentang Puyang Atung Bungsu ini banyak dibumbui dengan cerita-cerita yang berbau mistik, irrasional dan sulit diterima oleh akal sehat. Pada umumnya cerita tentang Atung Bungsu ini terdapat persamaan, bahwa tokoh ini berasal dari Kerajaan Majapahit dan dua orang anaknya, Bujang Jawe (Bergelar Puyang Diwate) dan Riye Rekian. Atung Bungsu dan keturunannya dianggap genre yang menjadikan “Jagat Besemah”. Konon, menurut cerita, kata “Besemah” berasal dari cerita istri Atung Bungsu yang Bernama Putri Senantan Buwih (anak Ratu Benuakeling) yang ketika sedang mencuci beras di sungai, bakul berasnya dimasuki ikan semah (ML, 608:5).
Salah seorang keturunan Bujang Jawe (Puyang Diwate) bernama puyang Mandulake (Mandulike) yang berputra lima orang, yaitu (1) Puyang Sake Semenung atau Semanung (menjadikan anak keturunan Pagargunung), (2) Puyang Sake Sepadi, melalui anaknya Singe Bekkurung yang bertempat tinggal di dusun Benuakeling menjadikan Marga Tanjung Ghaye, Sumbay Ulu Lurah, Sumbay Besak, Sumbay Mangku Anum, dan Sumbay Penjalang, (3) Puyang Sake Seratus menjadikan anak keturunan Bayuran (Kisam), (4) Puyang Sake Seketi (mati bujang, tidak ada keturunan). Puyang Singe Bekurung mempunya anak Puyang Pedane. Puyang Pedane beranak Puyang Tanjung Lematang. Puyang ini kemudian beranak tiga orang, yaitu Puyang Riye Lisi, Riye Ugian, dan Riye Lasam. Puyang Riye Lisi pindah ke Kikim menjadikan anak Merge Penjalang di Besemah Libagh, dan Puyang Riye Lasam menjadikan keturunan Sumbay Ulu Lurah.
Tentang asal-usul suku Besemah, versi lalin menceritakan bahwa ada seorang “Wali Tua” dari salah satu anggota keluarga Kerajaan Majapahit berangkat ke Palembang, kemudian kawin dengan Putri (anak) Raja Iskandar yang menjadi Raja Palembang. Salah satu keturunan inilah yang bernama Atung Bungsu yang pada suatu ketika berperahu menyelusuri sungai Lematang dan akhirnya sampai di sungai yang belum diketahui namanya, tempatnya menetap dinamakan Benuakeling . Di sungai itu, Atung Bungsu melihat banyak ikan semah yang mengerumuni bekas-bekas makanan yang dibuang ke sungai. Atung Bungsu menceritakan kepada istrinya bahwa di sungai banyak ikan semah-nya. Konon katanya, nama ikan inilah yang menjadi cikal-bakal asal-usul nama “Besemah” yang artinya “sungai yang ada ikan seah-nya”. Sungai itulah yang sampai sekarang dikenal dengan nama Ayik Besemah diantara dusung Karanganyar dengan dusun Tebatgunung Baru sekarang. Jadi, ada beberapa versi cerita mengenai ikan semah sebagai asal nama Besemah, di antaranya versi Atung Bungsu dan versi Senantan Buih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar