Di kaki Gunung Dempo, tahun 1971, William A Collin iseng memutar kaset
guritan pemberian teman barunya. Volumenya disetel agak keras. Alunan
lagu itu memancing penduduk setempat berkerumun, dari semula satu
orang yang menguping sampai akhirnya berjumlah puluhan. Calon doktor
antropologi University of California, Los Angeles, ini heran, mengapa
orang desa yang berjarak 294 km barat daya Palembang itu begitu
bersemangat mendengar guritan.
Ia menjadi makin penasaran ketika melihat seorang ibu menangis
tersedu-sedu mendengar cerita dari kaset itu. Collin bertanya panjang
lebar kepada Muhammad Saman Loear, teman barunya, yang tak lain adalah
artis pelantun guritan tadi.
''Binatang'' apa guritan itu? Apa isi ceritanya? Mengapa dapat
mengharu-biru pendengarnya?
Tujuan pokok Collin yang semula meriset suku Besemah, Pagaralam,
Lahat, Sumatera Selatan, dia sisihkan dan beralih mengobservasi
guritan. Itulah seni sastra yang ternyata hampir punah.
Dari 200.000 warga suku Besemah, hanya ada empat orang yang pakar
dalam bidang itu. Itu pun sudah berusia lebih 70 tahun. Saman sendiri
waktu itu hanyalah seorang pelantun dan pernah membuat sebuah cerita
guritan.
Sang bule akhirnya kembali ke Amerika dengan membawa kaset dan buku
guritan karangan Saman. Dia menyelesaikan disertasi doktornya yang
berjudul A Study of People of South Sumatera, Besemah. Tentang teman
barunya itu disinggung sedikit di halaman sembilan. Dari Amerika,
Collin berpesan agar Saman menyelamatkan guritan dari kepunahan.
***
GURITAN adalah seni prosa lirik berbentuk cerita panjang yang
ditembangkan. Isinya banyak mengandung falsafah, sejarah, dikemas
dalam bentuk sastra. Saman tidak mengatahui dari mana asal usul
guritan dan siapa penciptanya. Yang diketahui, sejak abad ke-18
guritan sudah populer di daerahnya.
Penembangan guritan biasanya dilakukan pada acara tertentu selama
semalam suntuk. Misalnya, pada musibah, waktu panen padi, kopi atau
saat bulan purnama. Fungsinya sebagai pengibur keluarga yang mendapat
musibah atau sekadar hiburan malam bulan purnama.
Di saat bulan purnama musim panen, perempuan desa mulai mengayam tikar
di lapangan terbuka dengan penerangan api unggun. Orang-orang, tua-
muda besar-kecil tumpah ruah di situ. Penggurit pun mulai beraksi
melantunkan cerita. Yang mengayam dapat hiburan, sedangkan muda-
mudinya saling berkenalan. Di kalangan muda, guritan dikenal sebagai
ajang cari jodoh.
Kalau dibandingkan dengan kesenian lain, guritan mirip pagelaran
wayang kulit, namun tanpa alat peraga. Kisah Raden Suane misalnya,
mengandung cerita kehidupan, watak manusia dan model pemimpin negeri
dari masa ke masa. Kisah ini dibumbui kisah cinta dan perang yang
dirangkai dalam babak demi babak.
Ujung ceritanya happy ending. Namun kelak-kelok menuju akhir sungguh
dahsyat. Penonton yang mengira sang bintang bakal bahagia pada babak
kedua harus bersabar. Atau si tokoh jahat yang dikira sudah habis
masih bertahan sampai akhir. Begitu kira-kira penggalan Raden Suane.
***
LEWAT bantuan dana dari Collin, tahun 1972, Saman mulai menyelamatkan
guritan. Ia mendatangi satu per satu pakar tua guritan seperti Cik
Ait, Manajin, Diku Guru Agung dan Ungsan Sandar Angin.
Aneh kelihatannya, dalam perjalanan wawancara dan mengumpulkan data,
satu persatu narasumbernya meninggal dunia. Misalnya, Cik Ait
meninggal dunia persis sepekan setelah kisah Raden Suane dikasetkan.
Untuk merekam kisah Raden Suane diperlukan sembilan pita kaset
berdurasi 90 menit. Sementara untuk membuat buku setebal 442 halaman
itu, menghabiskan dana Rp 50 juta.
Karena narasumber keburu wafat, tidak semua kisah guritan dapat
diselamatkan. Lima judul tidak utuh diselamatkan. Kalau mau disusun,
harus digali ulang karena datanya masih terserak di sana-sini.
Tahun 1988, Collin kembali ke Indonesia sebagai dosen tamu sosiologi
antropologi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat itulah
guritan Raden Suane dirampungkan. Saman menyusunnya dalam bahasa
daerah, sementara Collin dalam bahasa Inggris.
Menurut penuturan Collin, buku The Guritan of Raden Suane sudah
disebar di hampir seluruh perpustakaan Universitas yang ada fakultas
sastranya di Amerika. Nama Saman pun terukir di sana. Collin sempat
berjanji membuat cerita dalam bentuk novel dan film. Namun, mimpi itu
belum terwujud. Kelanjutan hubungan dengan pria Amerika itu malah
terputus.
Sepeninggal Collin, Saman masih berusaha keras melengkapi judul-judul
yang sempat dikumpulkan. Cerita guritan Remas Panji Marademak dan
Raden Pengantin sudah diberkas dengan biaya pribadi. Untuk biaya
mengumpulkan data itu saja, Saman menghabiskan dua ton kopi hasil
panen dari kebunnya.
Akan tetapi, untuk mencetak dalam bentuk buku seperti kisah Raden
Suane dia terbentur dana. Pernah Saman menawarkan kepada pemerintah
daerah setempat, namun kurang ditanggapi. Kalaupun ada, biaya yang
diberikan sangat kecil, tidak sepadan dengan biaya yang dibutuhkan.
Meski demikian, Saman terus berkarya. Acap dia terlihat di dusun-
dusun. Berbincang-bincang dengan para tetuanya. Dengan tekun
mengumpulkan kata-kata nasihat peninggalan suku Besemah. Dengan susah
payah dia menyusun buku yang diberi judul Petatah Petitih Suku
Besemah, yang kemudian diterbitkan. Kerja keras lainnya adalah
menerbitkan buku Aksara Daerah Surat Ulu.
Saat ini Saman tengah mengumpulkan modal untuk menerbitkan buku Jeme
Merdike, Perlawanan Rakyat Besemah terhadap Kekuasaan Belanda pada
Abad Ke-18.
***
SAMAN lahir April 1933. Tanggalnya tidak tahu pasti. Pendidikannya
cuma tamatan Tsanawiyah (setingkat SLTP). Sejak di sekolah dasar dia
memang sudah tertarik akan guritan. Saman kecil tahan tidak tidur
semalaman demi mendengar kisah guritan yang dilantunkan. Sesampai di
rumah dia kerap mengingat-ingat kisah dan mencoba melantunkan sendiri.
Tidak heran ketika di Tsanawiyah dia sudah menjadi seorang penggurit,
walau belum sempurna.
Saat perang gerilya merebut kemerdekaan Saman menjadi tentara pelajar
dengan pangkat kopral. Satu hal yang diingatnya persis, di waktu
senggang dia kerap menggurit di sekeliling prajurit. Setelah diberi
doping sastra itu, biasanya prajurit langsung semangat lagi. ''Seperti
prajurit Suane yang tidak mau menyerah terhadap lawan,'' kata Saman
sembari terkekeh.
Usai perang, Saman sempat merantau ke Lampung. Kemudian melanjutkan
perjalanan ke Jakarta tahun 1954 sampai 1958. Pada tahun 1958 dia
kembali ke Pagaralam. Namun ketika PRRI meletus, rencana kembali ke
Jakarta batal karena transportasi Pagaralam-Jakarta putus. Ditambah
lagi, dia ketemu dengan gadis Sundarmi yang kini mendampinginya
sebagai istri dengan enam orang anak.
Di masa sekarang yang penuh dengan gejolak di setiap daerah, Saman
menasihati pemerintah untuk mempelajari budaya dan sosiologi
masyarakat setempat. Saman juga mengritik cara menyampaikan pelajaran
sejarah di sekolah yang dinilainya kering. Padahal dengan cara-cara
budaya dan seni daerah seperti guritan atau wayang, pelajaran sejarah
akan lebih menarik bagi siswa karena lebih mudah dicerna. (syahnan Saman, Budaya, Sosiologi...Kompas/syahnan)
1 komentar:
Semoga sastra guritan dapat lestari ,,dimana pemerhati terutama pihak pemerintah daerah harus cpt dan tanggap dalam pelestarian budaya,,tidak hanya sekedar bangga sebagai budaya tapi jika tidak ªda tindakan nyata dalam pelestarian maka seiring waktu akan menghilang dan lenyap di telan waktu..harapan saya. Pemerintah daerahlah yaήg berkompeten karena hal ini tidak lepas dari sumber dana dan dokumentasi..serta banyak hal lain menyangkut pelestarian budaya,,semoga guritan dapat lestari dan membudaya terutama falsafah2nya ..
Posting Komentar