27 Januari 2009

Pelaksanaan Prinsip-prinsip Good Governance dan Reinventing Government dalam Pelayanan Publik pada era Otonomi Daerah

PERSPEKTIF PARADIGMA BARU ADMINISTRASI NEGARA DALAM MENGHADAPI PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

(Suatu Tinjauan Pelaksanaan Prinsip-prinsip Good Governance dan Reinventing Government dalam Pelayanan Publik pada era Otonomi Daerah)

Pendahuluan

Selama ini, Public Administration selalu diterjemahkan dengan Administrasi Negara. Akibat dari terjemahan seperti itu, selama beberapa dekade di Indonesia, orientasi administrasi negara adalah bagaimana pelayanan kepada negara, dan masyarakat harus melayani negara, semuanya serba negara sehingga muncul istilah “abdi negara”. Apabila segala sesuatu diatasnamakan negara, maka hal tersebut sudah harus tuntas, dan direlakan; semua orang harus berkorban demi negaranya. Dengan demikian, pelayanan yang semula dikonsep untuk masyarakat umum, terbalik menjadi pelayanan untuk negara. Padahal konsep awal dari Public Administration sesuai dengan terjemahannya adalah “Administrasi Publik” yaitu berorientasi kepada masyarakat. Perkembangan terbaru paradigma administrasi publik, mengarah kepada masyarakat dan berorientasi kepada masyarakat serta berupaya bagaimana strategi melakukan atau melayani masyarakat (publik). Hal ini sejalan dengan hakekat pelaksanaa era otonomi, yakni peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Pada dasarnya masyarakat tidak terlalu peduli dengan more regulated atau less regulated, less governed atau more governed karena kepedulian utama mereka terletak pada terselesaikannya beragam masalah yang mereka hadapi. Bagi administrasi publik, kondisi ini merupakan tantangan besar yang harus dihadapi mengingat kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks sementara sumber daya dan kapasitas birokrasi yang berkembang tidak sebanding dengan perkembangan kebutuhan tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir ini, berkembang beragam pendekatan dalam menghadapi tuntutan ini. Isu manajemen publik dan public governance (kepemerintahan publik) terus meluas dan menjadi perdebatan hangat (Khairul Muluk, 2004).

Paradigma Good Governance dalam Pelayanan Publik

Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, selama ini didasarkan pada paradigma rule government (pendekatan legalitas). Dalam merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan senantiasa didasarkan pada pendekatan prosedur dan keluaran (out put), serta dalam prosesnya menyandarkan atau berlindung pada peraturan perundang-undangan atau mendasarkan pada pendekatan legalitas. Penggunan paradigma rule government atau pendekatan legalitas, dewasa ini cenderung mengedepankan prosedur, hak dan kewenangan atas urusan yang dimiliki (kepentingan pemerintah daerah), dan kurang memperhatikan prosesnya. Pengertiannya, dalam proses merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan, kurang optimal melibatkan stakeholder (pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi, maupun masyarakat).

Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menurut paradigma good governance, dalam prosesnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan pendekatan rule government (legalitas), atau hanya untuk kepentingan pemeintahan daerah. Paradigma good governance, mengedepankan proses dan prosedur, dimana dalam proses persiapan, perencanaan, perumusan dan penyusunan suatu kebijakan senantiasa mengedepankan kebersamaan dan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Pelibatan elemen pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi sangat penting, karena merekalah yang memiliki kompetensi untuk mendukung keberhasilan dalam pelaksanaan kebijakan. Pelibatan masyarakat juga harus dilakukan, dan seharusnya tidak dilakukan formalitas, penjaringan aspirasi masyarakat (jaring asmara) tehadap para pemangku kepentingan dilakukan secara optimal melalui berbagai teknik dan kegiatan, termasuk di dalam proses perumusan dan penyusunan kebijakan.

Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan birokrasi maupun di lingkungan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah pemerintah yang dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Esensi kepemerintahan yang baik (good governance) dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik, hal ini sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus masyarakat setempat, dan meningkatkan pelayanan publik.

Kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah sangat strategis dalam upaya mewujudkan kepemerintahan yang baik, dengan demikian pelayanan publik memiliki nilai strategis dan menjadi prioritas untuk dilaksanakan. Menjadi pertanyaan, apakah fungsi pemerintahan yang lainnya tidak strategis dan tidak prioritas? Bukankah dalam penyelenggaraan pemerintahan juga banyak masalah yang mendesak yang harus ditangani? Jawabannya tidak sederhana. Tetapi kalau kita memahami essensi kepemerintahan yang baik dan hubungannya dengan tujuan pemberian otonomi daerah, maka sebenarnya jelas arahnya, yaitu pemerintah daerah diberi tugas dan fungsi, serta tanggungjawab dan kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang baik.

Beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik (khususnya dibidang perizinan dan non perizinan) menjadi strategis, dan menjadi prioritas sebagai kunci masuk untuk melaksanakan kepemerintahan yang baik di Indonesia. Salah satu pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis dan prioritas untuk ditangani adalah, karena dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik sangat buruk dan signifikan dengan buruknya penyelenggaraan good governance. Dampak pelayanan publik yang buruk sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat luas, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap kinerja pelayanan pemerintah. Buruknya pelayanan publik, mengindikasikan kinerja manajemen pemerintahan yang kurang baik.

Kinerja manajemen pemerintahan yang buruk, dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain: ketidakpedulian dan rendahnya komitmen top pimpinan, pimpinan manajerial atas, menengah dan bawah, serta aparatur penyelenggara pemerintahan lainnya untuk berama-sama mewujudkan tujuan otonomi daerah. Selain itu, kurangnya komitmen untuk menetapkan dan melaksanakan strategi dan kebijakan meningkatkan kualitas manajemen kinerja dan kualitas pelayanan publik. Contoh: Banyak Pemerintah Daerah yang gagal dan/atau tidak optimal melaksanakan kebijakan pelayanan terpadu satu atap, tetapi banyak yang berhasil menerapkan kebijakan pelayanan terpadu satu atap (seperti; Jembrana, Solok, Sragen dan daerah lainnya)

Meningkatnya kualitas pelayanan publik, sangat dipengaruhi oleh kepedulian dan komitmen pimpinan/top manajer dan aparat penyelenggara pemerintahan untuk menyelenggarakan kepemerintahan yang baik. Perubahan signifikan pelayanan publik, akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan berpengaruh terhadap meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah.

Terselenggaranya pelayanan publik yang baik, memberikan indikasi membaiknya kinerja manajemen pemerintahan, disisi lain menunjukan adanya perubahan pola pikir yang berpengaruh terhadap perubahan yang lebih baik terhadap sikap mental dan perilaku aparat pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik.

Tidak kalah pentingnya, pelayanan publik yang baik akan berpengaruh untuk menurunkan atau mempersempit terjadinya KKN dan pungli yang dewasa ini telah merebak di semua lini ranah pelayanan publik, serta dapat menghilangkan diskriminasi dalam pemberian pelayanan. Dalam kontek pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat, perbaikan atau peningkatan pelayanan publik yang dilakukan pada jalur yang benar, memiliki nilai strategis dan bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan investasi dan mendorong kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat luas (masyarakat dan swasta).

Paradigma good governance, dewasa ini merasuk di dalam pikiran sebagian besar stakeholder pemerintahan di pusat dan daerah, dan menumbuhkan semangat pemerintah daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja mamajemen pemerintahan daerah, guna meningkatkan kualitas pelayanan publik. Banyak pemerintah daerah yang telah mengambil langkah-langkah positif didalam menetapkan kebijakan peningkatan kualitas pelayanan publik berdasarkan prinsip-prinsip good governance.

Paradigma good governance menjadi relevan dan menjiwai kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan, mengubah sikap mental, perilaku aparat penyelenggara pelayanan serta membangun kepedulian dan komitmen pimpinan daerah dan aparatnya untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan publik yang berkualitas.

Desentralisasi dan Reformasi Pelayanan Publik

Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Dengan otonomi daerah berarti telah dipindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan (perda) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan diharapkan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas.

Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian serius dalam pelaksanaan otonomi daerah antara lain pelayanan publik, formasi jabatan, pengawasan keuangan daerah dan pengawasan independen. Yang perlu dikedepankan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana pemerintah daerah mampu membangun kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat mendesain standar Pelayanan Publik yang mudah, murah dan cepat. Pelayanan publik merupakan bagian dari pemerintahan yang baik (good governance) yang salah satu parameternya adalah cara aparatur pemerintah memberikan pelayanan kepada rakyat. Prinsip good governance bisa terwujud jika pemerintahan diselenggarakan secara transparan, responsif, partisipatif, taat hukum (rule of law), sesuai konsensus, nondiskriminasi, akuntabel, serta memiliki visi yang strategis.

Bila kita mengamati lebih dalam praktik negara atau pemerintah kita terkait dengan pelayanan publik, maka tampak jelas bahwa arah dan kebijakan layanannya tidak pasti. Masyarakat atau rakyat pada dasarnya memiliki hak-hak dasar, yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya atau paling tidak terjamin pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam realitasnya, banyak arah dan kebijakan layanan publik tidak ditujukan guna peningkatan kesejahteraan publik. Namun sebaliknya, layanan publik mendorong masyarakat atau rakyat untuk “melayani” elit penguasa.

Pemerintah melahirkan berbagai kebijakan dalam bentuk hukum, perundang-undangan, peraturan-peraturan dan lainnya bertalian dengan layanan publik. Berbagai kebijakan itu katanya bermaksud hendak melindungi hak-hak warga negara, meskipun dalam praktiknya banyak yang melanggar kepentingan warga negara, misalnya penggusuran lahan rakyat untuk bangunan super market. Pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan dan industri adalah kebijakan layanan publik yang melanggar hak-hak warga, khususnya kaum tani. Pelayanan publik yang buruk merupakan salah satu bentuk penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan maladministrasi.

Maladministrasi adalah tindakan atau perilaku penyelenggara administrasi negara dalam pemberian pelayanan publik yang bertentangan dengan kaidah serta hukum yang berlaku. Atau, menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir) yang menimbulkan kerugian serta ketidakadilan. Prinsip "kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah" salah satunya juga dimotivasi perilaku mencari keuntungan sesaat kalangan aparatur pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan publik. Masyarakat yang tidak tahan diperlakukan demikian oleh pemberi pelayanan publik akhirnya terjebak ikut berbuat tercela dengan memberikan suap kepada aparat selaku pemberi layanan.

Reformasi pelayanan publik ternyata masih tertinggal dibanding reformasi di berbagai bidang lainnya. Sistem dan filsafat yang mendasari pelayanan publik di Indonesia tidak hanya ketinggalan jaman, tetapi juga menghasilkan kinerja dibawah standar dalam masyarakat yang berubah secara cepat. Kita masih jauh tertinggal dibanding Filipina, Malaysia dan Thailand dalam indikator-indikator gabungan kualitas birokrasi, korupsi, dan kondisi sosial ekonomi.

Pendidikan, Kesehatan dan Hukum (administrasi) adalah tiga komponen dasar pelayanan publik yang harus diberikan oleh penyelenggaran negara (pemerintah) kepada rakyat. Hingga saat ini, pelayanan tersebut tampak belum maksimal. Kondisi iklim investasi, kesehatan, dan pendidikan saat ini sangat tidak memuaskan, sebagai akibat tidak jelasnya dan rendahnya kualitas pelayanan yang ditawarkan oleh institusi-institusi pemerintahan. Bahkan muncul berbagai permasalahan; masih terjadinya diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian pelayanan, birokrasi yang terkesan berbelit-belit serta rendahnya tingkat kepuasan masyarakat. Faktor-faktor penyebab buruknya pelayanan publik selama ini antara lain:

  1. Kebijakan dan keputusan yang cenderung menguntungkan para elit politik dan sama sekali tidak pro rakyat.
  2. Kelembagaan yang dibangun selalu menekankan sekedar teknis-mekanis saja dan bukan pedekatan pe-martabat-an kemanusiaan.
  3. Kecenderungan masyarakat yang mempertahankan sikap nrima (pasrah) apa adanya yang telah diberikan oleh pemerintah sehingga berdampak pada sikap kritis masyarakat yang tumpul.
  4. Adanya sikap-sikap pemerintah yang berkecenderungan mengedepankan informality birokrasi dan mengalahkan proses formalnya dengan asas mendapatkan keuntungan pribadi.

Salah satu faktor penyebab utama dari keterpurukan sektor perekonomian adalah masih kuatnya prilaku koruptif di dalam berbagai aspek kehidupan, terutama di sektor birokrasi dengan salah satu fokus utamanya di sektor pelayanan publik. Konsekuensinya, timbullah biaya ekonomi tinggi yang berdampak kepada rendahnya daya saing Indonesia dibandingkan negara berkembang lainnya dalam menarik investasi dan dalam memasarkan komoditinya baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat, yang kemudian bermuara pada stagnannya proses peningkatan kesejahteraan rakyat.

Masih kuatnya perilaku koruptif ini salah satunya dibuktikan dengan dari masih rendahnya Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2006 yang dikeluarkan oleh Transparency International Indonesia (TII) , yaitu 2,4 – naik 0,2 point dari CPI tahun 2005. Sensus pegawai negeri yang baru-baru ini dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan bahwa ada Penyelanggaraan Pemerintahan kita melibatkan 3,6 juta pegawai negeri, tetapi anggaran negara menunjukan bahwa jumlahnya hanya sedikit kurang dari 4 juta. Dengan kata lain, hampir 400 ribu pegawai negeri yang ada dalam daftar gaji tidak bekerja untuk negara. Kenyataan ini memberikan dasar yang kuat untuk menelaah kembali anggaran kepegawaian, berbagai posisi dan fungsi kepegawaian, serta untuk membangun rencana strategis menghadapi berbagai ketidakwajaran yang ada, yang memperburuk kondisi anggaran dan berpengaruh terhadap pelayanan publik.

Pemerintah perlu menyusun Standar Pelayanan bagi setiap institusi di daerah yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak harus terus menerus dilakukan oleh Pemda, serta perlu dilakukan evaluasi secara berkala agar pelayanan publik senantiasa memuaskan masyarakat. Ada lima cara perbaikan di sektor pelayanan publik yang patut dipertimbangkan: Mempercepat terbentuknya UU Pelayanan Publik, Pembentukan pelayanan publik satu atap (one stop services), Transparansi biaya pengurusan pelayanan publik, Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP), dan reformasi pegawai yang berkecimpung di pelayanan publik.

Pelaksanaan Otonomi Daerah memungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan dan tugas Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana perekat Integrasi bangsa. Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang Good dan Clean Government.

Pemerintah memang tidak memiliki paradigma yang jelas dalam soal layanan publik dan mempertahankan birokrasi yang feodal. Transformasi paradigmatik, disain ulang sistem dan organisasi layanan publik harus dilakukan agar pemerintah menjadi handal melakukan kewajiban publiknya. Sejatinya, Excelent Service harus menjadi acuan dalam mendesain struktur organisasi di pemerintah daerah. Bila semua daerah otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis, maka pemerintah kita secara nasional pada suatu saat nanti akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan profesional sehingga mampu menjadi negara besar yang diakui dunia.

Dunia saat ini telah berada dalam era yang disebut globalisasi, kondisi dimana terjadi perubahan signifikan dalam kehidupan suatu masyarakat yang tidak lagi dapat dibatasi oleh sekedar batas administrasi kewilayahan, karena pesatnya penemuan-penemuan teknologi. Globalisasi dipengaruhi oleh inovasi teknologi di satu sisi dan persaingan dalam era perdagangan bebas di sisi lain”. Sementara W.W. Rostow (1960) dengan teorinya tentang 5 tahapan pertumbuhan menunjukkan bahwa suatu komunitas bangsa tingkatan pertumbuhannya dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi dalam lima kategori: "It is possible to identify all societies, in their economic dimensions, as lying within one of five categories: the traditional society, the preconditions for take-off, the take-off, the drive to maturity, and the age of high mass-consumption".

Sejalan dengan pendapat Rostow, era globalisasi saat ini mengindikasikan bahwa masyarakat dunia pada umumnya telah memasuki tahapan the age of high mass-consumption atau tingkatan kelima. Kondisi dimana terjadi pergeseran pada sektor-sektor dominan terhadap kebutuhan barang dan jasa sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Sebagian besar masyarakat telah terpenuhi kebutuhan dasarnya yakni sandang, pangan dan papan serta berubahnya struktur angkatan kerja yang meningkat tidak hanya proporsi jumlah penduduk perkotaan melainkan juga jumlah angkatan kerja yang terampil.

Menghadapi kondisi masyarakat tersebut di atas, maka diperlukan peran administrasi negara dan pemerintahan dalam memberikan pelayanan secara efiktif, efisien dan secara profesional. Tantangan perubahan masyarakat dan tantangan terhadap kinerja pemerintahan selain menghadapi masyarakat yang semakin cerdas dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya/variatif serta memenuhi standar kualitatif sangatlah terbatas, pada akhir kekuasaan Orde Baru pun, birokrasi pernah dikritik habis-habisan oleh kalangan gerakan pro-reformasi. “Birokrasi dianggap sebagai salah satu ”penyakit” yang menghambat akselerasi kesejahteraan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan yang sehat“ (Edi Siswadi, 2005). Ungkapan klasik dan kritis seperti “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”, misalnya, berkembang seiring dengan penampakan kinerja aparatur yang kurang baik di mata masyarakat. Ungkapan itu menggambarkan betapa buruknya perilaku pelayanan birokrasi kita yang berpotensi menyuburkan praktik percaloan dan pungutan liar (rent seeking). Kondisi inilah yang sebetulnya memunculkan iklim investasi di daerah kurang kompetitif. Kondisi pelayanan seperti ini perlu segera direformasi guna mewujudkan kinerja birokrasi dan kinerja pelayanan publik yang berkualitas.

Menghadapi kondisi ini maka pemerintah sebagai pelayan public perlu mengupayakan untuk menekan sekecil mungkin terjadinya kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan kemampuan aparatur pemerintah untuk memenuhinya, sebab keterbatasan sarana dan prasarana yang telah ada tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembenar tentang rendahnya kualitas pelayanan kepada masyarakat. Kemandirian dan kemampuan yang handal dari pemerintah merupakan syarat tetap terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah untuk memenuhi segala kebutuhan pelayanan umumnya.

Dalam kaitan inilah maka pemerintah perlu memiliki semangat kewirausahaan (entrepreneurship). Ide penataan ulang pemerintahan ini sejalan dengan pemikiran dan perkembangan administrasi negara yang berusaha melakukan reinventing government pada awal tahun 1990-an. Salah satu ide pokok dari perubahan administrasi negara tersebut adalah pentingnya public service sebagai orientasi dari birokrasi pemerintahan.

Perubahan mendasar dalam struktur birokrasi berlangsung sangat cepat. Semenjak reformasi, pemerintah pusat telah merekonstruksi struktur birokrasi pemerintah daerah dua kali. Masing-masing melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Penataan birokrasi pemerintah daerah, secara normatif merupakan bagian dari rekayasa sosial guna mengatasi krisis multidimensi yang melanda. Dalam skala kecil atau mikro, hal ini dilakukan untuk kepentingan memulihkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi. Dalam skala makro untuk menciptakan lingkungan kerja dan budaya organisasi yang sehat dan kondusif, sehingga tingkat kepuasaan masyarakat (customer satisfaction) meningkat dan iklim investasi menyehat (Edi Siswadi, dalam Pikiran Rakyat, 2005).

Untuk mewujudkan tujuan itu, perlu ada penataan administrasi negara dan birokrasi pemerintahan dalam rangka membangun kinerja pemerintahan yang efektif, efisien, dan profesional. Setidaknya, “stempel” yang diberikan masyarakat mengenai buruk dan berbelit-belitnya birokrasi pada pemerintah baik pusat ataupun di daerah dapat dikurangi. Peran administrasi negara dan pemerintahan di masa mendatang dengan melihat beberapa tuntutan masyarakat diatas dengan kondisi pemerintah sebagai pelayan masyarakat saat ini yaitu : (1) Pemerintahan dengan system Birokrasi yang lamban dan terpusat; (2) Pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan (bukannya berorientasi misi); (3) Rantai hierarki/komando yang rigid; maka pemerintah saat ini harus berupaya merubah perannya untuk masa yang akan datang yaitu melalui penerapan konsep Reinventing Government.

Sebelum membahas lebih dalam topik reinventing government, terlebih dahulu kita meninjau pengertian dari reinventing. Menurut David Osborne dan Peter Plastrik (1997) dalam bukunya Memangkas Birokrasi, Reinventing Government adalah “transformasi system dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas, efesiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, system insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan dan budaya system dan organisasi pemerintahan”. Pembaharuan adalah dengan penggantian system yang birokratis menjadi system yang bersifat wirausaha. Pembaharuan dengan kata lain membuat pemerintah siap untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam hal pelayanan terhadap masyarakat, menciptakan organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki efektifitas dan efisiensi pada saat sekarang dan di masa yang akan datang.

Dalam rangka mewujudkan konsep reinventing government, tidak ada salahnya kalau kita mencoba untuk mengetahui bagaimana proses perubahan yang terjadi pada negara-negara maju seperti: Australia, Selandia baru, Amerika serikat, Kanada, Inggris dsb yang berhasil melakukan reformasi birokrasi. Di Inggris pembaharuan mulai dilakukan pada awal tahun 1980 pada saat Margareth Thatcher menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris. Pada masa awal pemerintahannya, ia mengumumkan penyetopan rekrutmen pegawai dan pemotongan tiga persen dalam tubuh pamong praja, dan beberapa bulan kemudian menetapkan pemotongan lagi sebesar lima persen.

Disamping itu Thatcher juga meminta Darek Rayner yang pada saat itu menjabat sebagai pimpinan perusahaan ritel terkenal, Marks & Spencer untuk memimpin perang melawan pemborosan dan inefisiensi. Thatcher juga melakukan perubahan pada serikat pegawai sektor pemerintah, mendorong reformasi dengan melarang kerja piket tambahan. Tapi senjata besar Thatcher adalah privatisasi, yang mana dalam 11 tahun masa kepemimpinannya, pemerintah menjual lebih dari 40 BUMN utama dan banyak perusahaan kecil yang pada akhir tahun 1987 penjualan ini menghasilkan 5 milyar Poundsterling pertahunnya (Osborne dan Plastrik, 1997).

Prinsip-prinsip Reinventing Government

1. Mengarahkan Ketimbang Mengayuh (Steering Rather Than Rowing) Berfokus pada pengarahan, bukan pada produksi pelayanan public. •Memisahkan fungsi ”mengarahkan” (kebijaksanaan dan regulasi) dari fungsi ”mengayuh” (pemberian layanan dan compliance). •Peranan pemerintah lebih sebagai fasilitator dari pada langsung melakukan semua kegiatan operasional; •Metode-metode yang digunakan antara lain : privatisasi, lisensi, konsesi, kerjasama operasional, kontrak, voucher, insentif pajak, dll. Pemerintah harus menyediakan (providing) beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing). Pemerintah memfokuskan pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan kepada swasta atau pihak ketiga. Produksi pelayanan publik oleh Pemerintah harus dijadikan sebagai perkecualian, bukan suatu keharusan. Pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan pihak non publik.

2. Pemerintah adalah Milik Masyarakat : Memberdayakan Ketimbang Melayani (Empowering raher than Serving ). •Mendorong mekanisme control atas pelayanan lepas dari birokrasi dan diserahkan kepada masyarakat; •Masyarakat dapat membangkitkan komitmen mereka yang lebih kuat, perhatian lebih baik dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah; •Mengurangi ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Dengan adanya prinsip ini, Pemerintah sebaiknya memberi wewenang kepada masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang mampu menolong dirinya sendiri (community self-help).

3. Pemerintah yang kompetitif : Menyuntikkan persaingan dalam pemberian pelayanan (Injecting Competition into service Delivery) •Pemberian jasa/layanan harus bersaing dalam usaha berdasarkan kinerja dan harga •Persaingan adalah kekuatan yang fundamental yang tidak memberikan pilihan lain yang harus dilakukan oleh organisasi public; •Pelayanan public yang dilaksanakan oleh Pemerintah tidak bersifat monopoli tetapi harus bersaing •Masyarakat dapat memilih pelayanan yang disukainya.Oleh sebab itu pelayanan sebaiknya mempunyai alternative. Kompetisi merupakan satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.

4. Pemerintah Digerakkan oleh Misi : Mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan (Transforming Rule-Driven Organizations) menjadi digerakkan oleh misi (mission-driven). •Secara internal, dapat dimulai dengan mengeliminasi peraturan internal dan secara radikal menyederhanakan system administrasi. •Perlu ditinjau kembali visi tentang apa yang harus dilakukan oleh pemerintah •Misi pemerintah harus jelas dan peraturan perundangan tidak boleh bertentangan dengan misi tersebut. Apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh Pemerintah diatur dalam mandatnya. Tujuan Pemerintah bukan mandatnya, tetapi misinya. Contoh: Cara penyusunan APBD. APBD memang harus disusun berdasarkan suatu prosedur yang benar dan baku, tetapi pemenuhan prosedur bukanlah tujuan. Tujuan APBD adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

5. Pemerintah yang berorientasi hasil: Membiayai hasil bukan masukan (Funding outcomes, Not input). a.Berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif: membiayai hasil dan bukan masukan. b.Mengembangkan standar kerja, yang mengukur seberapa baik mampu memecahkan masalah. c.Semakin baik kinerja, semakin banyak dana yang dialokasikan untuk mengganti dana yang dikeluarkan unit kerja.

6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan: Memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi (Meeting the Needs of Customer, not be Bureaucracy) •Mengidentifikasi pelanggan yang sesungguhnya. •Pelayanan masyarakat harus berdasarkan pada kebutuhan riil, dalam arti apa yang diminta masyarakat •Instansi pemerintah harus responsif terhadap perubahan kebutuhan dan selera konsumen; •Perlu dilakukan penelitian untuk mendengarkan pelanggan mereka, •Perlu penetapan standar pelayanan kepada pelanggan •Pemerintah perlu meredesain organisasi mereka untuk memberikan nilai maksimum kepada para pelanggannya. •Menciptakan dual accountability (masyarakat dan bisnis, serta DPRD dan pejabat).

7. Pemerintah wirausaha: Menghasilkan ketimbang membelanjakan (Earning Rather than Spending) •Pemerintah wirausaha memfokuskan energinya bukan hanya membelanjakan uang (melakukan pengeluaran uang) melainkan memperolehnya. •Dapat diperoleh dari biaya yang dibayarkan pengguna dan biaya dampaknya (impact fees); pendapatan atas investasinya dan dapat menggunakan insentif seperti dana usaha (swadana) •Partisipasi pihak swasta perlu ditingkatkan sehingga dapat meringankan beban pemerintah. Contoh pelaksanaan : a.Dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan, misal : BPS dan Bappeda dapat menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian. b.BUMD menjual barang maupun jasa c.Memberi hak guna usaha, menyertakan modal dan lain-lain.

8. Pemerintah antisipatif (anticipatory government): Mencegah ketimbang Mengobati (Preventon Rather than Cure) •Bersikap proaktif •Menggunakan perencanaan strategis untuk menciptakan visi daerah. •Visi membantu meraih peluang tidak terduga, menghadapi krisis tidak terduga, tanpa menunggu perintah.

9. Pemerintah desentralisasi (decentralized government): Dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja (From Hierarchy to Participation and Teamwork) Dengan melihat beberapa tantangan dari masyarakat, diantaranya : (a) Perkembangan teknologi sudah sangat maju. (b) Kebutuhan masyarakat dan bisnis semakin kompleks. (c) Staf banyak yang berpendidikan tinggi Maka pemerintah perlu untuk : •Menurunkan wewenang melalui organisasi, dengan mendorong mereka yang berurusan langsung dengan pelanggan untuk lebih banyak membuat keputusan (Pengambilan keputusan bergeser kepada masyarakat, asosiasi, pelanggan, LSM.) •Tujuan : Untuk memudahkan partisipasi masyarakat, serta terciptanya suasana kerja Tim. •Pejabat yang langsung berhubungan dengan masyarakat (from-line workers) harus diberi kewenangan yang sesuai. Karena dengan kewenangan yang diberikan akan memeungkikan terjadinya koordinasi “cross functional” antar semua instansi yang terkait.

10. Pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar (market oriented government) : Mendongkrak perubahan melalui pasar (Leveraging change throught the Market) Mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar ( sistem insentif ) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan). Ada dua cara alokasi sumberdaya, yaitu mekanisme pasar dan mekanisme administratif. Mekanisme pasar terbukti yang terbaik di dalam mengalokasi sumberdaya. (a) Pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar, tidak memerintah dan mengawasi, tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar tidak merugikan masyarakat. (b) Lebih baik merekstrukturisasi pasar guna memecahkan masalah daripada menggunakan mekanisme administrasi seperti pemberian layanan atau regulasi, komando dan control; (c) Tidak semua pelayanan public harus dilakukan oleh pemerintah sendiri. (d) Kebijaksanaan public harus dapat memanfaatkan mekanisme pasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. (e) Partisipasi pihak swasta perlu ditingkatkan.

Relevansi Reinventing Government dengan Administrasi Publik di Indonesia.

Birokrasi memainkan peranan utama dalam pembangunan dan semakin kuat menunjukkan kecenderungan yang kurang baik: Sulit ditembus; Sentralistis; Top down; dan Hierarki sangat panjang. Birokrasi justru menyebabkan kelambanan, terlalu bertele-tele dan mematikan kreativitas. Birokrasi dianggap mengganggu mekanisme pasar, karena menciptakan distorsi ekonomi dan pada akhirnya menyebabkan inefisiensi organisasi. Era turbulance and uncertainty, teknologi informasi yang canggih, demanding community, dan persaingan ketat, menjadikan birokrasi tidak dapat bekerja dengan baik. Era globalisasi dan knowledge based economy, birokrasi perlu melakukan perubahan menuju profesionalisme birokrasi dan menekankan efisiensi.

Di Indonesia upaya deregulasi dan debirokratisasi sudah mulai dilakukan sejak tahun 1983, namun baru menyentuh sektor riil dan moneter, sementara debirokratisasi belum menyentuh sisi kelembagaan. Krisis sejak pertengahan 1997 telah menyebabkan: Jumah orang miskin meningkat; Pengangguran meningkat; Kriminalitas meningkat; dan Kualitas kesehatan menurun. Praktik Manajemen dan Administrasi Publik di Indonesia ditandai oleh Public service yang buruk; Ekonomi sangat birokratis; Kebocoran anggaran; dan Budaya KKN.

Rethinking the government merupakan upaya untuk menjadikan pemerintah lebih bertorientasi pada strategic thinking, strategic vision, and strategic management. Salah satu bentuk New Public Management adalah model pemerintahan Osborne and Gaebler (1992) yang tertuang di dalam konsep “Reinventing Government”.

Tantangan yang timbul dari prinsip reinventing antara lain:

1. Bagaimana mengimplementasikan konsep tersebut tanpa menimbulkan friksi yang justru akan menghambat efisiensi dan efektivitas birokrasi. Sebab prinsip reinventing government sesungguhnya baru mengena pada dimensi normatif, tetapi belum teruji secara empiris.

2. Bagaimana menemukan strategi praktis untuk mengadopsi prinsip reinventing government ke dalam system dan mekanisme pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Penataan Kelembagaan pemerintah melalui reinventing (Sunarno, 2008) antara lain :

1. REORIENTASI. Meredefenisikan visi, misi, peran, strategi, implementasi, dan evaluasi kelembagaan pemerintah.

2. RESTRUKTURISASI. Menata ulang kelembagaan pemerintah, membangun organisasi sesuai kebutuhan dan tuntutan publik.

3. ALIANSI. Mensinergikan seluruh aktor, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam tim yang solid.

Tujuan reformasi birokrasi adalah untuk mewujudkan good government yang didukung oleh penyelenggara Negara yang profesional dan bebas korupsi, kolusi, nepotisme serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga tercapai pelayanan prima (Sunarno, 2008). Sasaran reformasi birokrasi menurut Sunarno adalah terwujudnya birokrasi yang profesional, netral dan sejahtera yang mampu menempatkan dirinya sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat guna mewujudkan pelayanan masyarakat yang lebih baik; terwujudnya kelembagaan pemerintah yang profesional, fleksibel, efisien dan efektif baik di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah; terwujudnya ketatalaksanaan (pelayanan publik) yang lebih cepat, tidak berbelit-belit, mudah dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani.

Dari beberapa penjelasan diatas, maka bentuk dan peranan pemerintahan di masa mendatang adalah: Pemerintahan yang mendorong kompetisi antar pemberi jasa; Memberi wewenang kepada warga; Mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada hasil, bukan masukan; Digerakkan oleh tujuan/missi, bukan oleh peraturan; Menempatkan klien sebagai pelanggan dan menawarkan kepada mereka banyak pilihan; Lebih baik mencegah masalah ketimbang hanya memberi servis sesudah masalah muncul; Mencurahkan energinya untuk memperoleh uang, tidak hanya membelanjakan; Mendesentralisasikan wewenang dengan menjalankan manajemen partisipasi; Lebih menyukai mekanisme pasar ketimbang mekanisme birokratis; Memfokuskan pada mengkatalisasi semua sector – pemerintah, swasta, dan lembaga sukarela – kedalam tindakan untuk memecahkan masalah. Seluruh bentuk peranan pemerintahan yang diharapkan dimasa yang akan datang ini sesuai dengan Prinsip-prinsip dari Reinventing Government.

Peraturan Perundang-undangan

Fungsi utama pemerintah adalah memberikan pelayanan, menyelenggarakan pembangunan dan menyelenggarakan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya, dengan menciptakan ketentraman dan ketertiban yang mengayomi dan mensejahterakan masyarakatnya. Penyelenggaraan pelayanan publik memiliki aspek dimensional, oleh karena itu dalam pembahasan dan menerapkan strategi pelaksanaannya tidak dapat hanya didasarkan pada satu aspek saja, misalnya hanya aspek ekonomi atau aspek politik. Pendekatannya harus terintegrasi melingkupi aspek lainnya, seperti aspek sosial budaya, kondisi geografis dan aspek hukum/peraturan perundang-undangan.

Pendekatan penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan pada satu aspek, hanya akan menghasilkan solusi parsial bagi pembenahan dan peningkatan pelayanan publik. Aspek hukum/peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan yang mengatur pelayanan publik menjadi salah satu aspek penting sebagai landasan pijak penyelenggaraan pelayanan publik.

Dalam konteks good governance, untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik, selain didasarkan pada kriteria atau unsur-unsur kepemerintahan yang baik, diperlukan kebijakan pemerintahan dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan operasionalnya. Oleh karena itu, aspek hukum dan peraturan perundang-undangan menjadi dasar pendekatan utama di dalam membahas pelayanan publik.

Dengan demikian dalam membahas pelayanan publik, seharusnya kita terlebih dahulu mengetahui dan memahami landasan hukum dan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan pelayanan publik. Untuk memberikan tambahan pengetahuan, ada beberapa teori yang menjelaskan peran pemerintah daerah sebagai penyedia pelayanan publik dan sebagai lembaga politik. Penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah daerah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Diantaranya dikemukakan pendapat seorang pakar, yaitu; Steve Leach dkk, dalam bukunya The Changing Organization And Management Of Local Government, hal 4, menyatakanThe most fundamental of these key differences is that the local authority is not merely a provider of goods services, it is also both a governmental and a political institution, constituted by local election”

“Local authorities are not only providers of services; they are also political institutions for local choice and local voice.The key issue for management of local government is how to achieve an organization that not merely carries out one role but carries out both roles , not separately but in interaction”. As a services provider the organization of local authority aims to meet the demands, needs or aspirations of those for whom the service is provided. But the service has to be provided in accordance with public policy as determined by the local authority or defined by national legislation.

Pemerintahan daerah pada dasarnya mempunyai dua peran, yaitu sebagai lembaga penyedia pelayanan dan sebagai institusi politik, pelaksanaan kedua peran tersebut harus terintegrasi. Dalam memberikan pelayanan publik, Pemerintahan Daerah harus mengetahui dan memahami kebutuhan, serta memperhatikan aspirasi masyarakat pemilihnya. Penyediaan pelayanan, disesuaikan dengan kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah daerah atau pemerintah, artinya penyelenggaraan pelayanan harus didasarkan pada aturan hukum dan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Daerah atau Pemerintah.

Dalam kontek di Indonesia, pengaturan pelayanan publik diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan Sektoral, diantaranya dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah dan perubahannya. Pemerintahan Daerah menurut Undang Undang nomor 32 tahun 2004, adalah Pemerintah Daerah dan DPRD atau dikenal dengan eksekutif dan legislative, kedua lembaga ini yang memiliki fungsi menyelenggarakan pelayanan publik dan fungsi sebagai lembaga politik. Pada hakekatnya, Kepala Daerah adalah lembaga politik yang harus dipahami bahwa keberadaannya sebagai Top Pimpinan Daerah, adalah karena dipilih oleh masyarakat (konstituen) melalui proses politik. Dengan pengertian lain, dalam prosesnya diajukan oleh kereta Partai Politik untuk dipilih oleh masyarakat, melalui proses pemilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADAL).

Oleh karenanya, kebijakan penyelenggaraan pelayanan publik di daerah, dalam prakteknya dipengaruhi oleh komitmen politik dari Kepala Daerah terhadap partai politik pengusungnya dan konstituennya.

a. Kebijakan pelayanan publik, saat ini diatur dan tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan antara lain;

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan peraturan perundang- undangan sektoral dan kebijakan lainnya;

4) Beberapa peraturan perundang-undangan dan pedoman yang dikeluarkan oleh Pemerintah (kurun waktu 1993-1998) dan berkaitan dengan kebijakan pelayanan publik antara lain;

a) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat;

b) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1993 Tentang Izin Mendirikan Bangunan dan Izin Undang-undang Gangguan Bagi Perusahaan Industri;

c) Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Pemberian Izin Mendirikan Bangunan dan Izin Undang-Undang Gangguan Bagi Perusahaan Industri;

d) Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 1996 tentang Penyusunan Buku Petunjuk Pelayanan Perizinan Terpadu;

e) Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 1998 tentang Pelayanan Satu Atap di Daerah;

f) Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Apartur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum;

g) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 503/2931/PUOD perihal PetunjukTeknis Pelaksanaan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 1996 tentang Penyusunan Bukuk Petunjuk Pelayanan Perizinan Terpadu;

h) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 503/125/PUOD perihal Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Perizinan di Daerah, dan Peraturan perundang-undangan dan pedonan/ petunjuk lainnya yang dikeluarkan oleh Pemerintah (Departemen, Kementerian, Badan dan Lembaga yang terkait dengan peningkatan pelayanan publik).

Memperhatikan peraturan perundang-undangan dan kebijakan dari pemerintah tersebut, menunjukan arah kebijakan pelayanan publik adalah untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik. Diharapkan dengan kinerja manajemen pelayanan yang baik, dapat memperbaiki dan meningkatkan pelayanan kualitas layanan. Disamping itu, dapat memperbaiki citra pelayanan publik yang buruk, memperkuat daya saing daerah, mendorong peningkatan investasi dan pengembangan perekonomian daerah, serta menciptakan efisiensi dan efektfitas pelayanan umum. Sehingga pada gilirannya mampu mewujudkan kepemerintahan yang baik dan dpercaya oleh masyarakat. Kebijakan pemerintah tersebut, mendapat respon positif dari Daerah, dan lebih 100 daerah Kabupaten dan Kota (s/d tahun 2003), telah membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT) atau Unit Pelayanan Tepadu Satu Atap (UPTSA) atau Unit Pelayanan Satu Pintu.

Dalam perkembangannya, sebagian besar UPT/UPTSA/Unit Pelayanan Satu Pintu di daerah, mati suri dan bahkan tidak berfungsi, atau berubah kembali ke kegiatan pelayanan tradisional yang secara fungsional dilaksanakan oleh masing Dinas/Instansi yang membidangi pelayanan perizinan dan non perizinan. Kondisi tersebut disebabkan antara lain: memudarnya komitmen top pimpinan dan jajarannya, kurangnya rasa memiliki dan tanggung jawab bersama untuk mencapai visi, misi dan tujuan organisasi, dan kuatnya ego atau kepentingan unit organisasi tertentu untuk mempertahankan kewenangan pemberian izin. Disisi lain, masalah legalitas organisasi, regulasi dan sumber daya manusia serta dukungan biaya operasional dan sarana pendukung yang tidak memadai, menjadi faktor penyebab lembaga pelayanan terpadu dibeberapa daerah tidak berfungsi optimal.

Memperhatikan kondisi tersebut diatas, dengan semangat reformasi dan upaya melaksanakan kepemerintahan yang baik (good governance), serta untuk mengerakkan kembali semangat memperbaiki dan meningkatkan kinerja pelayanan umum, khususnya pelayanan perizinan, pemerintah memperbaharui kebijakan di bidang pelayanan umum, dengan mengeluarkan berbagai peraturan perundangan dan pedoman antara lain:

1) Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

2) Keputusan MENPAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik;

3) Keputusan MENPAN Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Instansi Pelayanan Pemerintah;

4) Keputusan MENPAN Nomor KEP/26/M.PAN/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaran Pelayanan Publik;

5) Peraturan MENPAN Nomor PER/20/M.PAN/04/2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik;

6) Peraturan MENDAGRI Nomor 24 Tahu 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Paradigma Kebijakan Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah Konsepsi Kebijakan Otonomi Daerah

Kebijakan desentralisasi pada hakekatnya memiliki tujuan utama, yaitu tujuan politik dan tujuan administratif. Tujuan politik, diarahkan untuk memberi ruang gerak masyarakat dalam tataran pemgembangan partisipasi, akuntabilitas, transparansi dan demokrasi. Disisi lain dari pendekatan aspek pemdemokrasian daerah, memposisikan Pemerintahan Daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal. Diharapkan pada saatnya, secara agregat daerah memberikan kontribusi signifikan tehadap perkembangan pendidikan politik secara nasional, dan terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administratif, memposisikan Pemerintah Daerah sebagai unit pelayanan yang dekat dengan masyarakat yang diharapkan dapat berfungsi maksimal dalam menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.

Berdasarkan tujuan politik dan administratif tersebut diatas, menjadi jelas bahwa misi utama dari keberadaan Pemerintahan Daerah, adalah bagaimana mensejahterakan warga dan masyarakatnya melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis, dengan cara-cara yang demokratis.

Konsep kebijakan pemberian otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab pada dasarnya diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Melalui peningkatan pelayanan publik dan pemberdayaan peran serta masyarakat, daerah diharapkan mampu mengembangkan kreativitas, inovasi, dan dengan komitmennya berupaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pada pada saatnya, daerah diharapkan mampu mengembangkan potensi unggulannya dan mendorong peningkatan daya saing daerah, dan pada gilirannya mampu meningkatkan perkonomian daerah.

Prinsip otonomi yang nyata, adalah memberikan diskresi atau keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan atau kewenangan bidang pemerintahan tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan urusan yang secara nyata hidup dan berkembang, di masyarakat daerah yang bersangkutan. Prinsip otonomi yang bertanggung jawab, berkaitan dengan tugas, fungsi, tanggungjawab dan kewajiban daerah di dalam pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah. Artinya Pemerintahan Daerah harus mempertanggung-jawabkan hak dan kewajibannya kepada masyarakat atas pencapaian tujuan otonomi daerah. Wujud tanggung jawab tersebut harus tercermin dan dibuktikan dengan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik berdasarkan prinsip-prinsip pelayanan publik, pengembangan demokrasi, keadilan dan pemerataan bagi masyarakat daerahnya.

Otonomi daerah yang luas, tidak bermakna bahwa daerah semena-mena atau sebebas-bebasnya melakukan tindakan dan perbuatan hukum berdasarkan selera, keinginan yang mengedepankan ego daerah. Penyelenggaraan otonomi yang luas, harus sejalan, selaras dan dilaksanakan bersama-sama dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, dan memperhatikan keserasian hubungan antar pemerintahan daerah dan pemerintah nasional. Konsep otonomi daerah yang luas inilah yang pada umumnya belum dipahami secara utuh di daerah.

Konsepsi Kebijakan Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah

Paradigma kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang diatur melalui berbagai macam peraturan perundang-undangan, hakekatnya untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik. Konsep pemberian otonomi kepada daerah dan konsep desentralisasi yang telah diuraikan diatas, mengandung pemahaman bahwa kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah, adalah dalam kerangka terselenggaranya kepemerintahan yang baik. Perwujudannya, adalah tanggung jawab dan kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan publik guna mensejahterakan masyarakat di daerahnya.

Otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat…”. Daerah otonom selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.

Definisi tersebut dapat diartikan, bahwa otonomi daerah sebenarnya diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan guna kepentingan mensejahterakan masyarakatnya sendiri. Pengertian kesatuan masyarakat hukum dapat diartikan, sekelompok masyarakat yang melembaga yang memiliki tatanan hubungan, aturan, adat istiadat, kebiasaan dan tata cara untuk mengatur dan mengurus kehidupannya dalam batas wilayah tertentu. Dalam kontek Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang diberi hak,wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah dan selanjutnya disebut Daerah.

Dengan demikian, penyelenggara otonomi daerah sebenarnya adalah perwujudan dari kesatuan masyarakat hukum, dan selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 32/2004 disebut Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah. Disini, mengandung dua pengertian; yaitu dalam arti institusi adalah Pemerintah Daerah dan DPRD, dan dalam arti proses adalah kegiatan penyelenggaran pemerintahan daerah.

Pemerintah Daerah dan DPRD adalah penanggung jawab peyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, dalam pelaksanaannya sesuai dengan fungsinya seharusnya berorientasi dan/atau didasarkan pendekatan kesejahteraan, untuk memberikan pelayanan yang prima sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.

Konsep otonomi daerah telah membuka sekat komunikasi, transparansi, akuntabilitas dan persamaan hak masyarakat di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah. Artinya otonomi daerah, memberikan dan membuka kesempatan luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan semakin memahami hak-haknya mendapatkan pelayanan dari pemerintah daerah. Otonomi daerah juga, membuka kesempatan kepada kaum perempuan (pengarusutamaan gender) untuk berperan di dalam birokrasi pemerintahan dan mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan.

Masyarakat semakin kritis dan berani untuk menyampaikan aspirasi dan melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah daerahnya. Harus diakui, pelaksanaan otonomi daerah, dengan kekurangan dan kelebihannya berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, terutama dalam proses memberdayakan masyarakat (empowering) dan memberikan pendidikan politik (demokrasi).

Dilihat dari tujuan pemberian otonomi, kondisi dan perkembangan masyarakat yang dinamis tersebut, memberikan sinyal peringatan bagi pemerintah daerah, dan merupakan tantangan tersendiri yang harus disikapi positif oleh para pemimpin/pengambil kebijakan dan jajaran aparat penyelenggara pelayanan publik. Konsep kebijakan pelayanan publik yang dikemas melalui produk hukum dan/atau kebijakan daerah, umumnya masih didasarkan pada pendekatan kekuasaan atau kewenangan (rule government) yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah daerah dan/atau birokrasi, dan kurang berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan yang diharapkan masyarakat. Konsep kebijakan pelayanan publik apakah berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat (pelanggan) atau berorientasi pada kepentingan pemerintah daerah dan/atau aparat birokrasi (PAD = pendapatan asli daerah atau pendapatan diri sendiri) sangat dipengaruhi dan tergantung dari konsep manajemen pemerintahan yang digunakan. Penggunaan manajemen pemerintahan by kekuasaan atau kewenangan dan pendekatan pangreh praja (kebiasaan dilayani, memerintah dan menyalahkan) seharusnya sudah ditinggalkan.

Konsep kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang berorientasi pelayanan, pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (pelanggan) dan memberdayakan (empowerment) staf penyelenggara pelayanan dan masyarakat. Oleh karena itu, bobot orientasi pelayanan publik, seharusnya untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang kurang mampu atau miskin, Apapun alasannya, tidak seharusnya pelayanan mengutamakan hak-hak atau kepentingan kalangan yang berkemampuan atau pengusaha. Diperlukan keseimbangan pola pikir dari para penyelenggara pelayanan di dalam menyikapi kondisi nyata di daerah.

Konsep Pembagian Urusan dan Kewenangan Pelayanan Dasar

Esensi dasar dari keberadaan pemerintah, adalah untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban (maintain law and order) serta sebagai instrumen untuk mensejahterakan rakyat. Dalam kaitan dengan Pemerintah Daerah (Pemda), mengindikasikan bahwa adanya Pemda adalah untuk mensejahterakan masyarakatnya yang secara universal diukur dengan kemampuan untuk meningkatkan pencapaian indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI). Indikator HDI, diantaranya dapat diketahui dari keadaan dan kondisi kesehatan, pendidikan, pendapatan masyarakat, kondisi lingkungan dan lainnya.

Untuk mencapai indeks HDI yang lebih tinggi ; Kata kuncinya adalah “pelayanan publik” (public services), yaitu sejauhmana kemampuan Pemda untuk memberikan pelayanan publik yang optimal kepada masyarakatnya. Pelayanan publik seyogyanya sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

Konsekuensi pemberian urusan dan kewenangan

Keberadaan Pemda adalah untuk menciptakan keterntraman dan ketertiban (maintain law and order) serta sebagai instrumen untuk mensejahterakan rakyat. Dengan demikian, konsekuensi keberadaan Pemerintahan Daerah adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan keberagaman daerah. Konsekuensi dari keberagaman daerah, adalah bahwa urusan yang dilimpahkan berbeda atau tidak sama persis antara satu daerah dengan daerah yang lain. Seharusnya urusan yang dilimpahkan disesuaikan dengan perbedaan karakter geografis, potensi, keunikan sosial budaya dan mata pencaharian utama penduduknya.

Dengan demikian, jenis dan jumlah urusan dan kewenangan yang diserahkan kepada daerah seharusnya beragam atau tidak sama. Namun demikian, ada urusan yang sama dan mutlak harus diselenggarakan oleh semua daerah Kabupaten/Kota, yaitu urusan atau kewenangan wajib di bidang pelayanan dasar yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat (basic need), dengan gradasi yang berbeda. Sedangkan yang membedakan jumlah dan jenis urusan dan kewenangan antara satu daerah dengan daerah lainnya adalah urusan dan kewenangan pilihan yang menjadi unggulan daerah (core competence).

Pemberian otonomi daerah, selain menimbulkan konsekuensi adanya perbedaaan jumlah dan jenis urusan pilihan antara satu daerah dengan daerah yang lainnya, juga menimbulkan konsekuensi bagi daerah untuk berusaha bagaimana dapat menghidupi kegiatan pemerintahannya. Ironisnya, konsekuensi tersebut dibebankan kepada masyarakat, dengan berbagai kebijakan pajak, retribusi dan pungutan lainnya, seperti biaya pembuatan KTP, Kartu Keluarga, dan biaya perizinan dan non perizinan yang hakekatnya tidak berkait dengan prinsip pengenaan retribusi. Seharusnya, daerah dituntut mengembangkan kreativitas, inovasi untuk menciptakan peluang untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia dan daerahnya, dengan membuat kebijakan-kebijakan yang memberi peluang kepada masyarakat untuk berperan sebagai subjek pembangunan, mengembangkan dan mengelola potensi daerahnya, serta meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan. Contoh; Kabupaten Jembrana dan Sragen, dengan keterbatasan potensi sumber daya alam dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang relative rendah, mengembangkan kreativitas dan inovasi, melalui berbagai kebijakannya mampu meningkatkan kinerja manajemen pemerintahannya yang efesien dan efektif. Kebijakan dan inovasi tersebut, memberikan peluang kepada masyarakat kurang mampu/miskin untuk mendapatkan kesempatan meningkatkan kesejahteraannya, melalui kebijakan pendidikan, kesehatan dan kesempatan berusaha.

Pelayanan yang dibutuhkan Masyarakat

Pada dasarnya kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dapat dikelompokkan kedalam dua hal: (a) Kebutuhan dasar (basic needs) seperti kesehatan, pendidikan, air, lingkungan, keamanan, sarana dan prasarana perhubungan dan sebagainya; (b) Kebutuhan pengembangan sektor unggulan (core competence) masyarakat seperti pertanian, perkebunan, perdagangan, industri dan sebagainya, sesuai dengan potensi dan karakter daerahnya masing-masing.

Dalam konteks otonomi, daerah harus mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan yang berkaitan dengan kedua kelompok kebutuhan diatas. Kebutuhan dasar (basic needs) adalah hampir sama di seluruh daerah otonom di Indonesia, hanya gradasi kebutuhannya saja yang berbeda. Sedangkan kebutuhan pengembangan sektor unggulan dan penduduk, sangat erat kaitannya dengan potensi, karakter, pola pemanfaatan dan mata pencaharian penduduknya. Dengan demikian, yang membedakan jumlah, jenis urusan dan kewenangan antara daerah adalah, urusan pilihan yang berkaitan kewenangan pengembangan sektor unggulan.

Esensi pemberian urusan dan kewenangan

Dari uraian diatas, terlihat bahwa esensi dari pemberian urusan dan kewenangan pemerintahan kepada daerah, berapapun luasnya, harus diterjemahkan menjadi kewenangan untuk “melayani” sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan kebutuhan masyarakat adalah pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) dan kebutuhan pengembanan sector unggulan (core competence). Kewenangan dibutuhkan daerah untuk menjalankan urusannya, guna memungkinkan daerah mampu menyediakan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar dan pengembangan sektor unggulan. Dengan demikian, esensi otonomi riil yang diberikan kepada daerah adalah, kewenangan untuk memberikan pelayanan yang riil dibutuhkan masyarakat. Kata kunci otonomi daerah adalah adanya Kewenangan Daerah untuk “melayani” masyarakatnya agar sejahtera.

Distribusi Urusan dan Kewenangan

Menjadi persoalan krusial bagaimana mendistribusikan Urusan dan Kewenangan. Urusan dan Kewenangan ibarat mata uang logam yang memiliki dua sisi berbeda dan tidak dapat dipisahkan di dalam pelaksanannya, artinya ada urusan tapi tidak punya kewenangan dan atau sebaliknya, sama dengan tidak memiliki urusan dan kewenangan.

Distribusi urusan dan kewenangan kepada masing-masing pemerintahan yang ada yaitu: Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota, pada hakekatnya untuk menjamin keberlangsungan pemberian pelayanan publik. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, dalam kontek pemberian otonomi dan desentralisasi, esesensi distribusi urusan dan kewenangan adalah membagi tanggung jawab pelayanan kepada masyarakat di daerah sesuai dengan susunan pemerintahan. Artinya ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota atau kewenangan bersama (concurrent), dan ada yang menjadi kewenangan mutlak Pemerintah. Kabupaten dan Kota, pada dasarnya hanya memiliki kewenangan yang terbatas dan berskala lokalitas sesuai batasan dampak eksternalitas dan tanggungjawabnya, seperti; penyediaan air minum, kebersihan, pertamanan, pemakaman, saluran limbah (sewage) dan pemadam kebakaran.

Urusan-urusan yang menjadi kewenangan bersama (concurrent function) adalah urusan yang memiliki keterkaitan langsung antar susunan pemerintahan dan/atau urusan yang menjadi kewenangan bersama antar susunan pemerintahan yang pengaturan dan pengurusannya dilakukan bersama. Pengaturan dan pengurusan urusan tersebut, sesuai dengan pembagiannya, seperti dibidang; pendidikan, kesehatan, perhubungan, kehutanan, pertambangan, ketenagakerjaan, penanaman modal dan seterusnya.

Untuk mengatur distribusi kewenangan tersebut, diperlukan ukuran atau kriteria yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pembagian kewenangan, terutama kriteria untuk mengatur kewenangan yang bersifat concurrent, yaitu: (1) Externalitas. Siapa yang terkena dampak (externalitas) langsung, dialah yang berwenang mengurus, contohnya seperti; air minum, sampah, pertamanan, dampaknya lokalitas dan menjadi urusan, kewenangan dan tanggung jawab daerah Kabupaten/Kota; (2) Akuntabilitas. Unit pemerintahan yang menangani urusan yang paling dekat dampaknya dengan masyarakat, akaan lebih akuntabel daripada urusan tersebut ditangani oleh unit pemerintahan yang lebih tinggi atau jauh dari masyarakat; (3) Efisiensi, prinsip pemberian urusan dan kewenangan adalah untuk menciptakan efisiensi, efektifitas dan ekonomis dalam penyelenggaraan pelayanan. Diperlukan kesesuaian antara skala ekonomis dengan cakupa area layanan (catchment area), kalau cakupan layanannya lokalitas menjadi urusan daerah kalau cakupan layanannya lebih luas (regional) menjadi urusan Provinsi seperti; pengelolaan aliran sungai; kehutanan dan lainnya. (4) Keserasian hubungan pemerintahan antar susunan pemerintahan. Terdapat hubungan antar kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten dan Kota yang bersifat interelasi, interkoneksi serta interdependensi, namun tidak ada hierarkhi.

Kewenangan dari masing-masing susunan pemerintahan berhubungan dan saling tergantung, namun tidak membawahi satu dengan yang lain. Dalam melaksanakan kewenangannya, masing-masing memiliki diskresi dan independensi. Intervensi dari Pemerintah Pusat lebih bersifat fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building) manakala daerah tidak mampu melaksanakan kewenangannya sesuai norma dan standar yang ditetapkan.

Setiap bidang kewenangan concurrent yang menjadi domain dari suatu susunan pemerintahan tidak bisa berdiri sendiri atau terlepas satu dengan lainnya, oleh karenanya dalam pelaksanaannya harus saling mengisi dan menunjang agar dicapai keserasian hubungan antar susuna pemerintahan, dalam kerangka ikatan NKRI. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan distribusi urusan kewenangan berdasarkan keempat kriteria tersebut diatas, dan diatur dalam pasal 13 dan 14 yang dikenal dengan urusan pelayanan dasar yang wajib dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

Pelayanan Publik

Pelayanan Umum menurut Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan: “Sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintahan di Pusat dan Daerah, dan di lingkungan BUMN/BUMD dalam bentuk barang dan/atau jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangkat pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Departemen Dalam Negeri (Pengembangan Kelembagaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, 2004) menyebutkan bahwa; “Pelayanan Publik adalah Pelayanan Umum”, dan mendefinisikan “Pelayanan Umum adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal tercipta kepuasan dan keberhasilan. Setiap pelayanan menghasilkan produk, baik berupa barang dan jasa”.

Black (1979) mendefinisikan Pelayanan Publik sebagai berikut “Something in which the public, the community at large, has some pecuniary interest, or some interest by which their legalrights or liabilities are affected. It does not mean anything so narrow as mere, or as the interest of particular localities”. Sedangkan Davit Mc Kevitt; dalam bukunya Managing Core Public Services (1998), membahas secara spesifik mengenai inti pelayanan publik yang menjadi tugas pemerintah dan pemerintah daerah, menyatakan bahwa “Core Public Services my be defined as those sevices which are important for the protection and promotion of citizen well-being, but are in areas where the market is incapable of reaching or even approaching a socially optimal state; heatlh, education, welfare and security provide the most obvious best know example”.

Dari beberapa pengertian pelayanan dan pelayanan publik yang diuraikan tersebut, dalam kontek pemerintah daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan.

Dengan demikian, terdapat 3 unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu unsur pertama, adalah organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu Pemerintah Daerah, unsur kedua, adalah penerima layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan, dan unsur ketiga, adalah kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh penerima layanan (pelanggan).

Unsur pertama menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki posisi kuat sebagai (regulator) dan sebagai pemegang monopoli layanan, dan menjadikan Pemda bersikap statis dalam memberikan layanan, karena layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan oleh orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan. Posisi ganda inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab buruknya pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah, karena akan sulit untuk memilah antara kepentingan menjalankan fungsi regulator dan melaksanakan fungsi meningkatkan pelayanan.

Unsur kedua, adalah orang, masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya tawar atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan, sehingga tidak memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Posisi inilah yang mendorong terjadinya komunikasi dua arah untuk melakukan KKN dan memperburuk citra pelayanan dengan mewabahnya Pungli, dan ironisnya dianggap saling menguntungkan.

Unsur ketiga, adalah kepuasan pelanggan menerima pelayanan, unsur kepuasan pelanggan menjadi perhatian penyelenggara pelayanan (Pemerintah), untuk menetapkan arah kebijakan pelayanan publik yang berorienntasi untuk memuaskan pelanggan, dan dilakukan melalui upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan daerah.

Paradigma kebijakan publik di era otonomi daerah yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, memberikan arah untuk dilakukannya perubahan pola pikir aparatur pemerintah daerah, di dalam menyikapi perubahan dan/atau pergeseran paridgma penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih berorientasi pelayanan. Kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang semula didasarkan pada paradigma rule government yang mengedepankan prosedur, berubah dan/atau bergeser menjadi paradigma good governance yang mengedepankan kebersamaan, transparansi, akuntabilitas, keadilan, kesetaraan dan kepastian hukum.

Dengan demikian, pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai regulator (rule government) harus mengubah pola pikir dan kinerja penyelenggaranya, disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan publik, Pemerintah Daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada warga dan masyarakat, mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi, akuntabilitas, keadilan dan kepastian hukum.

Konsepsi Pelayanan Publik

Konsepsi pelayanan publik, berhubungan dengan bagaimana meningkatkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dan/atau pemerintahan daerah menjalankan fungsi pelayanan, dalam kontek pendekatan ekonomi, menyediakan kebutuhan pokok (dasar) bagi seluruh masyarakat. Kebutuhan pokok masyarakat akan terus berkembang seiring dengan tingkat perkembangan sosio-ekonomi masyarakat. Artinya, pada tingkat perkembangan tertentu, sesuatu jenis barang dan jasa yang sebelumnya dianggap sebagai barang mewah, dan terbatas kepemilikannya atau tidak menjadi kebutuhan pokok, dapat berubah menjadi barang pokok yang diperlukan bagi sebagian besar masyarakat.

Dengan demikian, perubahan dan perkembangan konsep kebutuhan pokok masyarakat, terkait erat dengan tingkat perkembangan sosial-ekonomi masyarakat yang dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, serta perubahan politik.

Hasil pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi erat kaitannya dengan partisipasi masyarakat yang mendorong perhumbuhan tersebut, dan harus didistribusikan dan dialokasikan secara adil dan merata kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Pengaturan distribusi dan alokasi tersebut, sesuai dengan fungsinya dijalankan oleh birokrasi lembaga-lembaga pemerintahan dan /atau pemerintahan daerah, sebagai wujud dari fungsi pelayanan berdasarkan kepentingan publik yang dilayani.

Penyediaan pelayanan dasar (core public services) dalam kontek pendekatan sosial, berhubungan dengan penyediaan pelayanan dibidang pendidikan dan kesehatan. Secara ekonomis, penyediaan pelayanan dasar tersebut tidak memberikan keuntungan finansial atau PAD kepada Daerah, dan bahkan membutuhkan biaya dalam jumlah yang besar untuk menyediakan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Penyediaan pelayanan pendidikan dan kesehatan harus dilihat sebagai investasi jangka panjang yang harus disikapi secara bijak dengan pandangan dan pemikiran jauh kedepan, karena hasilnya baru akan dinikmati oleh masyarakat dan pemerintah/pemerintah daerah dimas mendatang. Kebijakan penyediaan pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan, pada hakekatnya menjadi tugas dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah, untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Secara teoritik, Birokrasi Pemerintahan memiliki tiga fungsi utama, yaitu; fungsi pelayanan, fungsi pembangunan dan fungsi pemerintahan umum.

a. Fungsi pelayanan, berhubungan dengan unit organisasi pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Fungsi utamanya, memberikan pelayanan (service) langsung kepada masyarakat.

b. Fungsi pembangunan, berhubungan dengan unit oganisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang tugas tertentu disektor pembangunan. Fungsi pokoknya adalah development function dan adaptive function.

c. Fungsi pemerintahan umum, berhubungan dengan rangkaian kegiatan organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum (regulasi), temasuk di dalamnya menciptakan dan memelihara ketentraman dan ketertiban. Fungsinya lebih dekat pada fungsi pengaturan (regulation function).

Ketiga fungsi birokrasi pemerintahan tersebut, menunjukan bahwa pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah, cakupannya sangat luas yaitu pelayanan yang menghasilkan public good, seperti jalan, jembatan, pasar dan lain-lain, dan pelayanan yang menghasilkan peraturan perundang-undangan atau kebijakan (fungsi regulasi), yang harus dipatuhi oleh masyarakat seperti perizinan, KTP, SIM, IMB, dan lain-lain.

Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Penyelengaraan pelayanan publik, dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik, yaitu; penyelenggara Negara/pemerintah, penyelenggara perekonomian dan pembangunan, lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah, badan usaha/badan hukum yang diberi wewenang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik, badan usaha/badan hukum yang bekerjasama dan/atau dikontrak untuk melaksanakan sebagaian tugas dan fungsi pelayanan publik. Dan masyarakat umum atau swasta yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik yang tidak mampu disediakan oleh pemerintah/ pemerintah daerah.

Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Sepuluh Prinsip pelayanan umum diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, kesepuluh prinsip tersebut adalah sebagai berikut; Kesederhanaan; Kejelasan ;Kepastian waktu; Keamanan; Tanggung jawab; Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung; Kemudahan Akses; Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan; Kenyamanan.

Standar Pelayanan Publik

a. Setiap Penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan, sebagai jaminan adanya kepastian bagi pemberi didalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dan bagi penerima pelayanan dalam proses pengajuan permohonannya. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai pedoman yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan, dan menjadi pedoman bagi penerima pelayanan dalam proses pengajuan permohonan, serta sebagai alat control masyarakat dan/atau penerima layanan atas kinerja penyelenggara pelayanan.

Oleh karena itu perlu disusun dan ditetapkan standar pelayanan sesuai dengan sifat, jenis dan karakteristik layanan yang diselenggarakan, serta memperhatikan kebutuhan dan kondisi lingkungan.

Dalam proses perumusan dan penyusunannya melibatkan masyarakat dan/atau stakeholder lainnya (termasuk aparat birokrasi) untuk mendapatkan saran dan masukan, membangun kepedulian dan komitmen meningkatkan kualitas pelayanan.

b. Standar Pelayanan Publik menurut Keputusan Menteri PAN nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, sekurang-kurangnya meliputi:

1) Prosedur pelayanan;

2) Waktu Penyelesaian;

3) Biaya Pelayanan;

4) Produk Pelayanan;

5) Sarana dan Prasarana;

6) Kompetensi petugas pelayanan;

Selanjutnya untuk melengkapi standar pelayanan tersebut diatas, ditambahkan materi muatan yang dikutip dari rancangan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik, karena dianggap cukup realistis untuk menjadi materi muatan Standar Pelayanan Publik, sehingga susunannya menjadi sebagai berikut;

a. Dasar Hukum

b. Persyaratan;

c. Prosedur pelayanan;

d. Waktu Penyelesaian;

e. Biaya Pelayanan;

f. Produk Pelayanan;

g. Sarana dan Prasarana;

h. Kompetensi petugas pelayanan;

i. Pengawasan intern;

j. Pengawasan extern;

k. Penanganan Pengaduan, saran dan masukan;

l. Jaminan pelayanan.

Tambahan materi muatan standar pelayanan publik tersebut diatas dimaksudkan untuk melengkapi, pertimbangannya cukup realiistis dengan memasukan materi muatan dasar hukum dapat memberikan kepastian adanya jaminan hukum/legalitas standar pelayanan tersebut. Disamping itu, persyaratan, pengawasan, penanganan pengaduan dan jaminan pelayanan bagi pelanggan perlu dijadikan materi muatan standar pelayanan publik.

Penyusunan standar pelayanan publik harus disusun dengan baik dan tidak rumit, untuk itu harus mempertimbangkan aspek; kemampuan, kelembagaan dan aparat penyelenggara pelayanan, serta potensi daerah dan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, standar pelayanan publik yang ditetapkan dapat dilaksanakan dengan baik, terutama oleh para pelaksana operasional pelayanan yang berhadapan langsung dengan masyarakat, serta mudah dimengerti dan diterima oleh masyarakat/stakeholder.

Dalam pembahasan, perumusan dan penyusunan standar pelayanan seharusnya melibatkan aparat yang terkait dengan pelayanan, untuk tujuan membangun komitmen bersama tercapainya tujuan yang ditetapkan dalam visi, misi organisasi. Tidak kalah pentingnya dalam proses perumusan dan pembahasannya, melibatkan masyarakat/stakeholder, dan dilakukan tidak bersifat formalitas

Maklumat Pelayanan Publik

Istilah maklumat pelayanan, dimaksudkan memiliki kesamaan dengan istilah Service Charter, merupakan suatu dokumen yang memuat dan menjelaskan informasi mengenai penyelenggaran pelayanan publik dan standar pelayanan publik yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik, untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Maklumat pelayanan juga sebagai salah satu cara pendekatan dalam penyelenggaraan pelayanan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, yang ditujukan untuk memuaskan pelanggan atau penerima jasa pelayanan.

Maklumat pelayanan, pada dasarnya untuk mengikat penyelenggara pelayanan, dan menjadi patokan atau pedoman bagi aparat penyelenggara pelayanan publik di dalam menjalankan tugas dan fungsi menyediakan dan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Penyelenggara terikat dengan ketentuan dalam maklumat, seperti; disiplin dan ketaatan melaksanakan prosedur operasioanal, menerapkan ketentuan persyaratan, biaya, waktu untuk proses dan penyelesaian, mekanisme dan proses pengelolaan penyelesaian pengaduan/sengketa, serta tanggungajawab pelaksanaan pelayanan publik.

Maklumat pelayanan, merupakan bentuk legalitas yang memberikan hak kepada masyarakat untuk mendapatkan akses mendapatkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan dan kebutuhannya, perlindungan atau pengayoman, kepastian biaya dan waktu penyelesaian, mengajukan keluhan dan pengaduan dan melakukan pengawasan.

Maklumat pelayanan publik, merupakan salah satu wujud kesungguhan penyelenggara pelayanan publik, untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance yaitu; transparansi, akuntabilitas, keterbukaan dan equalitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Maklumat pelayanan publik harus disebarluaskan secara terbuka kepada seluruh masyarakat, dan memberikan akses untuk masyarakat menyapaikan keinginan dan sarannya, serta melakukan pengawasan dan komplain terhadap ketidak sesuaian apa yang dijanjikan dengan praktek pelaksanaannya.

Perumusan dan penyusunan Maklumat pelayanan publik mengacu pada standar pelayanan publik yang telah di tetapkan dalam peraturan perundang-undangan, dan dalam prosesnya harus dilakukan dengan hati-hati, disesuaikan dengan kemampuan kelembagaan, kualitas dan kuantitas personil pelaksananya, serta dukungan pembiayaaan operasional pelayanan publik.

Maklumat pelayanan tidak perlu disusun muluk-muluk atau copy paste daerah lain tanpa pertimbangan kemampuan dan kondisi daerahnya. Maklumat pelayanan publik sebaiknya dirumuskan dan disusun secara sederhana, tidak menyulitkan tetapi mudah dilaksanakan, dapat dimengerti oleh aparat pelaksana penyelenggara dan masyarakat penerima pelayanan.

Untuk itu, Pemerintah/Pemerintah Daerah di dalam merumuskan dan menyusun Maklumat pelayanan publik, dapat mengambil langkah untuk; (1) Melakukan identifikasi dan analisis data, informasi mengenai jenis pelayanan yang perlu dan/atau seharusnya ditetapkan, sesuai urusan dan kewenangannnya; (2) Melibatkan masyarakat untuk mendapatkan masukan, saran, dan informasi jenis pelayanan yang nyata dibutuhkan oleh masyarakat daerahnya, serta memberikan akses kepada masyarakat dalam proses perumusan dan penyusunan maklumat pelayanan publik; (3) Mempertimbangkan keberagaman daerah, kondisi geografis, mata pencaharian penduduk dan kehidupan sosial budaya masyarakat, sebagai bahan kajian dan bahan perumusan serta penyusunan maklumat pelayanan publik.

Sebagai Contoh; Masyarakat perkotaan dengan non perkotaan (daerah yang luas dengan persebaran penduduk yang tidak merata) berbeda kebutuhannya untuk megurus izin bangunan, termasuk untuk memenuhi persyaratan seperti status hak kepemilikan tanah (untuk non perkotaan mungkin sulit atau jarang yang memiliki surat tanah yang engkap, seperti sertifikat tanah). Demikian pula, seperti Akte Kelahiran atau bahkan KTP, mungkin untuk daerah perkotaan sangat dibutuhkan, tetapi untuk masyarakat di desa yang terpencil, atau di kepulaun yang jarang berhubungan dengan kegiatan keluar desa, mereka merasa tidak memerlukan dan/atau tidak merasakan manfaatnya untuk apa.

Menganalisis kelembagaan yang ada, kemampuan personil, jumlah personil, kemampuan anggaran dan lainnya yang diperkirakanan akan mempengaruhi kualitas pelayanan,disiplin aparat pelaksana untuk tepat waktu dalam proses dan penyelesaian pelayanan. Realistis dalam merumuskan persyaratan, waktu, biaya, dan lainnya agar memberikan kemungkinan untuk bisa dilaksanakan dengan baik oleh aparat penyelenggara, mudah dimengerti dan dipahami oleh masyarakat, dan yang paling penting tidak membebani atau memberatkan masyarakat.

Materi muatan Maklumat Pelayanan Publik, disesuaikan dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan, kondisi dan potensi daerah, beberapa materi muatan yang dapat digunakan sebagai bahan penyusunan maklumat pelayanan publik, antara lain: (1) Profil Penyelenggara; (2) Tugas dan wewenang penyelenggara; (3) Siapa yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pelayanan; (4) Siapa yang bertanggungjawab dalam memproses dan menyelesaikan pengaduan dan sengketa pelayanan; (5) Pihak mana saja yang dapat menerima pelayanan; (6) Prosedur dan proses pemberian layanan (dapat dalam bentuk bagan/alur air); (7) Janji yang diberikan kepada penerima pelayanan, termasuk di dalamnya seperti; hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan, kemudahan mendapat pelayanan (tidak sulit, tidak dipersulit, tidak berbelit-belit atau membingungkan pemohon layanan), waktu yang ditetapkan untuk proses dan penyelesaian, ketepatan waktu menerima produk layanan, biaya pelayanan, prodedur dan biaya peninjauan lapangan (prakteknya sarat biaya yang dikeluarkan oleh penerima layanan, dan antisipasi bargaining); (8) Persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pemohon layanan (bila perlu dilakukan penyederhanan atau pemangkasan persyaratan, terutama yang sifatnya yang sifatnya pendukung); (9) Mekanisme pengajuan pengaduan atau keluhan (lisan tulisan) dari masyarakat, organisasi masyarakat dan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pelayanan, pengaduan atas perilaku penyelenggara dan/atau aparat pelaksana pelayanan (seperti; sikap, sopan santun dan lainnya, tindakan atau perlakuan diskriminatif, KKN, pungutan liar termasuk yang dilakukan bekerjasama dengan perantara/calo dan biaya peninjauan lapangan), serta kepastian waktu proses dan penyelesaian pengaduan dan pemberian informasi kepada pengadu; (10) Mekanisme penyampaian saran, usulan masukan yang berkaitan dengan kepedulian masyarakat untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan; (11) Mekanisme pengawasan internal dan eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan; (12) Uraian sanksi bagi penyelenggara dan/atau aparat pelaksana pelayanan; (13) Pernyataan kesediaan penyelenggara untuk terus memperbaiki dan menyempurnakan maklumat pelayanan berdasarkan masukan dan saran dari masyarakat; dan (12) Informasi alamat, telefon, fax, email penyelenggara, dalam rangka mengembangkan komunikasi, tukar informasi dan korespondensi masyarakat atau penerima pelayanan dengan penyelenggara;

Penutup

Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa Pemerintah perlu menyusun Standar Pelayanan bagi setiap institusi di daerah yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak harus terus menerus dilakukan oleh Pemerintah/Pemda, serta perlu dilakukan evaluasi secara berkala agar pelayanan publik senantiasa memuaskan masyarakat. Ada lima cara perbaikan di sektor pelayanan publik yang patut dipertimbangkan: Mempercepat terbentuknya UU Pelayanan Publik, Pembentukan pelayanan publik satu atap (one stop services), Transparansi biaya pengurusan pelayanan publik, Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP), dan reformasi pegawai yang berkecimpung di pelayanan publik.

Pelaksanaan Otonomi Daerah memungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan dan tugas Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana perekat Integrasi bangsa. Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang Good dan Clean Government.

Pemerintah memang tidak memiliki paradigma yang jelas dalam soal layanan publik dan mempertahankan birokrasi yang feodal. Transformasi paradigmatik, disain ulang sistem dan organisasi layanan publik harus dilakukan agar pemerintah menjadi handal melakukan kewajiban publiknya. Sejatinya, prinsip-prinsip Good Governance dan Reinventing Government harus menjadi acuan dalam mendesain struktur organisasi di pemerintah daerah. Bila semua daerah otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis, maka pemerintah kita secara nasional pada suatu saat nanti akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan profesional sehingga mampu menjadi negara besar yang diakui dunia.

Dunia saat ini telah berada dalam era yang disebut globalisasi, kondisi dimana terjadi perubahan signifikan dalam kehidupan suatu masyarakat yang tidak lagi dapat dibatasi oleh sekedar batas administrasi kewilayahan, karena pesatnya penemuan-penemuan teknologi. Globalisasi dipengaruhi oleh inovasi teknologi di satu sisi dan persaingan dalam era perdagangan bebas di sisi lain”.

Era globalisasi saat ini mengindikasikan bahwa masyarakat dunia pada umumnya telah memasuki tahapan the age of high mass-consumption atau tingkatan kelima. Kondisi dimana terjadi pergeseran pada sektor-sektor dominan terhadap kebutuhan barang dan jasa sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Sebagian besar masyarakat telah terpenuhi kebutuhan dasarnya yakni sandang, pangan dan papan serta berubahnya struktur angkatan kerja yang meningkat tidak hanya proporsi jumlah penduduk perkotaan melainkan juga jumlah angkatan kerja yang terampil.

Menghadapi kondisi masyarakat tersebut di atas, maka diperlukan peran administrasi negara dan pemerintahan dalam memberikan pelayanan secara efiktif, efisien dan secara profesional. Tantangan perubahan masyarakat dan tantangan terhadap kinerja pemerintahan selain menghadapi masyarakat yang semakin cerdas dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya/variatif serta memenuhi standar kualitatif sangatlah terbatas, pada akhir kekuasaan Orde Baru pun, birokrasi pernah dikritik habis-habisan oleh kalangan gerakan pro-reformasi. “Birokrasi dianggap sebagai salah satu ”penyakit” yang menghambat akselerasi kesejahteraan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan yang sehat“. Ungkapan klasik dan kritis seperti “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”, misalnya, berkembang seiring dengan penampakan kinerja aparatur yang kurang baik di mata masyarakat. Ungkapan itu menggambarkan betapa buruknya perilaku pelayanan birokrasi kita yang berpotensi menyuburkan praktik percaloan dan pungutan liar (rent seeking). Kondisi inilah yang sebetulnya memunculkan iklim investasi di daerah kurang kompetitif. Kondisi pelayanan seperti ini perlu segera direformasi guna mewujudkan kinerja birokrasi dan kinerja pelayanan publik yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Bacal, Robert, 1999. Performance Management, McGraw – Hill.

BKKSI, 2000. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Atap, Panduan Praktis.

Buchari Zainun, 1995. Administrasi dan Manajemen Kepegawaian Pemerintah Negara Indonesia, Gunung Agung, Jakarta.

Connellan, Thomas. K and Ron Zemke, 1993. Sustaining Knock Your Socks Off Service, Amacom (American Management Association).

Depdagri, 2004. Modul Pengembangan Pelayanan Terpadu Satu Atap. LAN-RI Jakarta.

Gasperz, Vincent, 2006. Total Quality Management (TQM), untuk Praktisi Bisnis dan Industri, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Handoko, Hani T, 1987. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, BPFE, Yogyakarta, 1987.

Hening Widiatmoko, 2007. Pelayanan Publik melalui Pendekatan Sistem dalam Penerapan Ekologi Administrasi Publik. dari http://www.yahoo.co.id

Jurnal Desentralisasi, Lembaga Adminisrasi Negara Republik Indonesia, Volume 5 No. 3, Tahun 2004

Jurnal Ilmiah, Admnistrasi Publik, Birokrasi Era Reformasi, Vol. V No 1, September 2004 – Februari 2005.

Jurnal Ilmu Pemerintahan, Penataan Kelembagaan Pemerintahan, Edisi 7, Tahun 2002, Penerbit, Masyarakat Ilmu Pemerintahan.

Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 46 A Tahun 2003 Tanggal 21 Nopember 2003 tentang Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan Struktural Pegawai Negeri Sipil.

Leach, Steve; Stewart, John and Kieron Walsh, 1994. The Changing Organization and Management of Local Government, McMillan Press Ltd.

Lembaga Adminisrasi Negara Republik Indonesia, 2006. Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta, LAN.

Lembaga Adminisrasi Negara Republik Indonesia,2005. Penyusunan Standar Operating Procedure, Jakarta, LAN.

McKevitt, David, 1998. Managing Core Public Services, Blockwell Publisher.

Milakovich Michaele, 1995. Improving Service Quality, St. Lucie Press, Florida.

Muluk, Khairul, 2004. Paradigma Baru Administrasi Publik : Dari "Public Management" Menuju "Public Governance" Jurnal Vol. V, No. 1, September 2004-Februari 2005

Osborne David, Ted Gabler, 1996. Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government), Pustaka Binawan Pressindo.

Osborne, David and Peter Plastrik, 1997. Memangkas Birokrasi, Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Lembaga Manajemen PPM, Jakarta.

Osborne, David and Ted Gaebler, 2000. Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government). Lembaga Manajemen PPM, Jakarta.

Pasolong, Harbani, 2007. Teori Administrasi Publik, Penerbit Alfabeta, Bandung.

Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4019)

Rahardian, A.R. 2007. Silabus Enterpreneurship dan Etika Birokrasi, 26 Januari 2007.

Robert, Heller, 2002. Effective Leadership, Dian Rakyat, Jakarta.

Robert, Heller, 2006. Managing People, Dian Rakyat, Jakarta.

Sentana Aso, 2006. Exelent Service & Customer Satisfication, Elex Media Komputindo, Jakarta.

Sidin, 2002. Menuju Pembaharuan Birokrasi pemerintahan, Kupang Pos edisi Kamis 3/10/2002.

Siswadi, Edi, 2005. Pikiran Rakyat Bandung. Edisi Kamis 22 Maret 2005.

Sunarno, 2008. Reformasi Birokrasi, 5 Maret 2008. dari http://www.google.co.id.

Tri Widodo W. Utomo, internet, Reinventing Government dan Semangat Kewirausahaan sektor publik. dari: http://www.apa.org/kurdek.html

Undang-Undang Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4018) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4194)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041) sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890).

1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku Usaha). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia?

David
(0274)9345675