Kamis, 11 Maret 2010 | 02:56 WIB
Wisnu Aji Dewabrata/ M Zaid Wahyudi/ Buyung Wijaya kusuma
Semangat Arman untuk memopulerkan guritan sangat jelas terlihat ketika tim Jelajah Musi 2010 bertemu dengannya. Bukan hanya membawa sebuah gitar, melainkan dia juga membawa pakaian daerah, yang sering digunakan saat manggung
”Saya sangat senang jika bertemu dengan orang yang memiliki minat terhadap budaya kami, terutama guritan. Soalnya, kami harus melawan kemajuan zaman yang dapat membuat kesenian daerah, seperti guritan yang tidak memakai alat musik ini, menjadi luntur,” ujar Arman.
Ayah dari empat anak dan kakek dari enam cucu ini juga rela menampilkan kesenian guritan untuk pengambilan gambar liputan multimedia untuk Kompas dan Kompas TV di kaki bukit Gunung Dempo. Kawasan yang masih termasuk wilayah Pagar Alam.
Meskipun Arman hanya melantunkan dua syair tentang Kota Pagar Alam dengan durasi sekitar 15 menit, semua orang yang menyaksikan sangat puas. Ini terutama karena keseriusan dan kejernihan suara Arman. Dia tampil dengan dialek yang khas dan orisinal dari kesenian guritan Besemah.
Keseriusan Arman setiap tampil melantunkan guritan sama seperti saat memperkenalkan kesenian itu kepada para siswa sekolah menengah atas (SMA) di kotanya. Hasilnya, siswa di beberapa sekolah sudah membentuk sanggar yang aktif berlatih kesenian guritan.
Saat ditanya mengenai jumlah siswa yang sudah mendapatkan ilmu darinya, Arman mengatakan, tidak dapat menghitungnya. Selama ini dia sudah mendatangi 20 sekolah di Pagar Alam untuk menyosialisasi guritan, sekaligus melatih jika ada siswa yang sudah menyatakan minatnya.
”Saya memulai dengan meminta izin pihak sekolah mengumpulkan siswa di aula untuk memperkenalkan kesenian guritan yang merupakan kekayaan suku Besemah di Pagar Alam. Biasanya dari satu sekolah ada beberapa orang yang tertarik, kemudian menjadi cikal bakal sebuah sanggar,” kata Arman, yang memiliki bakat alami karena tak ada yang mengajari dirinya bermain musik atau menyusun syair.
Kepada para siswa, Arman selalu menjelaskan isi dari syair guritan yang banyak mengandung falsafah atau sejarah yang dikemas dalam bentuk sastra. Guritan biasanya ditembangkan pada acara tertentu selama semalam suntuk, dalam suasana duka atau suka. Misalnya, saat musibah atau usai panen. Tujuannya, untuk menghibur keluarga yang mendapat musibah atau sekadar hiburan pada malam bulan purnama.
Tentang kecintaannya terhadap guritan, Arman bercerita mengenai masa mudanya. Waktu itu, ia gemar mengikuti lomba gitar tunggal, alias bertutur sambil bermain gitar. Ini merupakan salah satu kesenian yang populer di Sumsel. Ia berlomba dengan modal keahlian bermain gitar yang sudah dikuasainya sejak duduk di bangku kelas dua sekolah dasar.
Setelah menjuarai berbagai lomba di Pagar Alam, Kabupaten Lahat, hingga Palembang, ia menyadari bahwa berkesenian tak sekadar untuk mendapatkan piagam sebagai sang juara. Ini juga tak hanya untuk hidup, tetapi bagaimana kesenian itu bisa hidup dan bertahan di tengah masyarakat.
”Dulu, tak ada orang yang peduli bagaimana kelestarian seni guritan, termasuk saya yang puas sebagai juara dan dipanggil di mana-mana. Sampai saya berpikir harus ada yang menggantikan orang-orang terdahulu yang membawakan guritan,” ujar Arman yang juga pengurus adat Besemah, Pagar Alam.
Dia mulai sibuk memenuhi undangan pertunjukan secara komersial pada 2003. Arman semakin menyadari sulitnya menemukan penerus guritan, apalagi mempertahankan kesenian tersebut.
Perkembangan industri musik pop di Tanah Air amat memengaruhi minat generasi muda Pagar Alam untuk menekuni guritan. Awalnya, dia pesimistis bagaimana mengalahkan minat anak-anak muda pada musik pop dengan guritan, yang penembangnya adalah para orang tua.
Hal paling sulit saat mengajarkan kepada anak didik adalah bagaimana mengarang syair yang harus dilakukan spontan, tatkala naik panggung. Syair harus disesuaikan dengan keadaan penonton yang akan mendengarkan tembang itu. Arman masih menyimpan ratusan syair yang ditulis tangan menjelang naik ke panggung.
Seniman guritan, menurut Arman, harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan kondisi masyarakat. Dengan demikian, ia juga mesti punya waktu menonton televisi, mendengarkan radio, membaca koran, sampai ngobrol di warung kopi.
Ia mencontohkan dengan menembang sekitar satu menit, dengan sesekali menyebut kata ”century”. Seusai menembang ia mengatakan, syair yang dia lantunkan itu bercerita tentang kasus Bank Century yang menggunakan uang negara triliunan rupiah, tetapi tak ada yang bertanggung jawab. Padahal, ada rakyat kecil yang dihukum karena mencuri kaus bekas.
Arman telah memperlihatkan kepiawaian dalam seni yang menuntut penciptaan syair secara spontan, dengan gaya bertuturnya yang mengalir tatkala bicara soal Pagar Alam. Semua pertanyaan tentang kota yang dipagari Bukit Barisan itu, dapat dijawabnya dengan lengkap.
Ia terbiasa bercerita panjang karena syair guritan harus dikarang dengan cepat. ”Biasanya kalau ada undangan untuk tampil, saya baru diberitahu tuan rumah saat di lokasi. Jadi, saya harus sesuaikan syair guritan dengan kebutuhan penonton pas menjelang naik panggung.”
Akan tetapi, membuat syair panjang secara spontan bukan berarti mengabaikan daya tarik dari isi ceritanya. Misalnya, saat dia diminta tampil di panggung pilkada sewaktu Alex Noerdin, yang kini Gubernur Sumsel, berkampanye di Pagar Alam tahun 2008. Penonton yang biasanya ingin dihibur penyanyi dangdut, terpaku pada penampilan Arman dan menuntut tambahan.
”Waktu pilkada, saya diminta panitia tampil tujuh menit saja karena banyak artis. Tetapi, penontonnya mau saya tambah lagi jadi 15 menit,” ujarnya.
Kenangan itu membuat Arman optimistis, warga suku Besemah di Pagar Alam masih antusias mempertahankan kesenian guritan. Itulah yang membuat dia tetap setia berjuang untuk guritan, mewujudkan mimpinya membangun sanggar tempat melatih anak-anak muda.
ARMAN IDRIS
1 komentar:
Semoga terlahir generasi arman idris2 lainya..di bumi besemah ..
Posting Komentar