Wilayah Besemah Tempo Doeloe
Pangeran Sido Kenayan dengan Depati Lang Bidaro membagi tapal batas tanah Pasemah dengan Palembang. Dimulai dari Way Umpu titik di penyebrangan Banten, terus di Batu Banjar, laju di gunung Seminung Ranau, dari situ turun Naurebo [terletak ditengah gunung Seminung Ranau], laju di pematang Sengang tengah Ranau, Laju terus tengah laman dusun Kuripan, ‘mungga Bukit Nanti, turun di Muare Kemumu [Kisam], mungga di tangan Bukit Nanti terus di Pematang Galang turun di Lubuk Muara Cendawan, laju di Batu Bindoe Muara Enim, dari situ mungga Bukit Campang di Pagar Gunung, turun di Ayiek ijuk, terus di Lubuk Muara Senangsangan Mulak Ulu, laju di Danau Batu, turuhan di Arahan Tungku Tiga, netak Bubungan Arahan Tiga, laju di Padang Tamba, mungga bukit Kuantjung Berghuk, dari situ terus di Petai Campang Due Bukit Ulu Pangi (Kikim), dari situ laju di Sialang Pating Besi di Bukit Sanggul, terus di Bukit Rindu Ati Bengkulu, turun di Padang Tjupak, terus di Ulu Tuban, titik di teluk Merampuyan, laju di Padang Muara Selibar Ulu Bengkulu, turun di Laut Besar, sampai di Tampaan Gadak Sebelah Ulu, yang tersebut ini tanah bumi dikasihkan oleh Pangeran Sido Kenayan pada orang Pasemah. Dari situ ke sebelah ilir Pangeran Sido Kenayan dengan Depati Lang Bidaro yang punya.
Waktu itu tanah Pasemah masih rimba semuanya. Semua orang bikin ladang darat [ume]. Dibelakang ini tanah Pasemah jadi padang membuat siring untuk lahan sawah. Dan lagi aturan Pasemah kalau sawah angkitan 100 bake harganya 100 gulden.
Tanah yang sudah dibuka, kemudian ditinggalkan (talang), boleh digarap orang lain asal ada kata mufakat (berunding). Orang yang tidak bikin sawah tidak dihukum Sultan Palembang. Jika ada tanah yang bisa dibikin sawah,bu kan Pesirah yang membagi tanah itutapi orang yang bikin sawah sendiri, lebih dahulu dikasih tahu Pesirah
Awal sejarah pemerintahan tradisional di Besemah tidak terlepas dari sistem pemerintahan Kesultanan Palembang. Kaitan atau hubungan antara Kesultanan Palembang dengan daerah-daerah diwilayah kekuasaannya dikatakan oleh Robert Heine Gildern (1982). “ di Asia Tenggara Ibukota Kesultanan Palembang bukan saja merupakan pusat politis dan kebudayaan dari suatu kerajaan dan masyarakat sekitarnya, juga merupakan pusat magis dari kerajaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar